mercredi 31 juillet 2013

Bulan Ramadhan di Negeri Cedar (part 1) - Buka a la Arab



Tahun ini kembali saya merasa bangga menjadi seorang pelaut. Bagaimana tidak, Ramadhan kali ini saya habiskan di Lebanon. Kembali saya berkesempatan menjalani bulan suci di negeri orang, sebuah kesempatan mempelajari budaya ramadhan masyarakat muslim luar negeri. Tahun lalu pun saya sempat menjalani puasa di Portugal, di kapal perang Perancis dan sedikit di Paris. Tahun 2010 Ramadhan saya jalani saat saya menimba ilmu di India. Subhanallah.

Saya beruntung mengalami bulan Ramadhan di musim panas. Lebanon, walaupun negara Asia, tetap saja mengalami empat musim. Dan di musim panas berarti siang adalah panjang. Berpuasa kali ini saya jalani selama 16,5 jam lamanya. Sahur jam 3 pagi hingga buka puasa jam 8 malam. Walaupun begitu lamanya, puasa lebih lama pernah saya lakukan semasa saya di Lisbon dan di Paris tahun lalu. Saat itu buka puasa jam 10 malam, juga di musim panas.

Secara umum tidak ada masalah dalam menu buka dan sahur. Hal ini karena saya tinggal di dalam kapal perang Indonesia sehingga masakan-masakan yang disajikan masih masakan tanah air. Kolak dan pisang goreng secara rutin masih saya konsumsi sehari-hari. Bahkan menu nasi padang selalu tersedia untuk buka puasa di hari Minggu.

Bosan dengan rutinitas, sesekali saya mencoba untuk buka puasa di masjid setempat (di kota Beirut). Perlu diketahui bahwa penduduk Lebanon tidak mayoritas muslim. Penganut agama Nasrani kabarnya mencapai hampir setengah populasi Lebanon. Tak heran, di Beirut, masjid tidak se-membludak di Indonesia. Di Indonesia, hampir tiap 100 meter pasti kita temukan masjid ataupun mushola. Tidak demikian di Beirut.

Paling dekat dengan pelabuhan, masjid hanya ditemukan di kawasan Downtown. Downtown merupakan kawasan pusat kota, tempat di mana penduduk Beirut menghabiskan malam.  Berdiri tegak di kawasan Downtown masjid agungnya Beirut : Masjid Hariri. Masjid berkubah biru ini sangat indah, apalagi di malam hari. Birunya terlihat menyala dikelilingi cahaya lampu kuning keemasan di bawahnya.

Namun saya belum pernah berbuka puasa di Masjid Hariri. Saya hanya mengalami bersantap takjil di masjid lain yang tak jauh dari Hariri, Masjid Al Omari namanya. Masjid itu tak kalah indah dengan Hariri, walaupun ukurannya lebih kecil. Dari luar masjid itu mempunyai satu menara dan dua kubah. Di malam hari lampu berwarna kuning membuat menara dan kubah-kubah itu tampak menyala.

Berdasarkan sejarah, masjid Al Omari dulunya adalah sebuah katedral yang dibangun pada masa Crusader St. John pada tahun 1113 – 1115 M. Setelahnya diubah peruntukannya menjadi masjid oleh Kesultanan Mamluk pada tahun  1291 M. Sepintas memang desain masjid ini lebih mirip katedral daripada tempat peribadatan umat muslim. Pemerintah Lebanon patut diacungi jempol atas terjaganya bangunan bersejarah ini sampai sekarang. 

Masuk ke dalamnya sudah berjejer jamaah sholat maghrib. Interiornya cukup indah, tembok-temboknya merupakan susunan batu pualam. Terlihat alami dan terkesan adem. Ruangan utamanya berbentuk melingkar tak bersudut.  Sebagai penerangan berjejer melingkar lampu-lampu tergantung  di langit-langit. Lampu-lampu tersebut menambah kesan antik ruangan masjid tersebut. Benar-benar eksotis.

Para (calon) jamaah sholat magrib itu sudah duduk bersila di depan ta’jil dan makan malam. Mereka duduk bersila dengan rapi sambil menunggu adzan maghrib. Saya yang datang bersama beberapa teman saya ikut mengambil tempat yang masih tersisa. Masjid ini walaupun berukuran sedang namun terlihat penuh oleh barisan orang-orang yang menunggu berbuka puasa

"Pasti setelah adzan langsung makan dulu baru sholat jamaah," pikir saya saat itu.

Setelah mengambil duduk, di hadapan saya terpampang menu berbuka puasa. Makanan itu disajikan di atas piring plastik di atas karpet yang sudah dialasi oleh plastik transparan. Menu hari itu adalah ayam, nasi, sayuran semacam acar, sup kacang, dan saos putih khas makanan arab. Untuk ta’jilnya sudah disediakan tiga jenis roti, tiga biji kurma dan segelas air putih dingin. Turut melengkapi sajian tersebut adalah buah yang saya tak tahu namanya, jus buah kotak dan susu botol kemasan. Benar-benar sajian yang mewah untuk sebuah buka di masjid.

Allahu Akbar.. Allahu Akbar..

Takbir magrib pun berkumandang nyaring. Kami semua segera menyantap ta’jil. Saya lihat sekeliling, sebagian besar dari mereka memakan buah kurma terlebih dahulu. Berbeda dengan saya yang memilih menyegarkan tenggorokan dengan segelas air dingin. Puas berta’jil terdengar bunyi iqamat. Ternyata sholat magrib berjamaah tetap dilaksanakan sebelum makan besar, tradisi yang sama dengan di Indonesia.

Saya heran, karena tidak ada ruang lagi untuk sholat bersaf. Ruang utama sudah dipenuhi oleh makanan yang disajikan di atas karpet. Ternyata sholat tetap dilaksanakan di sela-sela makanan tersebut. Maksimal hanya bisa berdampingan dua orang sebelum dipotong oleh jejeran makanan. Barisan sholat pada saat itu cenderung berbanjar. 

Imam pun memulai sholat. Bacaannya terdengat syahdu. Harumnya makanan di samping tak menyurutkan kekhusyukan sholat magrib pada saat itu. Sholat tiga rakaat itu diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tidak ada bacaan panjang seperti yang selama ini saya kira.

Selesai sholat seluruh jamaah langsung menghadap ke piring masing-masing. Tibalah saat berbuka puasa « sebenarnya », hehe… Mulut pun segera mencicipi rasa makan malam pada saat itu. Suapan pertama… Ternyata rasa makanannya hambar, tidak berasa. Sebuah rasa khas masakan Arab yang kurang rempah-rempah. Nasinya terasa « dingin ». Ayamnya berasa tawar. Yang lumayan adalah sup kacangnya. Andai saja tadi membawa sedikit garam dan saos tomat pasti lebih terasa nikmat. 

Walau hambar tetap saja makanan itu habis semua. Dan hasilnya perut terasa penuh, celana tiba-tiba menyempit. Terlihat beberapa orang menambah nasi kepada petugas sambil membawa piring masing-masing. Untuk saya cukup, tidak perlu menambah nasi. Mungkin beda kalau menunya nasi padang. Selesai makan piring kotor dan sisa makanan ditinggal saj. Akan ada petugas yang merapikannya. Saya pun keluar masjid setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk berfoto-foto.

Perjalanan selanjutnya adalah ke Masjid Hariri…

(bersambung)

dimanche 21 juillet 2013

Andai Blackberry hanyalah buah...



Sore itu berlangsung perbincangan yang hangat antara saya dan teman sekamar saya, Rif’an. Waktu menunjukkan pukul 19.00 saat kami berdua asyik berbincang di kamar saya dalam rangka ngabuburit.  Jam segitu memang belum saatnya berbuka puasa. Kami beruntung Ramadhan tahun ini berkesempatan melaksanakan puasa selama 16,5 jam. Hal itu karena bulan Ramadhan tahun ini jatuh pada musim panas. Lebanon, walaupun bukan di Eropa, saat musim panas juga mengalami siang yang panjang.

Kembali ke topik. 

Blackberry yang saat ini sedang in di Indonesia menjadi pokok bahasan sore itu. Blackberry sang fenomena itu secara tidak sadar sudah memengaruhi perilaku kita. Saya menyadari bahwa Blackberry adalah (bisa dibilang) kebutuhan pokok kita. Blackberry hanya kalah pengting sedikit dari nasi. 

Yang saya alami saya nilai sudah mencapai titik parah. Diam-diam tangan kanan saya secara reflek selalu merogoh kantong celana kanan saya. Hanya untuk menyentuh gadget berwarna hitam ini. Ada atau tidak ada pesan yang masuk saya perhatikan hal tersebut selalu saya lakukan. Rasanya hidup ini ada yang kurang apabila belum melihat layar Blackberry. Setelah melihat Blackberry, yang saya lakukan hanyalah melihat-lihat status teman-teman saya. Benar-benar sesuatu yang tidak penting.

Selain itu, efek buruk Blackberry juga sudah merambah ke kehidupan sosial. Seringkali kita duduk bersama di sebuah restoran bersama keluarga atau kolega kita. Namun selama duduk bersama itu yang dilakukan hanyalah mengutak-atik gadget kesayangan. Pernah juga dalam suatu konser ada sepasang muda-mudi duduk bersama. Yang mereka lakukan selama konser berlangsung adalah asyik dengan Blackberry masing-masing. Sampai ada sebuah jargon kalau Blackberry itu mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat.

Decision is made !

Demi mengurangi ketergantungan terhadap Blackberry saya memutuskan untuk mengurangi interaksi dengan Blackberry. Mulai hari itu Blackberry saya perlakukan seperti telepon genggam konvensional. Pada saat berada di tengah-tengah orang, Blackberry hanya akan saya buka bila ada pesan yang masuk. Tidak ada lagi berasyik masyuk dengan Blackberry dengan tanpa alasan. Fungsi recent updates juga saya non-aktifkan, demi mengurangi keingintahuan terhadap aktivitas teman-teman kita.

Hari pertama terasa sangat berat. Sesekali tangan ini masih sering mencari-cari Blackberry kesayangan. Otak juga masih sering mempengaruhi agar kita melihat status update dari teman-teman. Namun karena fungsi recent updates sudah tiada, niat itu bisa dicegah. Funsi getar juga membantu saya untuk memonitor adanya pesan masuk saat benda hitam itu berada di saku.

Sekarang, setelah hampir seminggu terapi Blackberry saya laksanakan, hasilnya sangat luar biasa. Tidak ada lagi rasa “gatal” ingin menyentuhnya. Tidak ada lagi rasa penasaran ingin mengintipnya. Sosialisasi dengan lingkungan sekitar menjadi lebih intens. Semoga ini semua bisa “istiqamah”, tidak hanya hangat-hangat tai ayam saja.

Semoga bisa menjadi inspirasi.

lundi 8 juillet 2013

Soccer is My Friend



Setelah absen menulis setelah sekian lama, saya merasa kini saatnya memulai kembali sebuah kebiasaan baik. Ya, terakhir kali coretan di blog ini adalah semasa saya masih bergabung di ”Mission Jeanne d’Arc”, saat masih on board di kapal Perancis. Mimpi menyelesaikan kisah saya semasa saya belajar di Angkatan Laut Perancis pun tidak (/belum) terselesaikan. Mungkin suatu saat nanti saya akan melanjutkan kisah saya tersebut.

Sebagai informasi buat para pembaca blog saya ini, saya sekarang bertugas di Lebanon, sebagai salah satu pasukan perdamaian. Kebetulan kapal saya ditunjuk untuk bergabung sebagai salah satu kapal PBB. Yang bertugas mengamankan perairan Lebanon dari kemungkinan penyelundupan senjata ilegal dan barang-barang berbahaya sejenis.

Berangkat dari Surabaya tanggal 5 Maret 2013, berarti sudah 120 hari terlewati dari total delapan bulan rencana penugasan kami. Artinya, hari saya menulis sekarang ini adalah tepat setengah masa penugasan yang direncanakan. 120 hari bisa dibilang cepat, bisa juga dibilang lama. Saya merasakan hari-hari yang sudah terlalui berjalan cepat apabila menengok kembali ke belakang. Namun apabila harus menatap ke 120 hari berikutnya yang harus dilalui, jalan panjang masih terpampang di depan mata.

Bagi manusia normal delapan bulan adalah waktu yang tidak sedikit untuk dilewatkan. Begitu pun yang saya rasakan. Namun bagi prajurit Angkatan Laut yang sudah  “niat ingsun » mengabdikan sebagian hidupnya di laut, waktu selama itu adalah tantangan tersendiri. Beruntung saya hidup di jaman internet. Di mana komunikasi bisa dilaksanakan di mana saja dan kapan saja. Hari-hari saya di kapal sangat terbantu oleh internet. Blackberry messenger yang sedang mewabah di Indonesia bisa dilaksanakan dengan lancar (walaupun tidak selancar jaringan Telkomsel, nah ?!)

Internet juga sangat membantu hari-hari saya di kapal. Yang paling gress, saya berhasil menemukan kenangan masa kecil saya yang sudah lama terlupakan : Captain Tsubasa !!! Haha, saya sekarang sedang menekuni komik Captain Tsubasa lagi ! Sepintas seperti kegiatan iseng biasa yang tidak bermakna. Namun, dari setiap hal, selalu saja ada hal positif yang bisa diambil. Begitu juga dari komik yang  bercerita tentang seorang anak SD Nankatsu yang bermimpi menjadi seorang pesepakbola profesional itu.

Dalam cerita itu, Tsubasa Oozora, sang tokoh, sangat mencintai sepak bola.  Bagi dirinya, sepakbola adalah kesenangan, kesenangan yang bisa melambungkannya ke mimpi-mimpi yang selama ini diidamkan. Berbeda dengan koleganya, Kojiro Hyuga. Seorang striker yang tak kalah hebatnya. Namun, Hyuga memperlakukan sepakbola sebagai alat. Alat untuk menyelesaikan masalah ekonomi keluarganya. Alat untuk mendapatkan beasiswa. Tsubasa beda. Dia sangat mencintai sepakbola, dia menjadikan bola sebagai teman. Dan akhirnya Tsubasa sangat sukses berkarier sebagai pesepakbola.

Pesan moralnya : Cintailah pekerjaanmu, jangan jadikan pekerjaanmu sebagai alat. Semua sudah ada yang mengatur. Manusia hanya harus mencintai.