Setelah mencoba merasakan buka a la Lebanon dengan makanan “tawar”nya,
saya meluncur ke tujuan berikutnya : Masjid Al Hariri. Masjid ini kadang
disebut juga masjid Al Amin. Berbeda dengan masjid sebelumnya yang bernuansa
klasik, masjid berkubah biru ini murni bernuansa timur tengah. Dari luar kesan adem melekat berkat nuansa warna krem
yang mendominasi bangunan masjid ini. Empat kubah tampak menjulang mengelilingi
satu kubah besar dan dua kubah lebih kecil lainnya. Di langit-langit bangunan
luarnya terukir lafadz-lafadz Allah.
Pintu utama masjid ini menghadap
ke sebuah tempat yang bernama Martys Square. Martys Square adalah tempat yang
biasa dijadikan tempat melaksanakan demonstrasi ataupun protes. Pintu utama ini
selalu dijaga oleh dua orang. Seluruh jama’ah yang masuk membawa tas pasti tak luput
dari pemeriksaan. Di pintu itu pula alas kaki harus dilepas untuk kemudian
dibawa ke rak sepatu yang berada di belakang dalam ruang sholat. Akses pintu
utama itu hanya untuk jamaah pria. Jamaah wanita masuk lewat pintu belakang dan
menempati tempat sholat di lantai atas.
Memasuki ruang sholat kesan
pertama adalah sejuk. AC yang terpasang cukup dingin untuk menyejukkan ruangan yang
sedemikian luasnya itu. Sebelum sholat jamaah yang belum berwudhu bisa
melaksanakan bersuci di tempat wudhu. Letaknya di lantai bawah. Ruangan
wudhunya cukup luas dan bersih. Terdiri
dari dua ruangan sama luasnya, di sayap kanan dan kiri. Marmer putih
memunculkan kesan ekslusif di tempat bersuci itu. Pada saat tarawih hanya satu
ruangan yang difungsikan. Ruangan yang tidak difungsikan ditandai dengan
tidak adanya penerangan yang hidup di sana.
Selesai wudhu langsung menuju ke
ruang sholat. Ruang sholat itu dialasi dengan karpet tebal berwarna merah.
Jumlah jamaah pada saat itu tidak terlalu banyak walaupun saat itu masih termasuk
sepuluh hari pertama. Jumlah ini tak berkurang signifikan di akhir bulan
Ramadhan. Memang animo masyarakat Beirut hanya segitu. Maklum, di Lebanon
jumlah penganut agama Islam hanya 50 persen.
Seperti lazimnya di Indonesia
sebelum sholat melaksanakan sholat sunnah. Saya pun menunaikan sholat tahiyatul masjid. Selesai sholat sunnah
langsung terdengar iqamah, saatnya
sholat Isya. Para jamaah pun merapat ke depan. Terhitung hanya kurang lebih 15
saf terisi dengan jumlah per safnya 50 orang. Masih terasa lengang untuk masjid
sebesar masjid Hariri. Pakaian yang digunakan pun bervariasi. Ada yang
bergamis. Tak sedikit pula yang memakai celana jins, bahkan celana pendek ¾.
Tidak ada yang mengenakan sarung seperti di Indonesia. Sebuah fenomena yang
menurut saya aneh, memakai celana pendek untuk sholat di sebuah masjid. Mungkin
kalau di Indonesia orang-orang tersebut bisa dilempar sandal.
Berdiri memimpin sholat pada saat
itu seorang imam berbaju gamis putih. Di belakangnya berdiri tiga orang. Tiga
orang ini posisinya di depan saf pertama. Dua orang mengenakan baju
putih-putih, dan satu orang memakai baju biasa. Nampaknya ketiga orang
pendamping imam tersebut bertugas untuk mengingatkan imam pada saat pembacaan
surat-surat setelah Al Fatihah. Maklum, yang dibaca minimal 1 ruku’. Satu orang bertindak selaku imam cadangan,
satu lagi bertindak sebagai pemeriksa bacaan, satu lainnya bertugas sebagai
pengawal imam. Setidaknya begitulah menurut perkiraan saya.
Sholat Isya dilaksanakan
berjamaah 4 rakaat, sudah dengan bacaan panjang. Di masjid ini Al Quran
dikhatamkan selama bulan Ramadhan pada saat sholat Isya dan Tarawih.
Pelaksanaan sholat berlangsung dengan khusyuk. Benar-benar khusyuk. Walaupun
surat yang dibacakan panjang-panjang, namun suasana khusyuk tercipta berkat
bacaan imam yang syahdu. Jauh dari kata bosan. Selesai sholat Isya dilanjutkan
dengan sholat sunnah 2 rakaat sendiri-sendiri. Tidak ada salaman. Tidak ada
dzikir.
Seusai sholat sunnah, sholat
tarawih pun dimulai. Seluruh makmum pun berdiri, mengikuti imam yang kembali
melantunkan ayat-ayat suci Al Quran dengan merdu. Rakaat demi rakaat kami
laksanakan. Ayat demi ayat saya dengarkan. Tidak ada rasa mengantuk, apalagi
bosan. Entah kenapa sholat di masjid Hariri ini saya rasakan lebih cepat
daripada sholat Tarawih di kapal walau surat yang dibacakan lebih panjang.
Mungkin yang sedikit mengganggu
konsentrasi di awal-awal adalah adanya beberapa orang yang sholat sambil
membawa Al Quran. Ada juga yang membawa tablet maupun telepon genggam. Al
Quran, tablet maupun telepon genggam tersebut digunakan untuk membaca Al Quran
pada saat imam membaca ayat-ayat Al Quran setelah Al Fatihah. Mereka
menggunakannya untuk mengikuti imam. Waktu ruku’ semuanya ditutup kembali namun
tetap dipegang. Mereka menjalankan sholat seperti biasa dengan tangan kiri
memegang Al Quran.
Beberapa kali sholat tarawih di
sana ada sesuatu yang membuat saya trenyuh. Dalam beberapa kesempatan tarawih
saya selalu melihat seorang bapak tua sholat tarawih. Pak Tua itu sholat dengan
susah payah. Sepintas bapak itu seperti terkena stroke. Terlihat air liurnya
terkadang menetes. Selama sholat badannya gemetaran hebat. Berdiri dari duduk
dilaksanakan dengan mengeluarkan segenap tenaga yang ada dengan dibantu oleh
seorang yang menemani di sampingnya. Sungguh merupakan pemandangan yang
mengharukan.
Bapak itu sedimikian susahnya
berusaha hanya untuk menunaikan sebuah sholat sunnah. Bapak itu seolah
menunjukkan kalau sakitnya bukan halangan untuk beribadah. Di saat ada beberapa
orang tua yang memilih menunaikan sholat dengan duduk, bapak itu masih berusaha
melaksanakan sholat seperti orang normal. Hal tersebut merupakan pukulan telak
bagi saya. Dengan badan yang sehat wal’afiat seperti ini saya masih sering
kalah oleh rasa malas. Masih malas untuk rutin sholat wajib berjama’ah, apalagi
sholat sunnah.
Ternyata bukan dunia saja yang
harus diperjuangkan. Akhirat pun harus diperjuangkan dengan susah payah.
Kekurangan fisik bukan menjadi halangan bagi kita semua untuk beribadah kepada
Sang Pencipta. Semoga ini bisa menjadi inspirasi bagi semua.
Selesai.