mercredi 25 avril 2012

Sang Pemimpi


BPC Dixmude,

Seperti yang sudah saya ceritakan di artikel saya sebelumnya, saya pernah singgah di Brest, Perancis pada tahun 2005 dengan KRI Dewaruci. Waktu itu, Brest adalah kota yang sangat berkesan buat saya selama KJK Luar Negeri, di samping Mekkah tentunya, yang mana saya bisa melaksanakan ibadah umrah pertama kalinya. Berkesan karena hanya selama tiga hari saya di sana, saya bisa mendapatkan seorang teman, yang nantinya akan mengenalkan saya pada orang tuanya yang sangat baik. Pada saat itu saya berjanji dalam hati, suatu saat akan kembali ke Perancis, entah itu dalam rangka singgah dengan KRI ataupun melaksanakan kursus di Perancis. 

Pulang ke Indonesia, saya mengenal Kadeppel yang juga mempunyai hubungan dengan Perancis. Beliau pernah dua kali sekolah di Perancis, GEAOM dan CID (sekolah setingkat Seskoal), sebagaimana juga pernah saya tuliskan di artikel saya sebelumnya. Akhirnya, mimpi itu pun berlanjut. Sering mendapat pengarahan dari beliau membuat saya tahu kalau kesempatan ke Perancis itu ada. Syaratnya satu, BAHASA ! 

Mulailah saya, sambil bermimpi, mencari jalan untuk menguasai bahasa Perancis. Masih ingat di benak saya dulu, sewaktu di Brest 2005,begitu sulitnya untuk membeli air minum. Yah, itu karena orang Perancis jarang yang bisa becakap Inggris. Di AAL saya mengikuti yanus Bahasa Perancis yang dilaksanakan dua kali seminggu kalau tidak salah, waktu itu yang mengajar Lettu Windu. Namun, karena tidak fokus, hingga empat bulan yanus menghitung 1 sampai 10 dalam Bahasa Perancis pun saya tidak bisa.

Lulus dari AAL, penempatan pertama saya di KRI Abdul Halim Perdanakusuma, yang notabenenya masuk dalam Satuan Kapal Eskorta. Sebagai seorang Perwira Remaja, makin jauhlah keinginan saya untuk mengikuti kursus bahasa di CCCL Surabaya. Apalagi waktu itu kapal saya baru selesai repowering, yang mana statusnya selalu “SIAP”, yang artinya siap melaut kapan saja.  Hal ini makin menambah ketidakmungkinan bagi saya untuk melaksanakan aktifitas kursus apa saja di luar.

Namun, secercah harapan itu muncul kembali. Pada tahun 2009, kapal saya harus melaksanakan perbaikan yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk berlayar selama setahun. Berangkatlah saya ke CCCL, mendaftar, dan kursus di sana. Selama menjalani kursus di sana, semakin dalamlah saya bermimpi untuk pergi ke Perancis. Walaupun saat itu masih sangat-sangat tidak mungkin. Di Angkatan Laut, siapa yang tahu kalau saya pernah ikut kursus Bahasa Perancis ? Sedangkan syarat untuk mengikuti kursus di Perancis haruslah pernah mengikuti KIBA Perancis di Kemhan, sehingga kita punya file. Kembalilah saya harus bermimpi. Hanya enam bulan saya di CCCL karena harus kembali melaut.

Awal tahun 2009 saya ingat saya pernah mengajukan permohonan untuk mengikuti KIBA Perancis. Waktu itu permohonan saya tidak berlanjut karena banyaknya mentor satu kapal yang mengajukan permohonan yang sama. Mundurlah saya. Hingga saatnya tiba, pada awal tahun 2010, saya mengajukan permohonan yang sama dan kali ini di-acc Komandan.

Tiba saatnya saya berpisah dengan KRI AHP untuk melanjutkan penugasan di KRI Teluk Banten. Tes untuk mengikuti KIBA pun saya laksanakan pada saat saya baru pindah ke Teluk Banten. Namun, waktu itu kapal saya, secara kebetulan, sedang giat-giatnya berlayar. Tak lama setelah selesai tes, saya pun berlayar dengan kapal baru saya, Komandan baru, suasana baru. Harap-harap cemas, karena dalam kondisi berlayar, peluang seorang perwira untuk melaksanakan kursus (kalau tesnya diterima) kembali menjadi 50-50. Segalanya jadi bergantung kebijakan Komandan. Dan benar hingga tiba saatnya saya dipanggil untuk mengikuti KIBA Perancis, posisi kapal saya waktu itu masih berada di laut Arafuru, tak jauh dari Merauke.
Beruntung saya waktu itu dikomandani oleh seorang Komandan yang bijaksana, Letkol Laut (P) Agus Surya Dharmawan. Beliau adalah seorang yang sangat sadar akan pentingnya pendidikan. Waktu itu Banten sedang memeriksa kapal ikan, yang akhirnya terbukti tidak bersurat lengkap. Kapal itu akan diserahterimakan ke Lanal Sorong. Caranya adalah dengan menempatkan satu tim kawal KRI Teluk Banten, yang akan membawa kapal tersebut ke Sorong, sementara Banten masih melanjutkan operasi di laut Aru. Ikutlah saya bersama tim kawal tersebut, yang dikomandani letting saya, Lettu Laut (P) Lukman. Tiga hari dua malam saya tempuh untuk mencapai Sorong. Hingga akhirnya saya meninggalkan tim kawal dan terbang ke Jakarta untuk melanjutkan mimpi saya yang sempat terpotong.

Di Jakarta segalanya berjalan lancar, saya pun bisa mengikuti kursus Bahasa Perancis dengan sangat baik. Lima bulan saya di sana, saya benar-benar dicekoki pelajaran bahasa. Bagaimana tidak, lima hari seminggu selama lima bulan, kami belajar bahasa dari jam 7.30 hingga 14.00. Benar-benar kursus yang sangat sangat intensif. Namun, ada satu hal yang membuat saya terhenyak. Program EAOM, yang tadinya ingin saya ikuti, sudah sejak tahun 2010 tidak ada lagi mengundang perwira dari Indonesia. Terakhir TNI AL mengirimkan wakilnya pada tahun 2009. Dari Athan Perancis di Jakarta saya dapatkan info bahwa Indonesia tidak diundang karena Jeanne d’Arc, kapal yang digunakan untuk EAOM, telah diganti dengan kapal jenis BPC, yang tidak memungkinkan untuk membawa banyak perwira undangan. Jumlah perwira asing yang diundang dikurangi, menyesuaikan dengan kapasitas akomodasi di BPC, dan berkaitan juga dengan penghematan anggaran. Ini berhubungan dengan krisis global yang melanda Negara-negara Eropa belakangan ini. Kembali saya hanya bisa bermimpi, mungkin belum saatnya saya ke Perancis.

Selesai KIBA saya sudah sedikit melupakan cita-cita untuk pergi ke Perancis dalam waktu dekat. Mungkin iya, tapi bukan untuk EAOM. Mungkin untuk 10 tahun ke depan, mengambil Sesko atau apalah. Tahun 2011 belum juga ada kabar tentang EAOM, terbukti dengan tidak adanya perwira Indonesia yang mengikutinya. Bulan April 2011 saya mendaftar untuk mengikuti kursus spesialisasi di India, dan Alhamdulillah saya diterima. Berangkatlah saya ke india untuk melaksanakan pendidikan selama tujuh bulan lamanya. 

Di India, saya masih ingat, waktu itu awal Mei 2011. Ketika saya mengurus surat ijin tinggal di kepolisian Kochin, di sebuah kantor yang terletak di lantai 7 sebuah gedung. Dari atas sana kita bisa melihat pemandangan sekitar, dan juga pelabuhan Kochin. Dari sana saya melihat kapal sekelas BPC sandar di sana. Kalau diamati dengan seksama, bendera yang tergantung di buritan berwarna biru putih dan merah. Ah, itu kan BPC Mistral, sedang melaksanakan EAOM ternyata mereka. Tersenyum saya waktu itu, mimpi saya menjadi hanya sedekat beberapa kilometer saja. Waktu itu tidak ada keinginan lagi untuk ke sana, karena saya sudah mengikuti kursus spesialisasi yang artinya saya sudah terlalu senior untuk belajar di EAOM. Tujuh bulan di India saya habiskan dengan lahap, diiringi dengan malam-malam yang mendebarkan setiap sebelum ujian. Walupun begitu saya masih berani bermimpi, suatu saat saya akan pergi ke Perancis.
Selesai India, Desember 2011 saya pulang ke Indonesia. Waktu itu saya masih belum mendapat penugasan baru karena baru selesai sekolah. Sempat terucap ke istri saya kalau saya mau melanjutkan kursus bahasa Perancis di CCCL sambil menunggu dapat penempatan baru, karena kalau tidak diasah, lama-lama bisa hilang juga semua yang saya pelajari. Siang itu, pulang dari Armatim, dalam perjalanan ke rumah mertua di Gresik, handphone saya berdering. Saya angkat dari Disminpersarmatim, yang membawa berita yang sangat mengejutkan untuk saya : Perintah tes untuk kursus di Perancis !!!

Waktu itu belum genap sebulan saya menginjakkan kaki di tanah air ini. Belum puas pula saya memeluk Axelle, anak semata wayang saya. Namun perintah untuk saya harus dijalankan, apakah ini jawaban atas semua mimpi dan doa saya ? Bukankah sudah 2 tahun ini EAOM sudah tidak ada lagi ? Tes pun saya jalani dan apa hasilnya adalah di mana saya sekarang ini.

Adanya saya di EAOM kali ini kalau dirunut sangat berkaitan dengan timing yang pas, disertai dengan mimpi yang tak pernah berhenti. Dimulai dari mendaftar kursus di India bulan Maret 2011. Waktu itu posisi kapal saya, KRI Teluk Banten sedang melaksanakan operasi, sedangkan saya tidak diikutkan karena menunggu istri saya melahirkan. Tiga minggu dari perkiraan dokter anak saya masih belum lahir juga. Masih ingat saya, pada saat itu Komandan saya sedang ijin pulang ke Surabaya untuk mengurus sekolah S2 ke Singapura. Bertemu kami di ATM Mandiri Armatim, saya menghadap, dan Komandan langsung setuju, surat segera saya layangkan. 

Inilah yang namanya TIMING. 

Saya mendaftar KIBA dari KRI AHP, kapal lama saya, saat saya sudah mendapat perintah mutasi. Kalau saya mendaftar dari Banten, yang saya adalah perwira baru di sana waktu itu, belum tentu permohonan saya di-acc Komandan. Beralih ke India, selesai dari India pada bulan Desember, pada saat panggilan tes ke Perancis, teman-teman satu angkatan saya masih melaksanakan Dikspespa. Sedangkan Banten pada Desember 2011 melaksanakan operasi di Ambalat. Kalau anak saya lahir sesuai perkiraan dokter, maka saya akan menyusul kapal saya ke daerah operasi, yang berarti saya tidak akan bisa mendaftar kursus di India. Dan beruntung juga waktu itu Komandan sedang berada di Surabaya untuk mengurus tugas ke Singapura. Kalau saya tidak ke India, maka saya akan mengikuti Dikspespa seperti yang lainnya, yang artinya pada saat panggilan ke Perancis saya masih sekolah dan tidak akan bisa mengikuti tes. Kalaupun saya memilih menunggu, tidak mengikuti Dikspespa pada tahun 2011 di Surabaya, pada saat panggilan tes saya pasti berada di Ambalat bersama Banten, yang artinya, sekali lagi, mengikuti  tes ke Perancis adalah hal yang mustahil bagi saya.

Entahlah, mungkin itu hanya Allah yang tahu. Yang jelas sekarang saya di sini, berada di atas geladak BPC Dixmude, kapal sekelas dengan yang saya lihat di India 10 bulan yang lalu. Melaksanakan misi yang sama seperti para senior-senior saya dahulu. Menjadi perwira Indonesia pertama yang mengikuti misi EAOM versi baru seiring dengan pensiunnya Jeanne d’Arc, dengan BPC Dixmude.

Di sini saya membuktikan, bukan hanya Ariel saja dalam film Sang Pemimpi yang bisa ke Perancis. Dalam film itu Ariel memerankan seorang anak desa yang berhasil menggapai cita-citanya untuk belajar di Sorbonne, Perancis. Film itu, dan juga novel trilogi Laskar Pelangi, juga menginspirasi saya. Mengajarkan saya bagaimana pendidikan itu harus dikejar sejauh kita bisa. Mengajarkan kita untuk selalu bermimpi, bermimpi apa saja yang kita mau. Karena alam mimpi itu tidak terbatas, kita bebas memimpikan apa saja yang kita suka, yang kita cita-citakan. Karena Allah tidak tidur, Allah pasti mengetahui apa yang kita impikan, seiring dengan doa yang kita panjatkan kepada-Nya.

Dan, hari ini, di ulang tahun saya yang ke-28, saya belum sanggup untuk berhenti bermimpi. Mimpi itu harus selalu ada selama nadi ini masih berdenyut. Dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya tidak takut untuk memimpikan segala sesuatu yang masih jauh di sana. Entah nanti bakal tercapai atau tidak, yang penting kita sudah berani bermimpi dulu.

Mari kita bermimpi, seperti Sang Pemimpi.

vendredi 6 avril 2012

Escale ke-2 : Djibouti


Setelah melewati kurang lebih seminggu perjalanan di Georges Leygues, dan empat hari latihan di darat, sampailah juga kami ke tempat persinggahan ke-2, Djibouti.  Dengan posisi menghadap ke Laut Merah, Djibouti merupakan Negara yang strategis sebagai pangkalan militer, utamanya bagi Negara-negara yang mempunyai kepentingan di Timur Tengah.

Tak banyak yang bisa diceritakan dari Djibouti, selain karena kotanya yang “gitu-gitu” aja, juga karena saya tak banyak menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan. Panas adalah salah satu alasan untuk berbetah diri “ngadem” di kapal. Total lima hari kami sandar di Djibouti, cukup lama untuk hitungan sandar sebuah kapal perang dalam suatu misi.

Satu-satunya tempat menarik di Djibouti adalah pusat kotanya. Pusat kota Djibouti merupakan daerah yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara, bukan karena bentuk kotanya yang indah, namun lebih karena banyaknya bar dan restoran yang bertebaran di sana. Karena konsumennya adalah wisatawan mancanegara, maka secara otomatis harga-harga yang ditawarkan ikut menyesuaikan. Di sebuah restoran yang bernama l’historil café, kita harus merogoh kocek sejumlah 26.000 rupiah untuk segelas coca-cola. Bahkan, harga sebuah kartu pos di Djibouti lebih mahal daripada harga kartu pos di Toulon, Perancis.

Berjalan-jalan di Djibouti amatlah tidak nyaman. Selain karena panas yang menyengat, juga karena banyaknya pedagang cinderamata yang menawarkan barang dagangannya dengan cara memaksa. Walaupun sudah terang-terangan tidak berniat membeli, masih saja mereka menguntit kita. Bukan hanya pedagang souvenir, kalau kita bertanya sebuah tempat makan oleh mereka kita akan diantar hingga ke tempat tujuan tanpa diminta, dengan harapan untuk diberi imbalan yang setimpal tentunya. Belum lagi banyaknya pengemis anak-anak yang meminta-minta di sepanjang jalan. Sempat juga melihat sekilas Planet Hollywood dari luar, yang lebih mirip kafe remang-remang di Indonesia, menyedihkan. Kalau sudah begini baru merasakan betapa masih mendingnya Indonesia.

Satu-satunya yang bagus dari Djibouti adalah lautnya. Bersih sekali, walaupun di perairan pelabuhan. Hari terakhir kami pesiar di sebuah pulau yang bernama Muscha, ditempuh dengan sebuah perahu motor selama setengah jam lamanya. Dari jauh pulaunya terlihat tandus, namun setelah didekati ternyata sangat indah. Berbalutkan pasir putih yang terhampar dengan indah dan laut yang sangat bersih, menggoda hati ini untuk segera berenang. Dan seperti kebiasaan bule-bule yang “ndeso” melihat panas dan pantai, semuanya pada berjemur di sepanjang pantai. Sempat pula saya ngandok spaghetti di rumah penjaga pantai. Bersama kawan dari Maroko, Tunisia, Belgia, Perancis, kami makan spaghetti hangat bersama-sama dari satu mangkok besar, tanpa sendok dan garpu ! Heran juga, bahkan orang Belgia dan Perancis bisa juga makan secara “muluk”. Hingga akhirnya nantinya saya menyesali keputusan saya ikut makan di sana karena esoknya saya mengalami diare yang mengharuskan saya untuk berobat ke rumah sakit.

Itulah sekilas yang bisa saya ceritakan dari sebuah Negara yang bernama Djibouti, mantan jajahan Perancis, yang hingga kini masih belum berdaulat secara penuh. Kami pun bertolak melaut menuju ke tempat persinggahan selanjutnya, Mombassa, Kenya.