mardi 26 juin 2012

TPA di BPC Dixmude

Samudera Atlantik Utara,
Perlu diketahui, kapal BPC Dixmude ini adalah kapal termodern yang dimiliki oleh Angkatan Laut Perancis. Pelayaran kali ini pun adalah pelayaran pertamanya. Si Dixmude ini adalah si bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama bernama Mistral, si tengah bernama Tonnerre. Misi pertama tak tanggung-tanggung : keliling dunia, memutari Tanjung Harapan.
Kapal ini walau berbentuk tak segarang kapal sekelas Destroyer dan Frigate, namun memiliki taring yang tak kalah tajam. Kapal ini adalah kapal yang mempunyai kemampuan mengirimkan pasukan ke darat dari laut. Bisa lewat laut, bisa lewat udara. Total kapal jenis ini mampu mengangkut 250 pasukan pendarat lewat laut, lengkap dengan seluruh kendaraan beratnya dan mampu membawa 16 buah helikopter. Dapat dilihat di sini bahwa yang namanya Operasi Amphibi tidak melulu harus seperti katak yang harus berenang dari laut untuk mencapai daratan. Di jaman modern ini, katak pun harus bisa terbang.
Di balik kemampuannya yang sangar tersebut, kapal ini ternyata berhati mulia. Watak cinta lingkungan sudah mulai ditanamkan oleh para perancangnya sejak masih dalam kandungan. Kapal ini sejak dilahirkan sudah berprinsip sebagai Le bâtiment vert (kapal hijau). Di dalamnya dilengkapi dengan sistem pengolahan « air abu-abu » dan « air hitam ». Air abu-abu adalah air buangan kamar mandi dan cucian, sedangkan air hitam adalah buangan WC. Sistem tersebut memungkinkan air-air tersebut dibuang ke laut dengan tidak akan mencemari lingkungan.
Selain itu kapal ini dilengkapi juga dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Bentuknya tentu tidak seseram TPA di kawasan Sukolilo. Letaknya di geladak 3 dan geladak 5. Kalau sedang melewatinya yang di geladak 3 baunya mengingatkan saya akan bau TPA di kawasan Gelora Bung Tomo kalau sedang bersepeda di sana.
TPA itu, di sini disebut incinerateur, berisikan beberapa mesin penggiling. Ada mesin penggiling kertas, ada juga mesin pemecah beling. Di samping itu dapat dilihat adanya mesin pemadat kaleng. Di bagian lain di TPA tersebut juga terdapat sebuah gudang.
Di kapal ini, sampah dibedakan jadi empat macam : sampah kertas, plastik, beling, dan sisa makanan. Di ruang makan, setelah makan kami harus membersihkan diri piring makanan kami dari sisa-sisa makanan sebelum dimasukkan ke dalam mesin pencuci. Tempat sampahnya ada tiga macam : khusus kertas, plastik, dan sisa makanan. Untuk aluminium atau beling disediakan sebuah kotak tersendiri.
Dari sana sisa makanan bisa langsung dimasukkan ke incinerateur ke-2 yang terdapat di geladak 5. Di TPA tersebut sisa makanan tersebut diblender sedemikian rupa untuk kemudian diberikan ke makhluk penghuni lautan. Benar-benar kapal yang baik, bukan ? Walaupun kapal perang masih memikirkan nasib ikan-ikan di lautan. Namun pembuangan tersebut tidak boleh dilakukan dalam jarak kurang dari 23 kilometer dari daratan.
TPA utama yang terletak di geladak 3 mempunyai misi yang tak kalah pentingnya. Kalau TPA nomor 2 kliennya hanya dari ruang makan, TPA yang ini kliennya dari seluruh kamar-kamar dan ruangan-ruangan di seluruh kapal. TPA ini buka setiap hari pada jam 8.30 sampai jam 9 pagi. Pada saat itulah ramai orang datang untuk menyetor sampah-sampah yang mereka punyai. Jika berkunjung ke sana pada jam segitu baunya sungguh luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan orang yang bertugas di situ. Mungkin syaraf pembaunya sudah kebal dengan bau-bauan seperti itu.
Di setiap kamar dan ruangan disediakan tempat sampah. Sampah-sampah tersebut kalau sudah penuh muaranya ya ke TPA tersebut. Siapa yang bertugas membawa sampah tersebut ? Biasanya adalah orang yang menjadi penanggung jawab kebersihan di ruangan tersebut. Karena sektor pembersihan saya ada di kelas yang tidak ada tempat sampahnya, saya hanya pernah satu kali saja berkunjung ke TPA tersebut. Itu pun pada saat hari pemeriksaan kebersihan yang dilaksanakan oleh Komandan kapal, di mana kami satu kamar bekerja bersama-sama dan kebetulan saya apes mendapat kehormatan untuk membuang sampah tersebut.
Sesampai di TPA tidak serta merta plastik sampah dari kamar kita tinggalkan begitu saja. Sampah-sampah tersebut menjadi satu dalam plastik karena hanya ada satu tempat sampah saja. Hal itulah yang berat. Karena saya harus memilihi satu per satu sampah tersebut untuk dimasukkan ke kastanya masing-masing. Yang merasa berkasta kertas atau karton harus rela dipisahkan dari mereka yang berkasta plastik, beling, kaleng ataupun sisa makanan.
Setelah dipilihi, oleh sang petugas, sampah-sampah tadi ditangani dengan cara masing-masing. Untuk sampah berjenis kertas dimasukkan ke dalam alat penggiling kertas. Setelah tergiling, gilingan kertas tadi akan disimpan untuk ditangani lebih lanjut saat tiba di pelabuhan tempat bersandar. Tentunya untuk didaur ulang. Untuk yang beling akan dimasukkan ke dalam mesin penggiling beling, yang setelah menjadi pecahan kecil-kecil akan dibuang ke laut. Sedangkan untuk yang berjenis kaleng akan dimasukkan ke dalam mesin pemadat kaleng untuk nantinya dibawa ke pelabuhan berikutnya untuk didaur ulang.
Sebenarnya ada dua jenis sampah lagi yang tidak dapat diakomodasi oleh TPA tersebut. Mereka adalah lampu bekas dan baterei bekas. Untuk sampah-sampah jenis tersebut tidak diakomodasikan dalam TPA melainkan harus diserahkan kepada tukang listrik di kapal.
Dari sini saya baru tahu kenapa warna laut di dermaga pelabuhan di kota Toulon berbeda dengan warna laut di Tanjung Priok. Begitu juga dengan warna laut di pelabuhan Fremantle yang juga pernah saya kunjungi. Bahkan di Fremantle tersebut tak jarang saya melihat lumba-lumba dengan gembiranya bermain-main di dermaga. Seakan tak takut oleh kehadiran kita di dekatnya.
Bukankah seharusnya kita sebagai Negara muslim terbesar di dunia harus bisa seperti itu. Karena sejak kecil sudah dipatrikan di diri kita bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Ataukah justru karena watak kita yang tidak resikan hingga membuat kita harus didoktrin dengan jargon tersebut dari kecil ?
Hanya kita sendiri yang tahu jawabannya.

mercredi 13 juin 2012

Rio de Janeiro 3 - Maracana


Rio de Janeiro,

Hari itu hari Kamis, 7 Juni 2012. Bangun pagi perut ini masih terasa penuh hasil dari Porçao kemarin malam. Pukul 7 pagi langsung mandi dan sarapan untuk mengejar waktu. Hari itu rencana saya pergi ke objek wisata yang paling sering dikunjungi turis di Rio de Janeiro, Patung Kristus Sang Penebus. Patung ini terletak di bukit Corcovado yang berarti Punuk Unta, karena memang bentuk gunungnya seperti punuk unta kalau dilihat dari jauh. Untuk pergi ke sana saya berencana mencoba Metro dengan tidak lupa membawa semua catatan yang saya punya dari Bruno, Perwira Brasil yang saya temui di Georges Leygues.

Tak lama setelah keluar dari pelabuhan, di Avenida Rio Branco, terlihat sosok bertubuh gemuk menyapa saya dari kejauhan. Ah, ternyata Bruno. Kami pun kembali berjumpa. Dia baru selesai turun jaga dan sekarang hendak pulang,rumahnya di daerah Copacabana. Hari Kamis itu hari libur bagi umat Katholik. Dia pun menawarkan kepada saya untuk pergi bersama dia karena kebetulan satu jurusan dengan tujuannya. Sebuah kebetulan yang tidak disangka-sangka. Berjalanlah kami berdua ke stasiun Metro Uruguaiana.

Pada hari normal terdapat tiga buah akses masuk ke stasiun itu. Berhubung hari itu hari libur, hanya satu pintu yang terbuka. Yang terlihat sepanjang akses di sana adalah kotor, sampah dan genangan air berserakan di banyak tempat. Tampaknya masalah kebersihan masih menjadi problem yang serius di Rio de Janeiro.

Metro di Rio de Janeiro bernama MetroRio. Terdapat dua buah jalur utama, Zona Nord (Daerah Utara) dan Zona Sul (Daerah Selatan) yang menghubungkan sekitar 36 stasiun, baik yang berada di dalam tanah maupun yang berada di darat. Di Metro Rio terdapat juga akses terusan dengan trem, bis dalam kota, maupun bis antarkota. Untuk tarif, sekali jalan kita harus membayar 3,20 reals dan 4,15 reals untuk terusan bis dalam kota yang disebut “integrações”. Untuk saya yang hendak pergi ke Corcovado, saya harus membeli tiket “integrações” yang berbentuk kartu magnetik berwarna ungu.

Bersama Bruno saya masuk ke lintasan metro setelah sebelumnya menggesek kartu magnetik saya. Tidak seperti di Paris yang bisa menerobos, di Rio setiap pintu masuk Metro pasti ada seorang petugas keamanan. Jadi seluruh penumpang harus benar-benar memiliki tiket. Setelah kurang lebih 5 menit menunggu, datanglah Metro kami. Dari Uruguaiana kami mengambil linha 1 Zona Sul, saya akan turun di stasiun Largo do Machado sedangkan Bruno lanjut hingga Copacabana. Sesampainya kami di Largo do Machado kami pun berpisah. Saya keluar dari stasiun dan menuju ke tempat pemberhentian bus. Di sana saya akan mengambil bis dalam kota “integrações” dengan tujuan Cosme Velho. Sewaktu naik bis kartu magnetik “integrações” saya serahkan kepada supir bis.

Kurang lebih 15 menit dari Largo do Machado, tibalah saya di tempat tujuan. Untuk naik ke Patung Kristus harus dengan menggunakan trem. Tempat naik trem itu persis di seberang tempat pemberhentian bis saya. Praktis.

Saat itu cuaca cukup mendung, dan saya segera ke loket pembelian tiket trem. Namun pihak penjualnya memperingatkan saya bahwa di atas cuaca berawan sehingga tidak akan kelihatan apa-apa. Begitu saya melihat ke puncak Corcovado, benar katanya, patung Kristus tertutup oleh awan tebal. Akhirnya saya membatalkan kunjungan saya dan akan kembali tatkala cuaca bagus. Satu hal kesalahan saya adalah tidak mengakses ramalan cuaca lewat internet. Setelah saya lihat, selama hari Kamis, Jumat dan Sabtu cuaca jelek, peluang hujan 70 persen. Hanya hari Minggu cuaca bagus, mungkin saya akan kembali pada hari Minggu.

Karena hari masih pagi, saya berencana untuk mengunjungi stadion Mario Filho atau lebih dikenal dengan Stadion Maracana. Dari Corcovado saya naik bis yang sama menuju ke stasiun Metro Largo do Machado dengan membeli tiket terusan “integrações”. Karena membelinya di sopir bis, bukan kartu magnetik yang saya dapatkan, melainkan sebuah karcis mirip di Paris yang bisa digunakan untuk mengakses Metro. Sampai di Largo do Machado saya naik Metro mengambil Linha 1 jurusan Saens Pena. Kemudian turun di stasiun Estácio untuk kemudian oper Metro linha 2 dengan tujuan Maracana.

Keluar stasiun Maracana, terlihat Stadion kebanggaan warga Rio de Janeiro itu. Salah satu stadion yang akan menjadi tuan rumah perhelatan Piala Dunia 2014 tersebut sedang berbenah. Tampak dari luar proses renovasi dilakukan di stadion yang pernah menjadi saksi terjadinya gol ke-1000nya Pele.

Akhirnya saya hanya bisa mengunjungi museum, yang terletak tepat di samping stadion. Setelah membayar 20 reals, masuklah ke dalam museum tersebut. Museum ini terdiri dari 4 lantai. Lantai 1 berupa loket pembelian tiket, lantai 2 hall of fame, lantai 3 tempat penjualan souvenir dan lantai 4 tempat jejak-jejak kaki pesepak bola Brasil. Selain pesepak bola Brasil macam Pele, Zico, Romario, Ronaldo, Kaka, hingga Marta, terdapat juga jejak kaki Franz Beckenbauer dari Jerman dan juga Eusebio dari Portugal. Dengan melihat jejak-jejak kaki mereka secara langsung terlihat bahwa Brasil ini adalah sebuah negara dengan talenta sepak bola yang tak pernah habis, hilang satu, tumbuh yang lain.

Puas mengunjungi museum dan berfoto-foto berarti selesai sudah petualangan hari ini. Dengan diiringi hujan rintik-rintik kembalilah saya ke kapal, karena sungguh, suasana hujan membuat hari-hari di Rio menjadi suram. Kali ini saya mencoba untuk mencoba moda transportasi lainnya, bis kota. Dengan bantuan Google Maps, saya dapat mengetahui bis apa yang harus saya naiki, di mana tempat menunggunya dan berapa lama perkiraan waktu perjalanan. Untuk bis di Rio de Janeiro dipatok tarif 2,75 reals, dan 2,85 untuk bis berAC. Sesampai di kapal, lanjut makan malam dan menyusun rencana jalan-jalan untuk esok hari.

-bersambung…-







Rio de Janeiro 2 - Di Restoran Barbeque


Rio de Janeiro,

Hari ke-2 di Rio masih merupakan hari kerja buat kami. Namun untuk siswa seperti saya, tidak ada acara khusus yang harus dilakukan. Hanya apel pagi yang harus saya hadiri di Dixmude, setelah itu bebas, menunggu jam pesiar. Namun bagi kru kapal, hari itu adalah hari sibuk. Terlihat oleh saya para kru sibuk melaksanakan corvée, yaitu gotong royong, memasukkan bahan-bahan logistik yang akan digunakan untuk pelayaran etape selanjutnya. Terlihat juga tank-tank Marinir Brasil sudah berjajar di dermaga, siap melaksanakan embarkasi di BPC Dixmude. Memang akan dilaksanakan latihan bersama selama 3 hari antara Angkatan Laut Perancis dan Brasil, lengkap dengan operasi pendaratannya. Hal ini sebagai salah satu bentuk promosi kepada Angkatan Laut Brasil yang berencana untuk membangun beberapa unit BPC / LHD (Landing Helicopter Dock).

Siang itu saya kembali bertemu dengan perwira Brasil yang saya temui di hari sebelumnya. Namanya Bruno, dan dia adalah seorang pengawak kapal selam. Kembali saya bertanya kepadanya tentang akses transportasi ke tempat-tempat tujuan wisata. Dan dia pun menjelaskan kepada saya dengan gamblang. Tak jarang pula dia menuliskan pertanyaan-pertanyaan penting dalam Bahasa Portugal yang dapat saya gunakan sewaktu-waktu, sebagai jaga-jaga kalau saya mengalami kesulitan di perjalanan. Tak lupa saya bertanya kepadanya tempat di mana saya bisa membeli sebuah Brevet Kapal Permukaan. Dan dengan baik hati, dia mengantar saya ke toko penjualan aksesoris militer yang terletak tak jauh dari pelabuhan. Di sana saya membeli barang yang saya cari. Hal ini sedapat mungkin saya lakukan karena saya mengoleksi Brevet Kapal Permukaan dari Angkatan Laut asing. Sejauh ini saya sudah punya India, Malaysia, Philiphina,Uni Emirat Arab, Perancis dan sekarang Brasil. Satu negara yang saya lewati adalah Afrika Selatan dikarenakan barang tersebut tidak dijual bebas.

Malamnya ada acara makan malam bersama satu angkatan. Rencana makan malam dilaksanakan di sebuah restoran bernama Porçao yang terletak di bilangan Botafogo. Di sini saya tergabung dengan angkatan 2009. Artinya teman-teman saya masuk Akademi Angkatan Laut Perancis tahun 2009. Hal yang menarik mengingat kalau di Indonesia, dalam sebuah Akademi Militer, tahun angkatan disebut berdasarkan tahun keluarnya. 

Pukul 20.00 saya sudah berkumpul di depan BPC Dixmude yang sandar di belakan Georges Leygues. Di dermaga saya menunggu teman-teman yang lainnya untuk berangkat bersama-sama dengan menggunakan taksi. Setelah berkumpul semua, dengan jumlah tak kurang dari 20 orang, berangkatlah kami ke Avenida Rio Branco untuk mencari taksi. Tempatnya ternyata tak begitu jauh dari pelabuhan, kurang lebih 15 menit perjalanan dengan biaya taksi sebesar 18 reals.

Sampai di restoran Porçao, saya pun mengambil tempat, saya duduk di sebelah teman saya Joao dari Brasil. Di sana sudah dipersiapkan sebuah ruangan untuk kurang lebih 100 orang. Di tiap meja tersedia sebuah kertas berbentuk lingkaran yang bertuliskan di dua sisi. Satu sisi berwarna hijau dengan tulisan YES, sisi yang lain berwarna merah bertuliskan NO. Hal ini dimaksudkan agar pelayan yang nantinya menyajikan makanan tahu kalau kita ingin tambah atau tidak. Setelah sedikit pembukaan dari Sang Ketua Angkatan, Joao mengajak saya untuk segera memulai mengambil makanan. Ternyata Porçao ini model restoran all you can eat. Dan untungnya sebelum berangkat saya tidak makan di kapal, sengaja mengosongkan perut untuk menghadapi malam yang panjang di Porçao.

Babak pertama pun dimulai, saya pun mengambil beraneka macam makanan yang tersaji. Ada salad, masakan jepang, masakan brasil, nasi, dan sebagainya. Setelah piring saya penuhi, saya kembali ke meja saya untuk menyantapnya. Rasanya bagi saya tidak terlalu nikmat. Menurut saya cenderung masam, mungkin seperti itu rasa masakan di Brasil.

Setelah habis piring pertama saya hendak beranjak untuk memilih makanan yang lain, namun tiba-tiba datang seorang pelayan membawa seonggok daging barbeque. Karena kertas lingkaran yang ada di saya pada posisi hijau maka dia pun menghampiri meja saya dan mengiris beberapa iris daging panggang ke piring saya. Dan setelah itu, secara terus menerus, datang berbagai jenis daging-daging barbeque lainnya. Dari sini saya baru paham, kalau makanan yang saya ambil pertama kali tadi adalah appetizer. Dan restoran ini adalah restoran barbeque, di mana menu utamanya adalah segala macam daging yang sudah dipanggang.

Setelah daging sapi yang pertama, silih berganti datang daging ayam, daging kambing, daging rusa, daging burung onta, jeroan ayam, dan daging-daging yang lainnya termasuk daging babi yang tidak saya makan. Seluruh daging yang disajikan kualitas nomor satu, sangat empuk dan sangat enak dimakan. Sungguh, tidak akan menyesal datang ke restoran ini. Yang saya sesalkan hanya satu : kenapa siang tadi saya sempat makan siang… Karena, terbukti saya tidak dapat menikmati seluruh hidangan yang disajikan.

Setelah kurang lebih dua jam kami menikmati seluruh hidangan, datanglah hidangan penutup. Yang ini tidak sepuasnya, masing-masing orang hanya mendapat segelas besar es krim. 

Setelah itu kembali ke kapal, mempersiapkan diri untuk berkunjung ke Corcovado keesokan harinya. Pastinya tidur malam itu sangat nyenyak, hasil dari makan-makan di Porçao, sebuah restoran yang recommended.

-bersambung….-

Rio de Janeiro 1 - Blackberry dan Google Maps


Rio de Janeiro,

Pagi itu, pukul 8.00 waktu Brasil saya sudah berjejer dengan rapi, dengan seragam putih-putih, melaksanakan Peran Parade di geladak helicopter Frigate Georges Leygues. Tak lama lagi saya akan dapat menginjakkan kaki di Benua Amerika untuk pertama kalinya. Kapal melaju dengan tenang sepanjang alur masuk Rio de Janeiro. Di belakang kami tampak Dixmude, dengan badan besarnya, mencoba mengikuti tikas kami pada jarak kurang lebih 2 mil laut. Sepanjang perjalanan di alur tampak oleh mata saya sebuah gunung indah yang orang menyebutnya Sugar Loaf. Tak jauh di sebelahnya tampak pula patung Kristus yang merupakan satu dari tujuh keajaiban dunia yang baru, kokok berdiri di bukit Corcovado.

Sekitar satu jam perjalanan kami pun tiba di pelabuhan yang telah disiapkan dan bersandar dengan mulus. Suasana pagi itu cukup terik hingga saya pun berkeringat, hal yang jarang saya alami sewaktu onboard di kapal yang ber-AC. Dan, sejarah pun mencatat, pada hari itu, hari Selasa tanggal 5 Juni 2012, saya telah menginjakkan kaki di Benua Amerika. Lengkap sudah lima benua sudah pernah saya rasakan.

Hari itu dan hari besoknya adalah hari kerja buat kami. Dua pengarahan dan satu cocktail party mengisi hari pertama saya di Rio de Janeiro. Dengan dua hari kerja, praktis kami mempunyai empat hari libur yang bisa digunakan untuk menikmati kota yang cantik ini.

Buat saya, waktu-waktu pesiar di negara asing akan terasa menyenangkan jika dua hal terpenuhi : Blackberry aktif dan akses transportasi mudah. Oleh karena itu hari pertama saya segera mencari tempat penjualan kartu sim TIM yang menyediakan layanan internet Blackberry. Dengan bertanya ke seorang Perwira Brasil yang menjadi Perwira Penghubung buat Georges Leygues, meluncurlah saya ke stasiun Metro Uruguaiana. Beruntung bagi saya, pelabuhan tempat kami sandar berada tak jauh dari pusat kota yang disebut Centro. Hanya perlu berjalan selama 10 menit sampailah saya ke stasiun metro Uruguaiana dan membeli sebuah kartu perdana TIM seharga 5 reals. Begitu saya pasang ternyata layanan Blackberry secara otomatis terpasang. Cukup memudahkan.

Tapi, itu semua hanya berlangsung selama satu hari. Setelah itu layanan Blackberry tidak bisa diakses dikarenakan simcardnya harus diaktifkan. Bagi wisatawan mancanegara seperti saya, untuk mengaktifkan harus pergi ke kantor layanan TIM yang terletak di daerah Copacabana. Namun, saya meminta tolong Joao teman saya untuk mengaktifkan kartu saya dengan menggunakan nomor CPF miliknya. Nomor CPF adalah semacam nomor kependudukan di Brasil. Cara mengaktifkan cukup mudah, tekan sembarang nomor, masukkan nomor CPF dan tunggu beberapa menit. Setelah itu kartu TIM kita bisa diisi ulang dan untuk mengaktifkan layanan Blackberry dengan cara kirim sms bertuliskan ilimitado ke 8080. Tarifnya 1 real per hari.  

Setelah Blackberry aktif, secara otomatis saya dapat mengakses aplikasi Google Maps. Google Maps adalah senjata utama saya sewaktu bepergian. Karena dengan aplikasi tersebut kita dapat mengetahui bis atau metro apa yang harus kita ambil untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal tersebut sudah saya praktekkan di New Delhi dan Cape Town. Dan hal tersebut menjadi sangat penting di Rio, di mana tidak semua orang berbahasa Inggris, yang tentunya menyulitkan kita untuk bertanya.

Dan, dengan tersedianya layanan Blackberry, dengan mudah saya dapat menyusun jadwal kunjungan yang wajib saya lakukan : Sugar Loaf, Corcovado, stadion Maracana dan pantai Copacabana.

-bersambung….-

lundi 4 juin 2012

Dari waktu ke waktu

Samudera Atlantik Selatan,


Selama pelayaran dalam Mission Jeanne d’Arc ini saya beruntung mendapat kesempatan untuk mengunjungi kota-kota yang mana saya belum pernah melihatnya sebelumnya. Selama itu pula saya melakukan pelayaran ke timur, ke barat, ke selatan dan ke utara. Layaknya kalau kita bepergian dengan pesawat terbang, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain yang cukup jauh, tentunya kita mengalami perubahan zona waktu. Jika kita bepergian dengan pesawat, perubahan waktu tersebut kita laksanakan ketika hendak mendarat pada saat diumumkan melalui pengumuman pesawat terbang. Sedangkan pada saat bepergian dengan mobil kita melaksanakannya pada saat melintas daerah tertentu karena pada saat di darat batasnya jelas. Bagaimanakah kalau di laut  ? Bagi orang yang tidak bepergian dengan kapal laut, pertanyaan ini sungguh menarik. Karena media transportasi kapal tidak secepat pesawat terbang dan di laut tidak memiliki batas seperti di darat.

Selama di kapal, khususnya di kapal perang, perubahan waktu biasanya ditentukan oleh Sang Komandan. Perubahan waktu di laut sangat penting karena menyangkut kerealistisan dan penentuan jam jaga. Bayangkan jika kita selama periode pelayaran mendapat jatah jaga jam 8 s.d. 12 siang dan kita melaksanakan pelayaran ke barat yang cukup jauh, dari Cape Town ke Rio de Janeiro yang ditempuh dalam waktu 15 hari. Pada awal jaga jam 8 itu pagi. Kalau tidak diadakan pergantian waktu selama perjalanan, pada saat di Rio jam 8 pagi itu masih gelap seperti jam 4 pagi. Masalah realistis tidak realistisnya, tentunya kita tidak mau beranjak tidur malam di saat matahari baru terbenam, ataupun melaksanakan apel pagi mulai kerja pada jam 5 pagi.

Selama misi Jeanne d’Arc ini, yang diikuti oleh dua kapal, perubahan waktu dilaksanakan secara bersama-sama. Siapa yang menentukan  ? Tentunya Dansatgas, dalam hal ini Komandan BPC Dixmude, karena dia lebih senior. Atau kalau bukan dia, yang menentukan adalah salah satu perwira Dixmude yang mendapat mandat dari Komandan. Dan rencana perubahan waktu ini ditegaskan dalam SOE (Schedule of Event) harian, yang diterima oleh masing-masing kapal dan diumumkan dalam briefing harian dua hari sebelumnya. Briefing harian dilaksanakan setiap hari jam 18.15 waktu lokal.

Yang menarik, perubahan waktu tersebut dilaksanakan pada saat malam hari, di saat semua orang tidak sedang beraktivitas. Biasanya dilaksanakan pada pukul 4 pagi, yang akan menjadi pukul 5 pagi kalau kita berlayar ke timur, atau pukul 3 pagi kalau kita berlayar ke barat. Perubahan waktu ini tanpa didahului oleh pencocokan waktu dan hanya dituangkan dalam feuille de service, atau lembaran rencana kegiatan harian, yang di TNI AL disebut PHST.

Di lingkungan internasional pun kita mengenal penyebutan zona waktu dengan huruf, dari A (Alfa), B (Bravo) dan seterusnya. Selama pelayaran ini saya memulai dari zona waktu A atau GMT + 1 pada saat saya berada di Toulon, Perancis. Setelah itu kami berlayar ke timur yang artinya matahari semakin cepat terbit dan semakin cepat terbenam pula, sehingga waktu harus dimajukan. Tujuan berikutnya adalah Beirut yang berzona waktu B (GMT + 2). Dari Beirut, tali-tali kami lepas untuk melanjutkan perjalanan ke timur menuju Djibouti yang berzona waktu GMT + 3, setelah melintas Terusan Suez dan laut Merah. Setelah itu menuju ke Mombassa, Kenya hingga akhirnya menuju ke La Reunion, salah satu wilayah teritorial Perancis di Samudera Hindia yang berzona waktu D (Delta). La Reunion adalah tempat paling timur dalam misi ini. Yang berarti pelayaran selanjutnya adalah ke barat dan terus ke barat.

Dari La Reunion kami menuju ke Cape Town, ujung paling selatan benua Afrika yang berzona waktu Bravo. Kalau GMT + 1 kita sebut Alfa, GMT + 2 adalah Bravo, Jakarta yang GMT + 7 masuk dalam zona waktu G (Golf). Pertanyaan selanjutnya, disebut apakah GMT (Greenwich Mean Time) ? Jawabannya adalah zona waktu Z (Zulu). Zona waktu Zulu inilah yang digunakan oleh tentara sekutu yang tergabung dalam NATO pada saat melaksanakan operasi. Hal ini untuk memberikan kepastian dan menghilangkan kebingungan, karena mereka bekerja dengan pesawat-pesawat tempur yang dalam hitungan menit sudah mungkin untuk berganti-ganti zona waktu.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana menyebut zona waktu GMT – 1, GMT – 2, dan seterusnya ? Hal ini terus terang belum pernah saya alami sebelumnya. Pelayaran paling jauh saya adalah dari Amsterdam menuju ke Surabaya, di mana Amsterdam berzona waktu Alfa. Dan ketika saya melintas Samudera Atlantik Selatan, pertama kalinya pula saya berada dalam zona waktu yang berbeda 7 jam dari Surabaya. Yah, akhirnya saya mengalami berada di zona waktu Zulu. Setelah itu kami terus melanjutkan perjalanan ke barat dan akhirnya betul-betul berada di zona waktu GMT – 1 yang disebut N (November).

Kenapa November dan bukan Y (Yankee) karena sebelum Zulu harusnya Yankee. Ternyata jawabannya adalah karena zona waktu terjauh di timur GMT adalah GMT + 13, yang kalau di Blacberry maupun di Windows bertempat di Nuku’alofa, yang berzona waktu M (Mike). Setelah itu, penamaan zona waktu dilanjutkan dengan November di GMT – 1, Papa untuk wilayah Rio de Janeiro pada GMT – 3, dan Sierra di zona waktu Central America GMT – 6. Praktis pada saat di Rio de Janeiro nanti, selisih waktu saya dengan  Surabaya adalah 10 jam.

Hal-hal menarik berkaitan dengan perubahan waktu di kapal adalah masalah untung-rugi jaga. Kenapa begitu ? Karena waktu jaga bisa menjadi lebih panjang atau lebih pendek satu jam. Kalau kita berlayar ke timur, tentunya menjadi untung kalau perubahan waktu dilaksanakan di masa jaga kita karena waktu menjadi semakin cepat. Sebagai contoh kita jaga pada jam 8 sampai jam 12 pagi di zona waktu Zulu. Kemudian kita melaksanakan perubahan waktu pada pukul 11 Zulu yang kemudian menjadi 12 Alfa. Jadi total jaga hanya tiga jam.

Hal sebaliknya terjadi bila kita berlayar ke arah barat. Jam jaga yang seharusnya 4 jam bisa molor hingga 5 jam. Dan itu bisa jadi membuat gondok seseorang, utamanya kalau jaga larut malam dari tengah malam hingga jam 4 pagi. Untuk menyiasatinya, kelebihan waktu satu jam tadi dibagi dua oleh jaga lama dan jaga baru. Jadi masing-masing melaksanakan jaga selama 4 setengah jam. Cukup adil.