BPC Dixmude,
Seperti yang sudah saya
ceritakan di artikel saya sebelumnya, saya pernah singgah di Brest, Perancis
pada tahun 2005 dengan KRI Dewaruci. Waktu itu, Brest adalah kota yang sangat
berkesan buat saya selama KJK Luar Negeri, di samping Mekkah tentunya, yang
mana saya bisa melaksanakan ibadah umrah pertama kalinya. Berkesan karena hanya
selama tiga hari saya di sana, saya bisa mendapatkan seorang teman, yang
nantinya akan mengenalkan saya pada orang tuanya yang sangat baik. Pada saat
itu saya berjanji dalam hati, suatu saat akan kembali ke Perancis, entah itu
dalam rangka singgah dengan KRI ataupun melaksanakan kursus di Perancis.
Pulang ke Indonesia, saya mengenal Kadeppel
yang juga mempunyai hubungan dengan Perancis. Beliau pernah dua kali sekolah di
Perancis, GEAOM dan CID (sekolah setingkat Seskoal), sebagaimana juga pernah
saya tuliskan di artikel saya sebelumnya. Akhirnya, mimpi itu pun berlanjut.
Sering mendapat pengarahan dari beliau membuat saya tahu kalau kesempatan ke
Perancis itu ada. Syaratnya satu, BAHASA !
Mulailah saya, sambil bermimpi, mencari
jalan untuk menguasai bahasa Perancis. Masih ingat di benak saya dulu, sewaktu
di Brest 2005,begitu sulitnya untuk membeli air minum. Yah, itu karena orang
Perancis jarang yang bisa becakap Inggris. Di AAL saya mengikuti yanus Bahasa
Perancis yang dilaksanakan dua kali seminggu kalau tidak salah, waktu itu yang
mengajar Lettu Windu. Namun, karena tidak fokus, hingga empat bulan yanus
menghitung 1 sampai 10 dalam Bahasa Perancis pun saya tidak bisa.
Lulus dari AAL, penempatan pertama saya di
KRI Abdul Halim Perdanakusuma, yang notabenenya masuk dalam Satuan Kapal
Eskorta. Sebagai seorang Perwira Remaja, makin jauhlah keinginan saya untuk
mengikuti kursus bahasa di CCCL Surabaya. Apalagi waktu itu kapal saya baru
selesai repowering, yang mana statusnya selalu “SIAP”, yang artinya siap melaut
kapan saja. Hal ini makin menambah
ketidakmungkinan bagi saya untuk melaksanakan aktifitas kursus apa saja di
luar.
Namun, secercah harapan itu muncul kembali.
Pada tahun 2009, kapal saya harus melaksanakan perbaikan yang menyebabkan
ketidakmungkinan untuk berlayar selama setahun. Berangkatlah saya ke CCCL, mendaftar,
dan kursus di sana. Selama menjalani kursus di sana, semakin dalamlah saya
bermimpi untuk pergi ke Perancis. Walaupun saat itu masih sangat-sangat tidak
mungkin. Di Angkatan Laut, siapa yang tahu kalau saya pernah ikut kursus Bahasa
Perancis ? Sedangkan syarat untuk mengikuti kursus di Perancis haruslah
pernah mengikuti KIBA Perancis di Kemhan, sehingga kita punya file. Kembalilah
saya harus bermimpi. Hanya enam bulan saya di CCCL karena harus kembali melaut.
Awal tahun 2009 saya ingat saya pernah
mengajukan permohonan untuk mengikuti KIBA Perancis. Waktu itu permohonan saya
tidak berlanjut karena banyaknya mentor satu kapal yang mengajukan permohonan
yang sama. Mundurlah saya. Hingga saatnya tiba, pada awal tahun 2010, saya
mengajukan permohonan yang sama dan kali ini di-acc Komandan.
Tiba saatnya saya berpisah dengan KRI AHP
untuk melanjutkan penugasan di KRI Teluk Banten. Tes untuk mengikuti KIBA pun
saya laksanakan pada saat saya baru pindah ke Teluk Banten. Namun, waktu itu
kapal saya, secara kebetulan, sedang giat-giatnya berlayar. Tak lama setelah
selesai tes, saya pun berlayar dengan kapal baru saya, Komandan baru, suasana
baru. Harap-harap cemas, karena dalam kondisi berlayar, peluang seorang perwira
untuk melaksanakan kursus (kalau tesnya diterima) kembali menjadi 50-50.
Segalanya jadi bergantung kebijakan Komandan. Dan benar hingga tiba saatnya
saya dipanggil untuk mengikuti KIBA Perancis, posisi kapal saya waktu itu masih
berada di laut Arafuru, tak jauh dari Merauke.
Beruntung saya waktu itu dikomandani oleh
seorang Komandan yang bijaksana, Letkol Laut (P) Agus Surya Dharmawan. Beliau
adalah seorang yang sangat sadar akan pentingnya pendidikan. Waktu itu Banten sedang
memeriksa kapal ikan, yang akhirnya terbukti tidak bersurat lengkap. Kapal itu
akan diserahterimakan ke Lanal Sorong. Caranya adalah dengan menempatkan satu
tim kawal KRI Teluk Banten, yang akan membawa kapal tersebut ke Sorong,
sementara Banten masih melanjutkan operasi di laut Aru. Ikutlah saya bersama
tim kawal tersebut, yang dikomandani letting saya, Lettu Laut (P) Lukman. Tiga
hari dua malam saya tempuh untuk mencapai Sorong. Hingga akhirnya saya
meninggalkan tim kawal dan terbang ke Jakarta untuk melanjutkan mimpi saya yang
sempat terpotong.
Di Jakarta segalanya berjalan lancar, saya
pun bisa mengikuti kursus Bahasa Perancis dengan sangat baik. Lima bulan saya
di sana, saya benar-benar dicekoki pelajaran bahasa. Bagaimana tidak, lima hari
seminggu selama lima bulan, kami belajar bahasa dari jam 7.30 hingga 14.00.
Benar-benar kursus yang sangat sangat intensif. Namun, ada satu hal yang
membuat saya terhenyak. Program EAOM, yang tadinya ingin saya ikuti, sudah
sejak tahun 2010 tidak ada lagi mengundang perwira dari Indonesia. Terakhir TNI
AL mengirimkan wakilnya pada tahun 2009. Dari Athan Perancis di Jakarta saya
dapatkan info bahwa Indonesia tidak diundang karena Jeanne d’Arc, kapal yang
digunakan untuk EAOM, telah diganti dengan kapal jenis BPC, yang tidak memungkinkan
untuk membawa banyak perwira undangan. Jumlah perwira asing yang diundang
dikurangi, menyesuaikan dengan kapasitas akomodasi di BPC, dan berkaitan juga
dengan penghematan anggaran. Ini berhubungan dengan krisis global yang melanda
Negara-negara Eropa belakangan ini. Kembali saya hanya bisa bermimpi, mungkin
belum saatnya saya ke Perancis.
Selesai KIBA saya sudah sedikit melupakan
cita-cita untuk pergi ke Perancis dalam waktu dekat. Mungkin iya, tapi bukan
untuk EAOM. Mungkin untuk 10 tahun ke depan, mengambil Sesko atau apalah. Tahun
2011 belum juga ada kabar tentang EAOM, terbukti dengan tidak adanya perwira
Indonesia yang mengikutinya. Bulan April 2011 saya mendaftar untuk mengikuti
kursus spesialisasi di India, dan Alhamdulillah saya diterima. Berangkatlah
saya ke india untuk melaksanakan pendidikan selama tujuh bulan lamanya.
Di India, saya masih ingat, waktu itu awal
Mei 2011. Ketika saya mengurus surat ijin tinggal di kepolisian Kochin, di
sebuah kantor yang terletak di lantai 7 sebuah gedung. Dari atas sana kita bisa
melihat pemandangan sekitar, dan juga pelabuhan Kochin. Dari sana saya melihat
kapal sekelas BPC sandar di sana. Kalau diamati dengan seksama, bendera yang
tergantung di buritan berwarna biru putih dan merah. Ah, itu kan BPC Mistral,
sedang melaksanakan EAOM ternyata mereka. Tersenyum saya waktu itu, mimpi saya
menjadi hanya sedekat beberapa kilometer saja. Waktu itu tidak ada keinginan
lagi untuk ke sana, karena saya sudah mengikuti kursus spesialisasi yang
artinya saya sudah terlalu senior untuk belajar di EAOM. Tujuh bulan di India
saya habiskan dengan lahap, diiringi dengan malam-malam yang mendebarkan setiap
sebelum ujian. Walupun begitu saya masih berani bermimpi, suatu saat saya akan
pergi ke Perancis.
Selesai India, Desember 2011 saya pulang ke
Indonesia. Waktu itu saya masih belum mendapat penugasan baru karena baru
selesai sekolah. Sempat terucap ke istri saya kalau saya mau melanjutkan kursus
bahasa Perancis di CCCL sambil menunggu dapat penempatan baru, karena kalau
tidak diasah, lama-lama bisa hilang juga semua yang saya pelajari. Siang itu,
pulang dari Armatim, dalam perjalanan ke rumah mertua di Gresik, handphone saya
berdering. Saya angkat dari Disminpersarmatim, yang membawa berita yang sangat
mengejutkan untuk saya : Perintah tes untuk kursus di Perancis !!!
Waktu itu belum genap sebulan saya
menginjakkan kaki di tanah air ini. Belum puas pula saya memeluk Axelle, anak
semata wayang saya. Namun perintah untuk saya harus dijalankan, apakah ini
jawaban atas semua mimpi dan doa saya ? Bukankah sudah 2 tahun ini EAOM sudah
tidak ada lagi ? Tes pun saya jalani dan apa hasilnya adalah di mana saya
sekarang ini.
Adanya saya di EAOM kali ini kalau dirunut
sangat berkaitan dengan timing yang pas, disertai dengan mimpi yang tak pernah
berhenti. Dimulai dari mendaftar kursus di India bulan Maret 2011. Waktu itu
posisi kapal saya, KRI Teluk Banten sedang melaksanakan operasi, sedangkan saya
tidak diikutkan karena menunggu istri saya melahirkan. Tiga minggu dari
perkiraan dokter anak saya masih belum lahir juga. Masih ingat saya, pada saat
itu Komandan saya sedang ijin pulang ke Surabaya untuk mengurus sekolah S2 ke
Singapura. Bertemu kami di ATM Mandiri Armatim, saya menghadap, dan Komandan
langsung setuju, surat segera saya layangkan.
Inilah yang namanya TIMING.
Saya mendaftar KIBA dari KRI AHP, kapal
lama saya, saat saya sudah mendapat perintah mutasi. Kalau saya mendaftar dari
Banten, yang saya adalah perwira baru di sana waktu itu, belum tentu permohonan
saya di-acc Komandan. Beralih ke
India, selesai dari India pada bulan Desember, pada saat panggilan tes ke
Perancis, teman-teman satu angkatan saya masih melaksanakan Dikspespa. Sedangkan Banten pada Desember 2011 melaksanakan operasi di Ambalat.
Kalau anak saya lahir sesuai perkiraan dokter, maka saya akan menyusul kapal
saya ke daerah operasi, yang berarti saya tidak akan bisa mendaftar kursus di
India. Dan beruntung juga waktu itu Komandan sedang berada di Surabaya untuk
mengurus tugas ke Singapura. Kalau saya tidak ke India, maka saya akan
mengikuti Dikspespa seperti yang lainnya, yang artinya pada saat panggilan ke
Perancis saya masih sekolah dan tidak akan bisa mengikuti tes. Kalaupun saya memilih
menunggu, tidak mengikuti Dikspespa pada tahun 2011 di Surabaya, pada saat
panggilan tes saya pasti berada di Ambalat bersama Banten, yang artinya, sekali
lagi, mengikuti tes ke Perancis adalah
hal yang mustahil bagi saya.
Entahlah, mungkin itu hanya Allah yang
tahu. Yang jelas sekarang saya di sini, berada di atas geladak BPC Dixmude,
kapal sekelas dengan yang saya lihat di India 10 bulan yang lalu. Melaksanakan
misi yang sama seperti para senior-senior saya dahulu. Menjadi perwira
Indonesia pertama yang mengikuti misi EAOM versi baru seiring dengan pensiunnya
Jeanne d’Arc, dengan BPC Dixmude.
Di sini saya membuktikan, bukan hanya Ariel
saja dalam film Sang Pemimpi yang bisa ke Perancis. Dalam film itu Ariel
memerankan seorang anak desa yang berhasil menggapai cita-citanya untuk belajar
di Sorbonne, Perancis. Film itu, dan juga novel trilogi Laskar Pelangi, juga menginspirasi
saya. Mengajarkan saya bagaimana pendidikan itu harus dikejar sejauh kita bisa.
Mengajarkan kita untuk selalu bermimpi, bermimpi apa saja yang kita mau. Karena
alam mimpi itu tidak terbatas, kita bebas memimpikan apa saja yang kita suka,
yang kita cita-citakan. Karena Allah tidak tidur, Allah pasti mengetahui apa
yang kita impikan, seiring dengan doa yang kita panjatkan kepada-Nya.
Dan, hari ini, di ulang tahun saya yang
ke-28, saya belum sanggup untuk berhenti bermimpi. Mimpi itu harus selalu ada
selama nadi ini masih berdenyut. Dengan segala keterbatasan yang saya miliki,
saya tidak takut untuk memimpikan segala sesuatu yang masih jauh di sana. Entah
nanti bakal tercapai atau tidak, yang penting kita sudah berani bermimpi dulu.
Mari kita bermimpi, seperti Sang Pemimpi.