-Tulisan di bawah ini bukanlah ditujukan untuk mengagung-agungkan bangsa lain, namun hanya untuk sekedar mengingatkan kita semua akan arti pentingnya sebuah karakter nasional.-
Masih tentang cerita saya di etape ke-3 bersama BPC Dixmude dalam Mission Jeanne d’Arc. Setelah kurang lebih dua bulan, akhirnya saya benar-benar menemukan pelajaran favorit saya, Bahasa Inggris ! Ya, Bahasa Inggris.
Yang kedua adalah karena suasana belajar yang lucu. Selalu saja ada tawa dalam setiap pelajaran Bahasa Inggris di Dixmude. Lucu karena teman-teman saya, para Kadet Perancis, tidak ada yang serius dalam pelajaran yang satu ini. Entah kenapa, mereka seakan enggan untuk serius mendalami Bahasa Inggris. Sebenarnya mereka bisa, bahkan lebih fasih dibanding kita, tapi ya itu tadi, karena tidak serius jadinya semakin parah. Oleh karena itu dirasa penting membekali para calon perwira Angkatan Laut Perancis tersebut dengan Bahasa Inggris.
Sebenarnya ada dua dosen yang mengajar kami Bahasa Inggris, satu dosen Perancis dan satu orang dari Angkatan Laut Amerika. Suasana menjadi hidup tatkala Adama, dosen perempuan Perancis mengajar kami. Pernah suatu hari kami diberi tugas paparan tentang tempat-tempat persinggahan kami selama misi ini, tugas per kelompok. Pada saat kelompok yang memaparkan tentang Rio de Janeiro, mereka bukannya paparan tentang kota, malah berbicara mengenai prostitusi di kota Rio, tentang bahaya penularan HIV melalui kolam renang, disertai dengan gerakan tubuh yang erotis. Dan yang semakin membuat lucu adalah mereka memaparkan dengan logat khas Cinta Laura.
Pernah juga suatu hari waktu pelajaran listening, kami diminta untuk mendengarkan rekaman untuk mengisi ruang kosong di script yang kami pegang masing-masing. Rekaman yang kami dengarkan tersebut adalah suara Adama, sang dosen yang berasal dari La Reunion , yang direkamnya sendiri untuk disajikan kepada murid-muridnya. Dan hasil rekamannya sudah bisa diduga : suaranya “medok” Perancis dengan masih terdapat beberapa kesalahan pelafalan. Setelah mendengar dua kali dia menunjuk salah satu dari kami untuk membaca ulang script tersebut, tentunya yang sudah dilengkapi selama dua kali mendengarkan. Clement, teman saya satu grup mendapat giliran pertama, dengan gagah beraninya membaca dengan menirukan gaya bicara sang dosen, lengkap dengan kesalahan pengucapan seperti yang kami dengar. Kontan saja Adama langsung “menyala”.
“Do you think my English is bad? If you don’t like to study English with me you can leave this class right now !!” Sulut Adama dengan nada tinggi, tentunya dengan logat medok Perancisnya.
Dan, bukannya diam patuh, mereka yang lain malah terdengar tertawa tertahan di belakang, termasuk saya. Hehe…
Orang Perancis memang terkenal tidak suka dengan orang Inggris. Menurut Clement teman saya, karena mereka pernah berperang selama berabad-abad dengan orang Inggris. Mereka baru bersekutu pada saat Perang Dunia. Walaupun Bahasa Inggris diajarkan di sekolah, tetap saja sedikit kemajuan yang mereka dapatkan, kurang lebih sama seperti di Indonesia .
Salah satu penyebabnya adalah karena mereka terlalu cinta dengan bahasa mereka. Mereka tak canggung menyebut mouse komputer dengan kata souris. Souris sendiri berarti tikus. Hal yang sangat berkebalikan dengan kita yang akan terasa sangat canggung bila mendengar kata “tetikus” ataupun “peretas” untuk hacker. Selain itu, saat kita menonton film di bioskop-bioskop Perancis, jangan harap bisa mendengar suara asli Tom Cruise ataupun Angelina Jolie. Seluruh film Hollywood sudah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Perancis. Bahkan mereka tak segan untuk mengganti judul filmnya. Kalau mereka ditanya film yang berjudul The Hurt Locker, pasti sedikit orang yang nyambung, karena mereka tahunya film yang dimaksud berjudul Démineur, yang artinya penjinak ranjau. Hal ini sampai “diprotes” oleh guru Amerika kami.
Dari sini paling tidak kita dapat melihat sebuah karakter dari sebuah bangsa yang besar. Yang mana bisa kita lihat juga pada Negara Rusia, Cina, dan juga Jepang. Walaupun Bahasa Inggris memang menjadi bahasa internasional sekarang ini, namun mereka masih dengan bangga menggunakan bahasa mereka, lengkap dengan tulisan khas mereka masing-masing. Oh ya, seluruh keyboard komputer di Perancis bukannya QWERTY, melainkan AZERTY.
Jadi teringat para tokoh-tokoh pergerakan kita di tahun 1928. Beliau-beliau telah berhasil membuat Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Yang mana akhirnya digencarkan oleh Presiden Soekarno di jaman kekuasaannya. Kalau dipikir-pikir sungguh tak mudah membuat orang Papua, yang terpisah ratusan kilometer dari Sumatera, bisa berbahasa Indonesia yang berumpun Bahasa Melayu. Bahkan Timor-timur pun yang baru bergabung tahun 75-an sangat fasih berbahasa Indonesia . Hal itu karena saya punya teman dari Timor Leste sewaktu belajar di India yang masih dengan bangga berbahasa Indonesia .
Jadi ingat pidato Bung Karno pada peristiwa Ganyang Malaysia . Beliau dengan bangganya menyebut kalau Indonesia itu mengajarkan “berdikari” pada dunia. Indonesia punya konsepsi yang bisa disumbangkan kepada dunia, yaitu Pancasila. Beliau juga dengan sukses menggelar Konferensi Asia Afrika, yang sukses menginspirasi Negara-negara lain untuk merdeka. Benar-benar seorang pemimpin yang berkarakter, dari sebuah Negara baru yang mempunyai karakter.
Sekarang, untuk mencari bahasa Indonesia dari keyboard saja saya kesulitan. Dulu kita bisa mempunyai kata PBB untuk menyebut UN, seperti Perancis dengan ONUnya. Namun sekarang, kita akan kesulitan untuk mencari padanan kata dari IMF misalnya. Padahal Perancis dengan mudahnya menyebut IMF dengan FMI (fonds monétaire international). Di sisi Angkatan Laut, kita mempunyai istilah AKS (Antikapal Selam), PKR (Perusak Kawal Rudal), dll, karena istilah-istilah tersebut diciptakan di masa lampau. Sekarang kami akan dengan senang hati menggunakan istilah LPD (Landing Platform Dock) tanpa perlu bersusah payah mencari padanan kata dalam Bahasa Indonesia. Di sini terlihat jelas, kalau generasi pendahulu kita sangat bangga dengan Bahasa Indonesia, karena mereka-mereka itu orang-orang yang berkarakter.
Selain moral, seperti yang saya singgung di tulisan saya sebelum ini, tampaknya karakter nasional menjadi salah faktor yang tidak kalah pentingnya. Karena sungguh, kalau kita ingin menguasai dunia kita tidak boleh lupa dengan asal kita. Kita tidak boleh malu untuk memperkenalkan apa yang kita punya. Karena malu berarti tidak punya karakter. Dan tidak punya karakter berarti gampang untuk dijajah, mudah dijejali paham-paham luar yang belum tentu cocok untuk bangsa kita.
Masih banyak memang yang harus kita benahi, namun itu tak terus membuat kita kecil hati. Kiamat masih lama, masih ada waktu untuk menguasai dunia. Asal mau memperbaiki diri, dimulai dari sendiri, tidak ada kata tidak mungkin.
If I die tomorrow
I’d be all right because I believe
That after we’re gone
Spirit carries on
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire