lundi 9 juillet 2012

Cerita telat tentang Abidjan

Dakar,

Sekarang saya sudah di Dakar setelah sebelumnya sandar di Abidjan. Sengaja tidak menulis cerita waktu di Abidjan karena memang tidak ada hal menarik untuk diceritakan.
Selama tiga hari di ibukota Negara Pantai Gading itu untuk pertama kalinya saya tidak mendapatkan salah satu barang wajib saya : magnet kulkas. Sudah mencari ke mana-mana namun tak ketemu juga barang itu. Dan setelah saya tanya kepada teman-teman saya yang lebih jauh berkelana dari saya, jawabannya sama. Magnet kulkas adalah barang langka di sini. Cinderamata andalah yang mudah ditemui adalah kerajinan kayu. Entah itu kursi kayu, hiasan dinding kayu dan barang-barang lainnya yang terbuat dari kayu.
Untuk mencapai ke pusat kota Abidjan saya harus naik taxi dari pelabuhan dengan tariff 1000 franc (Rp. 18.000). Taxi berwarna merah itu memungkinkan penumpangnya untuk merasakan panas khasnya Abidjan karena tidak tersedia pendingin mobil. Di jalanan, sejauh mata memandang, warna merah taxi mendominasi. Jumlah taxi di sana lebih banyak dari jumlah mobil pribadi.
Internet juga menjadi masalah di Abidjan. Sepertinya internet masih menjadi barang aneh. Sangat susah mencari warnet di sana. Ada satu warnet saya temukan di mall yang bernama Cap Sud. Dua lainnya saya temukan di suatu daerah berjarak 15 menit perjalanan taxi dari Cap Sud. Yang di mall koneksinya tidak memungkinkan untuk berskype ria karena yang terlihat adalah suatu gerakan lambat secara terus-menerus. Yang lainnya malah mati sama sekali karena kebetulan sedang ada gangguan koneksi. Alhasil saya harus mengubur keinginan saya untuk sekedar melihat tingkah polah anak saya. Kenyataan bahwa misi ini sebentar lagi selesai pada akhirnya cukup menenangkan saya.
Hal lain yang bisa dicatat dari Abidjan adalah banyaknya orang miskin. Kemiskinan nampaknya masih menjadi masalah nasional yang serius. Bukan hanya di sini saja, tapi di banyak tempat di Afrika. Miris hati ini ketika melihat beberapa ibu-ibu lengkap dengan anak-anaknya yang harus tidur siang tepat di depan sebuah warnet yang tutup. Terpaksa mereka berlindung di bayangan warnet tersebut dari terik matahari yang sangat menyengat.
Kalau begitu, apakah tidak ada hal menyenangkan selama saya sandar di Abidjan ? Tentunya ada. Yang pertama adalah saya bisa melaksanakan sholat Jumat. Di Pantai Gading, termasuk di Abidjan, jumlah muslim cukup banyak. Saya tidak tahu apakah Islam agama mayoritas di sana atau tidak. Yang jelas waktu sholat Jumat saya sholat di bawah tenda, di atas jalan raya yang sengaja ditutup karena masjid yang ada tidak mampu menampung jumlah jamaah yang membludak. Namun bagian jalan yang digunakan untuk sholat hanya di bagian tengahnya saja. Di kanan kiri masih boleh dilalui oleh pejalan kaki. Menarik, karena waktu sholat banyak orang berlalu lalang di sekitar saya.
Pada waktu wudlu saya harus mengantri panjang. Hal ini karena di tempat wudlu itu hanya ada satu sumber air. Air mengalir dari dinding, tidak ada kran, mengalirnya pun kecil sekali. Untuk berwudhu pun harus menampung terlebih dahulu air dari sumber tersebut di sebuah ceret kecil warna-warni. Tampaknya ceret ini sudah menjadi aksesori wajib untuk pergi ke sholat Jumat karena semua orang tampak membawa ceret tersebut. Orang yang pergi ke toilet pun harus menampung air terlebih dahulu di ceret. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi toilet dengan jumlah air yang terbatas seperti itu. Entah itu terjadi setiap hari atau hanya pada acara sholat Jumat saja. Saya yang tidak mempunyai ceret terpaksa meminjam dari seseorang yang telah selesai wudhu.
Hal kedua yang patut saya syukuri di sini adalah keberhasilan saya menemukan sebuah restoran Asia. Tak jauh dari tempat sholat tadi ada sebuah restoran Vietnam bernama Petit Budha. Selesai sholat saya langsung meluncur ke sana untuk menyantap sepiring nasi goreng. Cukup enak, total hanya mengeluarkan uang sebesar Rp. 63.000.
Demikianlah yang dapat diceritakan dari Abidjan. Pelajaran moral yang bisa dipetik adalah bahwa Indonesia jauh lebih baik. Walaupun kita belum memiliki pemain sepak bola sekaliber Didier Drogba namun tidak pernah ada orang BAB di pinggir jalan raya.
Ah, semakin rindu tanah air jadinya.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire