jeudi 12 juillet 2012

Dari pengarahan, cocktail hingga Capitane d’Arme

Dakar,

Hari kedua di Dakar.
Kalau Dahlan Iskan pernah menuliskan catatannya pada saat menunggu keberangkatan pesawat, saya menulis catatan ini pada saat menghadiri sebuah pengarahan. Dua hari sandar di Dakar, hari pertama adalah “hari kerja” sedangkan hari kedua adalah hari pengarahan. Pengarahan dari Dubes Perancis ini laksana lagu nina bobo bagi saya. Angin jendela yang bertiup sepoi-sepoi semakin mendekatkan saya dengan yang namanya mimpi indah.
Tak mau tertidur dengan seragam kehormatan ini saya menyibukkan diri memencet tombol-tombol di Blackberry untuk menuangkan celoteh-celoteh saya. Hanya untuk sekedar kenangan pribadi, syukur-syukkur kalau bisa menginspirasi orang lain (duile !)
Kapal sandar kemarin pagi di pelabuhan umum Dakar. Dua hari rencana sandar di Dakar, pagi-pagi besok sudah tolak menuju Lisbon. Di kapal perang Perancis, waktu sandar tidak berarti bebas dari pekerjaan. Dua hari sebelum sandar biasanya sudah keluar yang namanya Perintah Harian Palaksa, sang wakil Komandan. Dalam Perintah Harian tersebut tercantum segala informasi tentang kegiatan sehari-hari selama sandar.  Dari mulai seragam yang digunakan, waktu pesiar, peringatan-peringatan saat pesiar, nomor-nomor telepon penting, sampai jenis hari dinas dicantumkan di sana.  Perintah Harian ini ditempel di tempat-tempat strategis di seluruh kapal agar dapat dilihat seluruh ABK.
Selama dua hari di Dakar ini misalnya, hari pertama diputuskan sebagai “hari kerja” dan hari kedua sebagai  “hari minggu”. Hari minggu ini maksudnya hari libur, bukan hari Minggu sesungguhnya karena hari kedua sekarang ini adalah hari Rabu. Ada lagi jenis hari lainnya yaitu “hari sabtu”.
Pada “hari kerja” seluruh personel di kapal melaksanakan kegiatan kerja seperti biasa. Kegiatannya antara lain pembuangan sampah, pembersihan, pengisian bahan bakar, pengangkutan bahan-bahan logistik hingga pengarahan-pengarahan. Pengecualian untuk Dakar, di mana pengarahan dilakukan pada saat “hari minggu”.  Pada “hari kerja” pesiar dilakukan pada pukul 16.00.
Pada “hari sabtu” kapal melakukan pekerjaan-pekerjaan selama setengah hari. Pesiar mulai pukul 13.00. Sedangkan pada “hari minggu” pesiar bebas, mulai subuh pun boleh kalau mau. Seluruh personel, termasuk Kadet, diijinkan untuk menginap di hotel selama besoknya adalah “hari minggu” dan tidak malam kapal tolak. Mereka yang hendak “tidur luar” atau istilah Perancisnya découcher harus mencatatkan alamat lengkap dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Bagi yang tidak “tidur luar” jam pulang pesiar adalah pukul 03.00 atau 01.00 bagi yang jaga keesokan harinya.
Kegiatan lain yang selalu ada selama misi Jeanne d’Arc ini adalah cocktail party. Kegiatan yang sangat tidak saya gemari karena acara tersebut sama dengan alkohol yang mana saya tidak mungkin menyentuhnya. Selain itu makanan yang disajikan hanya seujung jari. Perut saya pasti protes kalau dimasuki makanan seujung jari seperti itu.
Ada lagi yang namanya PO, kepanjangannya present obligatoire yang berarti “wajib hadir”. PO adalah para Kadet yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas-tugas khusus selama sandar, termasuk jadi penerima tamu saat cocktail party. PO ini adalah tugas biasa, namun kebanyakan merupakan hukuman. Hukuman bagi mereka-mereka yang tertangkap tidur saat jam kerja, atau makan pagi pada saat pembersihan pagi. Ada juga yang mendapat PO karena lupa mengunci lemari mereka ataupun meninggalkan laptop atau ponsel di atas tempat tidur. PO ini masih tergolong hukuman yang lebih ringan dari hukuman lainnya : cabut pesiar.
Yang tugasnya menangkap Kadet-kadet bermasalah adalah sang satpam yang bernama Capitaine d’Arme. Untungnya dia tak pernah memberikan hukuman jungkir balik yang lebih menyiksa. Namun terkadang hukuman PO dan cabut pesiar jauh lebih menyakitkan daripada jungkir balik. Nah lho…?

lundi 9 juillet 2012

Cerita telat tentang Abidjan

Dakar,

Sekarang saya sudah di Dakar setelah sebelumnya sandar di Abidjan. Sengaja tidak menulis cerita waktu di Abidjan karena memang tidak ada hal menarik untuk diceritakan.
Selama tiga hari di ibukota Negara Pantai Gading itu untuk pertama kalinya saya tidak mendapatkan salah satu barang wajib saya : magnet kulkas. Sudah mencari ke mana-mana namun tak ketemu juga barang itu. Dan setelah saya tanya kepada teman-teman saya yang lebih jauh berkelana dari saya, jawabannya sama. Magnet kulkas adalah barang langka di sini. Cinderamata andalah yang mudah ditemui adalah kerajinan kayu. Entah itu kursi kayu, hiasan dinding kayu dan barang-barang lainnya yang terbuat dari kayu.
Untuk mencapai ke pusat kota Abidjan saya harus naik taxi dari pelabuhan dengan tariff 1000 franc (Rp. 18.000). Taxi berwarna merah itu memungkinkan penumpangnya untuk merasakan panas khasnya Abidjan karena tidak tersedia pendingin mobil. Di jalanan, sejauh mata memandang, warna merah taxi mendominasi. Jumlah taxi di sana lebih banyak dari jumlah mobil pribadi.
Internet juga menjadi masalah di Abidjan. Sepertinya internet masih menjadi barang aneh. Sangat susah mencari warnet di sana. Ada satu warnet saya temukan di mall yang bernama Cap Sud. Dua lainnya saya temukan di suatu daerah berjarak 15 menit perjalanan taxi dari Cap Sud. Yang di mall koneksinya tidak memungkinkan untuk berskype ria karena yang terlihat adalah suatu gerakan lambat secara terus-menerus. Yang lainnya malah mati sama sekali karena kebetulan sedang ada gangguan koneksi. Alhasil saya harus mengubur keinginan saya untuk sekedar melihat tingkah polah anak saya. Kenyataan bahwa misi ini sebentar lagi selesai pada akhirnya cukup menenangkan saya.
Hal lain yang bisa dicatat dari Abidjan adalah banyaknya orang miskin. Kemiskinan nampaknya masih menjadi masalah nasional yang serius. Bukan hanya di sini saja, tapi di banyak tempat di Afrika. Miris hati ini ketika melihat beberapa ibu-ibu lengkap dengan anak-anaknya yang harus tidur siang tepat di depan sebuah warnet yang tutup. Terpaksa mereka berlindung di bayangan warnet tersebut dari terik matahari yang sangat menyengat.
Kalau begitu, apakah tidak ada hal menyenangkan selama saya sandar di Abidjan ? Tentunya ada. Yang pertama adalah saya bisa melaksanakan sholat Jumat. Di Pantai Gading, termasuk di Abidjan, jumlah muslim cukup banyak. Saya tidak tahu apakah Islam agama mayoritas di sana atau tidak. Yang jelas waktu sholat Jumat saya sholat di bawah tenda, di atas jalan raya yang sengaja ditutup karena masjid yang ada tidak mampu menampung jumlah jamaah yang membludak. Namun bagian jalan yang digunakan untuk sholat hanya di bagian tengahnya saja. Di kanan kiri masih boleh dilalui oleh pejalan kaki. Menarik, karena waktu sholat banyak orang berlalu lalang di sekitar saya.
Pada waktu wudlu saya harus mengantri panjang. Hal ini karena di tempat wudlu itu hanya ada satu sumber air. Air mengalir dari dinding, tidak ada kran, mengalirnya pun kecil sekali. Untuk berwudhu pun harus menampung terlebih dahulu air dari sumber tersebut di sebuah ceret kecil warna-warni. Tampaknya ceret ini sudah menjadi aksesori wajib untuk pergi ke sholat Jumat karena semua orang tampak membawa ceret tersebut. Orang yang pergi ke toilet pun harus menampung air terlebih dahulu di ceret. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi toilet dengan jumlah air yang terbatas seperti itu. Entah itu terjadi setiap hari atau hanya pada acara sholat Jumat saja. Saya yang tidak mempunyai ceret terpaksa meminjam dari seseorang yang telah selesai wudhu.
Hal kedua yang patut saya syukuri di sini adalah keberhasilan saya menemukan sebuah restoran Asia. Tak jauh dari tempat sholat tadi ada sebuah restoran Vietnam bernama Petit Budha. Selesai sholat saya langsung meluncur ke sana untuk menyantap sepiring nasi goreng. Cukup enak, total hanya mengeluarkan uang sebesar Rp. 63.000.
Demikianlah yang dapat diceritakan dari Abidjan. Pelajaran moral yang bisa dipetik adalah bahwa Indonesia jauh lebih baik. Walaupun kita belum memiliki pemain sepak bola sekaliber Didier Drogba namun tidak pernah ada orang BAB di pinggir jalan raya.
Ah, semakin rindu tanah air jadinya.