mardi 3 septembre 2013

Bulan Ramadhan di Negeri Cedar (part 2) - Haru di Hariri


Setelah mencoba merasakan buka a la Lebanon dengan makanan “tawar”nya, saya meluncur ke tujuan berikutnya : Masjid Al Hariri. Masjid ini kadang disebut juga masjid Al Amin. Berbeda dengan masjid sebelumnya yang bernuansa klasik, masjid berkubah biru ini murni bernuansa timur tengah. Dari luar kesan adem melekat berkat nuansa warna krem yang mendominasi bangunan masjid ini. Empat kubah tampak menjulang mengelilingi satu kubah besar dan dua kubah lebih kecil lainnya. Di langit-langit bangunan luarnya terukir lafadz-lafadz Allah.

Pintu utama masjid ini menghadap ke sebuah tempat yang bernama Martys Square. Martys Square adalah tempat yang biasa dijadikan tempat melaksanakan demonstrasi ataupun protes. Pintu utama ini selalu dijaga oleh dua orang. Seluruh jama’ah yang masuk membawa tas pasti tak luput dari pemeriksaan. Di pintu itu pula alas kaki harus dilepas untuk kemudian dibawa ke rak sepatu yang berada di belakang dalam ruang sholat. Akses pintu utama itu hanya untuk jamaah pria. Jamaah wanita masuk lewat pintu belakang dan menempati tempat sholat di lantai atas.

Memasuki ruang sholat kesan pertama adalah sejuk. AC yang terpasang cukup dingin untuk menyejukkan ruangan yang sedemikian luasnya itu. Sebelum sholat jamaah yang belum berwudhu bisa melaksanakan bersuci di tempat wudhu. Letaknya di lantai bawah. Ruangan wudhunya cukup luas dan bersih. Terdiri dari dua ruangan sama luasnya, di sayap kanan dan kiri. Marmer putih memunculkan kesan ekslusif di tempat bersuci itu. Pada saat tarawih hanya satu ruangan yang difungsikan. Ruangan yang tidak difungsikan ditandai dengan tidak adanya penerangan yang hidup di sana. 

Selesai wudhu langsung menuju ke ruang sholat. Ruang sholat itu dialasi dengan karpet tebal berwarna merah. Jumlah jamaah pada saat itu tidak terlalu banyak walaupun saat itu masih termasuk sepuluh hari pertama. Jumlah ini tak berkurang signifikan di akhir bulan Ramadhan. Memang animo masyarakat Beirut hanya segitu. Maklum, di Lebanon jumlah penganut agama Islam hanya 50 persen.

Seperti lazimnya di Indonesia sebelum sholat melaksanakan sholat sunnah. Saya pun menunaikan sholat tahiyatul masjid. Selesai sholat sunnah langsung terdengar iqamah, saatnya sholat Isya. Para jamaah pun merapat ke depan. Terhitung hanya kurang lebih 15 saf terisi dengan jumlah per safnya 50 orang. Masih terasa lengang untuk masjid sebesar masjid Hariri. Pakaian yang digunakan pun bervariasi. Ada yang bergamis. Tak sedikit pula yang memakai celana jins, bahkan celana pendek ¾. Tidak ada yang mengenakan sarung seperti di Indonesia. Sebuah fenomena yang menurut saya aneh, memakai celana pendek untuk sholat di sebuah masjid. Mungkin kalau di Indonesia orang-orang tersebut bisa dilempar sandal.

Berdiri memimpin sholat pada saat itu seorang imam berbaju gamis putih. Di belakangnya berdiri tiga orang. Tiga orang ini posisinya di depan saf pertama. Dua orang mengenakan baju putih-putih, dan satu orang memakai baju biasa. Nampaknya ketiga orang pendamping imam tersebut bertugas untuk mengingatkan imam pada saat pembacaan surat-surat setelah Al Fatihah. Maklum, yang dibaca minimal 1 ruku’.  Satu orang bertindak selaku imam cadangan, satu lagi bertindak sebagai pemeriksa bacaan, satu lainnya bertugas sebagai pengawal imam. Setidaknya begitulah menurut perkiraan saya.

Sholat Isya dilaksanakan berjamaah 4 rakaat, sudah dengan bacaan panjang. Di masjid ini Al Quran dikhatamkan selama bulan Ramadhan pada saat sholat Isya dan Tarawih. Pelaksanaan sholat berlangsung dengan khusyuk. Benar-benar khusyuk. Walaupun surat yang dibacakan panjang-panjang, namun suasana khusyuk tercipta berkat bacaan imam yang syahdu. Jauh dari kata bosan. Selesai sholat Isya dilanjutkan dengan sholat sunnah 2 rakaat sendiri-sendiri. Tidak ada salaman. Tidak ada dzikir.

Seusai sholat sunnah, sholat tarawih pun dimulai. Seluruh makmum pun berdiri, mengikuti imam yang kembali melantunkan ayat-ayat suci Al Quran dengan merdu. Rakaat demi rakaat kami laksanakan. Ayat demi ayat saya dengarkan. Tidak ada rasa mengantuk, apalagi bosan. Entah kenapa sholat di masjid Hariri ini saya rasakan lebih cepat daripada sholat Tarawih di kapal walau surat yang dibacakan lebih panjang. 

Mungkin yang sedikit mengganggu konsentrasi di awal-awal adalah adanya beberapa orang yang sholat sambil membawa Al Quran. Ada juga yang membawa tablet maupun telepon genggam. Al Quran, tablet maupun telepon genggam tersebut digunakan untuk membaca Al Quran pada saat imam membaca ayat-ayat Al Quran setelah Al Fatihah. Mereka menggunakannya untuk mengikuti imam. Waktu ruku’ semuanya ditutup kembali namun tetap dipegang. Mereka menjalankan sholat seperti biasa dengan tangan kiri memegang Al Quran.

Beberapa kali sholat tarawih di sana ada sesuatu yang membuat saya trenyuh. Dalam beberapa kesempatan tarawih saya selalu melihat seorang bapak tua sholat tarawih. Pak Tua itu sholat dengan susah payah. Sepintas bapak itu seperti terkena stroke. Terlihat air liurnya terkadang menetes. Selama sholat badannya gemetaran hebat. Berdiri dari duduk dilaksanakan dengan mengeluarkan segenap tenaga yang ada dengan dibantu oleh seorang yang menemani di sampingnya. Sungguh merupakan pemandangan yang mengharukan.

Bapak itu sedimikian susahnya berusaha hanya untuk menunaikan sebuah sholat sunnah. Bapak itu seolah menunjukkan kalau sakitnya bukan halangan untuk beribadah. Di saat ada beberapa orang tua yang memilih menunaikan sholat dengan duduk, bapak itu masih berusaha melaksanakan sholat seperti orang normal. Hal tersebut merupakan pukulan telak bagi saya. Dengan badan yang sehat wal’afiat seperti ini saya masih sering kalah oleh rasa malas. Masih malas untuk rutin sholat wajib berjama’ah, apalagi sholat sunnah.

Ternyata bukan dunia saja yang harus diperjuangkan. Akhirat pun harus diperjuangkan dengan susah payah. Kekurangan fisik bukan menjadi halangan bagi kita semua untuk beribadah kepada Sang Pencipta. Semoga ini bisa menjadi inspirasi bagi semua.

Selesai.