dimanche 14 septembre 2014

Sampai Jumpa Indonesia

Jumat malam 12 September 2014. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 namun mata ini sulit terpejam. Padahal besok dini hari sudah harus berangkat ke Soekarno-Hatta. Malam itu saya mengalami susah tidur, bukan karena saya yang tidak bisa tidur. Tapi karena 2 kawan baik saya sedang asyik-asyiknya berdiskusi. Tak tega rasanya menghentikan kegiatan belajar mereka berdua. Tapi somehow saya akhirnya terlelap. 

Sabtu 02.00 saya terjaga. Dibangunkan oleh getaran handphone saya. Ternyata sopir taxi blue bird sudah siap di depan rumah. Terjaga 30 menit lebih awal membuat saya punya waktu lebih untuk persiapan.

Dengan diantar oleh 2 sahabat saya, Gofur dan Zakaria, saya berangkat menuju depan rumah. 02.45 taksi saya meluncur membelah dinginnya malam Jakarta. Suasana lengang jalan tol ibukota membuat sopir taksi menggila. Sudah tak terhitung berapa kali alarm taksi berbunyi ketika kecepatan melebihi 120 km/jam. Saya pun tiba di terminal 2 keberangkatan internasional pukul 03.20 WIB. 

Di Soetta saya masih harus menunggu senior saya yang juga akan belajar di NPS. Sembari menunggu saya mengamati barang bawaan saya. Sejumlah 5 tas besar / koper akan saya bagasikan. Tas ransel dan tas kamera saya akan menemani masuk ke dalam kabin. Baru kali ini saya merasa kurang barang bawaan saat ke luar negeri. Biasanya saya selalu berhitung agar bawaan saya jangan sampai melebihi kuota. Namun, sekarang, saya malah bingung untuk memenuhi koper saya.

Menurut peraturan US Navy, perwira yang akan belajar untuk jangka waktu lebih dari 36 minggu diperkenankan untuk membawa maksimal 5 koper. Peraturan itu juga berlaku kepada saya. Dalam penerbangan kali ini, jatah asli saya adalah 2 koper dengan berat masing-masing tidak lebih dari 50 lbs (22,7 kg). Dari 5 koper bawaan saya, 3 di antaranya tergolong kelebihan bagasi yang harus dibayar. Tiap-tiap kopernya seharga USD 200, sehingga saya harus membayar USD 600. Uang sebesar itu saya talangi dulu untuk saya mintakan ganti ke pihak kampus setiba saya di sana.

Keren kan, saat negara bisa "memantaskan" tentaranya. Saya pernah sekolah di India dan Perancis. Kesemuanya atas sponsor mereka. Namun saya dulu tidak mendapatkan alokasi kelebihan bagasi seperti yang telah diberikan Amerika sekarang ini. Memang beda antara negara adi kuasa dengan negara biasa. Semoga ke depan Indonesia bisa menjadi maju dan kaya. Agar bisa memantaskan tentaranya seperti Amerika.

06.30 pesawat saya take-off menuju Narita, Tokyo. Pemandangan Jakarta menjadi semakin jauh, mengecil, hingga akhirnya hilang tertutup awan.

Selamat tinggal Indonesia. Insya Allah kita akan bertemu lagi April 2016. 

Ya Allah, berilah lindungan kepada kedua orang tua saya. Berilah mereka kesehatan selalu, Ya Allah. Agar mereka berdua bisa menyaksikan kesuksesan anak-anaknya.

Ya Allah, berilah lindungan kepada anak-anak dan istri saya. Jagalah selalu istri saya, agar senantiasa sehat, baik dirinya dan kandungannya. Berilah istri saya kelancaran dan kesehatan dalam proses persalinan anak kedua saya, Ya Allah. Mudahkanlah istri saya, berilah lindungan dan keselamatan saat melahirkan nanti. Semoga anak kedua saya lahir dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Berilah kesehatan kepada jagoa  baru saya itu Ya Allah.

Ya Allah, berilah kesehatan selalu kepada anak pertama saya, Axelle. Jauhkanlah sakit darinya. Jadikanlah Axelle anak yang sholihah, yang berbakti kepada kedua orang tua. Jadikanlah dia anak yang pengertian, yang bisa membantu istri saya saat kedatangan anak kedua saya nanti, Ya Allah.

Robbana atina fiddunya hasanah. Wa fil akhirati hasanah. Waqina adzabannar.

mardi 3 septembre 2013

Bulan Ramadhan di Negeri Cedar (part 2) - Haru di Hariri


Setelah mencoba merasakan buka a la Lebanon dengan makanan “tawar”nya, saya meluncur ke tujuan berikutnya : Masjid Al Hariri. Masjid ini kadang disebut juga masjid Al Amin. Berbeda dengan masjid sebelumnya yang bernuansa klasik, masjid berkubah biru ini murni bernuansa timur tengah. Dari luar kesan adem melekat berkat nuansa warna krem yang mendominasi bangunan masjid ini. Empat kubah tampak menjulang mengelilingi satu kubah besar dan dua kubah lebih kecil lainnya. Di langit-langit bangunan luarnya terukir lafadz-lafadz Allah.

Pintu utama masjid ini menghadap ke sebuah tempat yang bernama Martys Square. Martys Square adalah tempat yang biasa dijadikan tempat melaksanakan demonstrasi ataupun protes. Pintu utama ini selalu dijaga oleh dua orang. Seluruh jama’ah yang masuk membawa tas pasti tak luput dari pemeriksaan. Di pintu itu pula alas kaki harus dilepas untuk kemudian dibawa ke rak sepatu yang berada di belakang dalam ruang sholat. Akses pintu utama itu hanya untuk jamaah pria. Jamaah wanita masuk lewat pintu belakang dan menempati tempat sholat di lantai atas.

Memasuki ruang sholat kesan pertama adalah sejuk. AC yang terpasang cukup dingin untuk menyejukkan ruangan yang sedemikian luasnya itu. Sebelum sholat jamaah yang belum berwudhu bisa melaksanakan bersuci di tempat wudhu. Letaknya di lantai bawah. Ruangan wudhunya cukup luas dan bersih. Terdiri dari dua ruangan sama luasnya, di sayap kanan dan kiri. Marmer putih memunculkan kesan ekslusif di tempat bersuci itu. Pada saat tarawih hanya satu ruangan yang difungsikan. Ruangan yang tidak difungsikan ditandai dengan tidak adanya penerangan yang hidup di sana. 

Selesai wudhu langsung menuju ke ruang sholat. Ruang sholat itu dialasi dengan karpet tebal berwarna merah. Jumlah jamaah pada saat itu tidak terlalu banyak walaupun saat itu masih termasuk sepuluh hari pertama. Jumlah ini tak berkurang signifikan di akhir bulan Ramadhan. Memang animo masyarakat Beirut hanya segitu. Maklum, di Lebanon jumlah penganut agama Islam hanya 50 persen.

Seperti lazimnya di Indonesia sebelum sholat melaksanakan sholat sunnah. Saya pun menunaikan sholat tahiyatul masjid. Selesai sholat sunnah langsung terdengar iqamah, saatnya sholat Isya. Para jamaah pun merapat ke depan. Terhitung hanya kurang lebih 15 saf terisi dengan jumlah per safnya 50 orang. Masih terasa lengang untuk masjid sebesar masjid Hariri. Pakaian yang digunakan pun bervariasi. Ada yang bergamis. Tak sedikit pula yang memakai celana jins, bahkan celana pendek ¾. Tidak ada yang mengenakan sarung seperti di Indonesia. Sebuah fenomena yang menurut saya aneh, memakai celana pendek untuk sholat di sebuah masjid. Mungkin kalau di Indonesia orang-orang tersebut bisa dilempar sandal.

Berdiri memimpin sholat pada saat itu seorang imam berbaju gamis putih. Di belakangnya berdiri tiga orang. Tiga orang ini posisinya di depan saf pertama. Dua orang mengenakan baju putih-putih, dan satu orang memakai baju biasa. Nampaknya ketiga orang pendamping imam tersebut bertugas untuk mengingatkan imam pada saat pembacaan surat-surat setelah Al Fatihah. Maklum, yang dibaca minimal 1 ruku’.  Satu orang bertindak selaku imam cadangan, satu lagi bertindak sebagai pemeriksa bacaan, satu lainnya bertugas sebagai pengawal imam. Setidaknya begitulah menurut perkiraan saya.

Sholat Isya dilaksanakan berjamaah 4 rakaat, sudah dengan bacaan panjang. Di masjid ini Al Quran dikhatamkan selama bulan Ramadhan pada saat sholat Isya dan Tarawih. Pelaksanaan sholat berlangsung dengan khusyuk. Benar-benar khusyuk. Walaupun surat yang dibacakan panjang-panjang, namun suasana khusyuk tercipta berkat bacaan imam yang syahdu. Jauh dari kata bosan. Selesai sholat Isya dilanjutkan dengan sholat sunnah 2 rakaat sendiri-sendiri. Tidak ada salaman. Tidak ada dzikir.

Seusai sholat sunnah, sholat tarawih pun dimulai. Seluruh makmum pun berdiri, mengikuti imam yang kembali melantunkan ayat-ayat suci Al Quran dengan merdu. Rakaat demi rakaat kami laksanakan. Ayat demi ayat saya dengarkan. Tidak ada rasa mengantuk, apalagi bosan. Entah kenapa sholat di masjid Hariri ini saya rasakan lebih cepat daripada sholat Tarawih di kapal walau surat yang dibacakan lebih panjang. 

Mungkin yang sedikit mengganggu konsentrasi di awal-awal adalah adanya beberapa orang yang sholat sambil membawa Al Quran. Ada juga yang membawa tablet maupun telepon genggam. Al Quran, tablet maupun telepon genggam tersebut digunakan untuk membaca Al Quran pada saat imam membaca ayat-ayat Al Quran setelah Al Fatihah. Mereka menggunakannya untuk mengikuti imam. Waktu ruku’ semuanya ditutup kembali namun tetap dipegang. Mereka menjalankan sholat seperti biasa dengan tangan kiri memegang Al Quran.

Beberapa kali sholat tarawih di sana ada sesuatu yang membuat saya trenyuh. Dalam beberapa kesempatan tarawih saya selalu melihat seorang bapak tua sholat tarawih. Pak Tua itu sholat dengan susah payah. Sepintas bapak itu seperti terkena stroke. Terlihat air liurnya terkadang menetes. Selama sholat badannya gemetaran hebat. Berdiri dari duduk dilaksanakan dengan mengeluarkan segenap tenaga yang ada dengan dibantu oleh seorang yang menemani di sampingnya. Sungguh merupakan pemandangan yang mengharukan.

Bapak itu sedimikian susahnya berusaha hanya untuk menunaikan sebuah sholat sunnah. Bapak itu seolah menunjukkan kalau sakitnya bukan halangan untuk beribadah. Di saat ada beberapa orang tua yang memilih menunaikan sholat dengan duduk, bapak itu masih berusaha melaksanakan sholat seperti orang normal. Hal tersebut merupakan pukulan telak bagi saya. Dengan badan yang sehat wal’afiat seperti ini saya masih sering kalah oleh rasa malas. Masih malas untuk rutin sholat wajib berjama’ah, apalagi sholat sunnah.

Ternyata bukan dunia saja yang harus diperjuangkan. Akhirat pun harus diperjuangkan dengan susah payah. Kekurangan fisik bukan menjadi halangan bagi kita semua untuk beribadah kepada Sang Pencipta. Semoga ini bisa menjadi inspirasi bagi semua.

Selesai.

mercredi 31 juillet 2013

Bulan Ramadhan di Negeri Cedar (part 1) - Buka a la Arab



Tahun ini kembali saya merasa bangga menjadi seorang pelaut. Bagaimana tidak, Ramadhan kali ini saya habiskan di Lebanon. Kembali saya berkesempatan menjalani bulan suci di negeri orang, sebuah kesempatan mempelajari budaya ramadhan masyarakat muslim luar negeri. Tahun lalu pun saya sempat menjalani puasa di Portugal, di kapal perang Perancis dan sedikit di Paris. Tahun 2010 Ramadhan saya jalani saat saya menimba ilmu di India. Subhanallah.

Saya beruntung mengalami bulan Ramadhan di musim panas. Lebanon, walaupun negara Asia, tetap saja mengalami empat musim. Dan di musim panas berarti siang adalah panjang. Berpuasa kali ini saya jalani selama 16,5 jam lamanya. Sahur jam 3 pagi hingga buka puasa jam 8 malam. Walaupun begitu lamanya, puasa lebih lama pernah saya lakukan semasa saya di Lisbon dan di Paris tahun lalu. Saat itu buka puasa jam 10 malam, juga di musim panas.

Secara umum tidak ada masalah dalam menu buka dan sahur. Hal ini karena saya tinggal di dalam kapal perang Indonesia sehingga masakan-masakan yang disajikan masih masakan tanah air. Kolak dan pisang goreng secara rutin masih saya konsumsi sehari-hari. Bahkan menu nasi padang selalu tersedia untuk buka puasa di hari Minggu.

Bosan dengan rutinitas, sesekali saya mencoba untuk buka puasa di masjid setempat (di kota Beirut). Perlu diketahui bahwa penduduk Lebanon tidak mayoritas muslim. Penganut agama Nasrani kabarnya mencapai hampir setengah populasi Lebanon. Tak heran, di Beirut, masjid tidak se-membludak di Indonesia. Di Indonesia, hampir tiap 100 meter pasti kita temukan masjid ataupun mushola. Tidak demikian di Beirut.

Paling dekat dengan pelabuhan, masjid hanya ditemukan di kawasan Downtown. Downtown merupakan kawasan pusat kota, tempat di mana penduduk Beirut menghabiskan malam.  Berdiri tegak di kawasan Downtown masjid agungnya Beirut : Masjid Hariri. Masjid berkubah biru ini sangat indah, apalagi di malam hari. Birunya terlihat menyala dikelilingi cahaya lampu kuning keemasan di bawahnya.

Namun saya belum pernah berbuka puasa di Masjid Hariri. Saya hanya mengalami bersantap takjil di masjid lain yang tak jauh dari Hariri, Masjid Al Omari namanya. Masjid itu tak kalah indah dengan Hariri, walaupun ukurannya lebih kecil. Dari luar masjid itu mempunyai satu menara dan dua kubah. Di malam hari lampu berwarna kuning membuat menara dan kubah-kubah itu tampak menyala.

Berdasarkan sejarah, masjid Al Omari dulunya adalah sebuah katedral yang dibangun pada masa Crusader St. John pada tahun 1113 – 1115 M. Setelahnya diubah peruntukannya menjadi masjid oleh Kesultanan Mamluk pada tahun  1291 M. Sepintas memang desain masjid ini lebih mirip katedral daripada tempat peribadatan umat muslim. Pemerintah Lebanon patut diacungi jempol atas terjaganya bangunan bersejarah ini sampai sekarang. 

Masuk ke dalamnya sudah berjejer jamaah sholat maghrib. Interiornya cukup indah, tembok-temboknya merupakan susunan batu pualam. Terlihat alami dan terkesan adem. Ruangan utamanya berbentuk melingkar tak bersudut.  Sebagai penerangan berjejer melingkar lampu-lampu tergantung  di langit-langit. Lampu-lampu tersebut menambah kesan antik ruangan masjid tersebut. Benar-benar eksotis.

Para (calon) jamaah sholat magrib itu sudah duduk bersila di depan ta’jil dan makan malam. Mereka duduk bersila dengan rapi sambil menunggu adzan maghrib. Saya yang datang bersama beberapa teman saya ikut mengambil tempat yang masih tersisa. Masjid ini walaupun berukuran sedang namun terlihat penuh oleh barisan orang-orang yang menunggu berbuka puasa

"Pasti setelah adzan langsung makan dulu baru sholat jamaah," pikir saya saat itu.

Setelah mengambil duduk, di hadapan saya terpampang menu berbuka puasa. Makanan itu disajikan di atas piring plastik di atas karpet yang sudah dialasi oleh plastik transparan. Menu hari itu adalah ayam, nasi, sayuran semacam acar, sup kacang, dan saos putih khas makanan arab. Untuk ta’jilnya sudah disediakan tiga jenis roti, tiga biji kurma dan segelas air putih dingin. Turut melengkapi sajian tersebut adalah buah yang saya tak tahu namanya, jus buah kotak dan susu botol kemasan. Benar-benar sajian yang mewah untuk sebuah buka di masjid.

Allahu Akbar.. Allahu Akbar..

Takbir magrib pun berkumandang nyaring. Kami semua segera menyantap ta’jil. Saya lihat sekeliling, sebagian besar dari mereka memakan buah kurma terlebih dahulu. Berbeda dengan saya yang memilih menyegarkan tenggorokan dengan segelas air dingin. Puas berta’jil terdengar bunyi iqamat. Ternyata sholat magrib berjamaah tetap dilaksanakan sebelum makan besar, tradisi yang sama dengan di Indonesia.

Saya heran, karena tidak ada ruang lagi untuk sholat bersaf. Ruang utama sudah dipenuhi oleh makanan yang disajikan di atas karpet. Ternyata sholat tetap dilaksanakan di sela-sela makanan tersebut. Maksimal hanya bisa berdampingan dua orang sebelum dipotong oleh jejeran makanan. Barisan sholat pada saat itu cenderung berbanjar. 

Imam pun memulai sholat. Bacaannya terdengat syahdu. Harumnya makanan di samping tak menyurutkan kekhusyukan sholat magrib pada saat itu. Sholat tiga rakaat itu diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tidak ada bacaan panjang seperti yang selama ini saya kira.

Selesai sholat seluruh jamaah langsung menghadap ke piring masing-masing. Tibalah saat berbuka puasa « sebenarnya », hehe… Mulut pun segera mencicipi rasa makan malam pada saat itu. Suapan pertama… Ternyata rasa makanannya hambar, tidak berasa. Sebuah rasa khas masakan Arab yang kurang rempah-rempah. Nasinya terasa « dingin ». Ayamnya berasa tawar. Yang lumayan adalah sup kacangnya. Andai saja tadi membawa sedikit garam dan saos tomat pasti lebih terasa nikmat. 

Walau hambar tetap saja makanan itu habis semua. Dan hasilnya perut terasa penuh, celana tiba-tiba menyempit. Terlihat beberapa orang menambah nasi kepada petugas sambil membawa piring masing-masing. Untuk saya cukup, tidak perlu menambah nasi. Mungkin beda kalau menunya nasi padang. Selesai makan piring kotor dan sisa makanan ditinggal saj. Akan ada petugas yang merapikannya. Saya pun keluar masjid setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk berfoto-foto.

Perjalanan selanjutnya adalah ke Masjid Hariri…

(bersambung)

dimanche 21 juillet 2013

Andai Blackberry hanyalah buah...



Sore itu berlangsung perbincangan yang hangat antara saya dan teman sekamar saya, Rif’an. Waktu menunjukkan pukul 19.00 saat kami berdua asyik berbincang di kamar saya dalam rangka ngabuburit.  Jam segitu memang belum saatnya berbuka puasa. Kami beruntung Ramadhan tahun ini berkesempatan melaksanakan puasa selama 16,5 jam. Hal itu karena bulan Ramadhan tahun ini jatuh pada musim panas. Lebanon, walaupun bukan di Eropa, saat musim panas juga mengalami siang yang panjang.

Kembali ke topik. 

Blackberry yang saat ini sedang in di Indonesia menjadi pokok bahasan sore itu. Blackberry sang fenomena itu secara tidak sadar sudah memengaruhi perilaku kita. Saya menyadari bahwa Blackberry adalah (bisa dibilang) kebutuhan pokok kita. Blackberry hanya kalah pengting sedikit dari nasi. 

Yang saya alami saya nilai sudah mencapai titik parah. Diam-diam tangan kanan saya secara reflek selalu merogoh kantong celana kanan saya. Hanya untuk menyentuh gadget berwarna hitam ini. Ada atau tidak ada pesan yang masuk saya perhatikan hal tersebut selalu saya lakukan. Rasanya hidup ini ada yang kurang apabila belum melihat layar Blackberry. Setelah melihat Blackberry, yang saya lakukan hanyalah melihat-lihat status teman-teman saya. Benar-benar sesuatu yang tidak penting.

Selain itu, efek buruk Blackberry juga sudah merambah ke kehidupan sosial. Seringkali kita duduk bersama di sebuah restoran bersama keluarga atau kolega kita. Namun selama duduk bersama itu yang dilakukan hanyalah mengutak-atik gadget kesayangan. Pernah juga dalam suatu konser ada sepasang muda-mudi duduk bersama. Yang mereka lakukan selama konser berlangsung adalah asyik dengan Blackberry masing-masing. Sampai ada sebuah jargon kalau Blackberry itu mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat.

Decision is made !

Demi mengurangi ketergantungan terhadap Blackberry saya memutuskan untuk mengurangi interaksi dengan Blackberry. Mulai hari itu Blackberry saya perlakukan seperti telepon genggam konvensional. Pada saat berada di tengah-tengah orang, Blackberry hanya akan saya buka bila ada pesan yang masuk. Tidak ada lagi berasyik masyuk dengan Blackberry dengan tanpa alasan. Fungsi recent updates juga saya non-aktifkan, demi mengurangi keingintahuan terhadap aktivitas teman-teman kita.

Hari pertama terasa sangat berat. Sesekali tangan ini masih sering mencari-cari Blackberry kesayangan. Otak juga masih sering mempengaruhi agar kita melihat status update dari teman-teman. Namun karena fungsi recent updates sudah tiada, niat itu bisa dicegah. Funsi getar juga membantu saya untuk memonitor adanya pesan masuk saat benda hitam itu berada di saku.

Sekarang, setelah hampir seminggu terapi Blackberry saya laksanakan, hasilnya sangat luar biasa. Tidak ada lagi rasa “gatal” ingin menyentuhnya. Tidak ada lagi rasa penasaran ingin mengintipnya. Sosialisasi dengan lingkungan sekitar menjadi lebih intens. Semoga ini semua bisa “istiqamah”, tidak hanya hangat-hangat tai ayam saja.

Semoga bisa menjadi inspirasi.

lundi 8 juillet 2013

Soccer is My Friend



Setelah absen menulis setelah sekian lama, saya merasa kini saatnya memulai kembali sebuah kebiasaan baik. Ya, terakhir kali coretan di blog ini adalah semasa saya masih bergabung di ”Mission Jeanne d’Arc”, saat masih on board di kapal Perancis. Mimpi menyelesaikan kisah saya semasa saya belajar di Angkatan Laut Perancis pun tidak (/belum) terselesaikan. Mungkin suatu saat nanti saya akan melanjutkan kisah saya tersebut.

Sebagai informasi buat para pembaca blog saya ini, saya sekarang bertugas di Lebanon, sebagai salah satu pasukan perdamaian. Kebetulan kapal saya ditunjuk untuk bergabung sebagai salah satu kapal PBB. Yang bertugas mengamankan perairan Lebanon dari kemungkinan penyelundupan senjata ilegal dan barang-barang berbahaya sejenis.

Berangkat dari Surabaya tanggal 5 Maret 2013, berarti sudah 120 hari terlewati dari total delapan bulan rencana penugasan kami. Artinya, hari saya menulis sekarang ini adalah tepat setengah masa penugasan yang direncanakan. 120 hari bisa dibilang cepat, bisa juga dibilang lama. Saya merasakan hari-hari yang sudah terlalui berjalan cepat apabila menengok kembali ke belakang. Namun apabila harus menatap ke 120 hari berikutnya yang harus dilalui, jalan panjang masih terpampang di depan mata.

Bagi manusia normal delapan bulan adalah waktu yang tidak sedikit untuk dilewatkan. Begitu pun yang saya rasakan. Namun bagi prajurit Angkatan Laut yang sudah  “niat ingsun » mengabdikan sebagian hidupnya di laut, waktu selama itu adalah tantangan tersendiri. Beruntung saya hidup di jaman internet. Di mana komunikasi bisa dilaksanakan di mana saja dan kapan saja. Hari-hari saya di kapal sangat terbantu oleh internet. Blackberry messenger yang sedang mewabah di Indonesia bisa dilaksanakan dengan lancar (walaupun tidak selancar jaringan Telkomsel, nah ?!)

Internet juga sangat membantu hari-hari saya di kapal. Yang paling gress, saya berhasil menemukan kenangan masa kecil saya yang sudah lama terlupakan : Captain Tsubasa !!! Haha, saya sekarang sedang menekuni komik Captain Tsubasa lagi ! Sepintas seperti kegiatan iseng biasa yang tidak bermakna. Namun, dari setiap hal, selalu saja ada hal positif yang bisa diambil. Begitu juga dari komik yang  bercerita tentang seorang anak SD Nankatsu yang bermimpi menjadi seorang pesepakbola profesional itu.

Dalam cerita itu, Tsubasa Oozora, sang tokoh, sangat mencintai sepak bola.  Bagi dirinya, sepakbola adalah kesenangan, kesenangan yang bisa melambungkannya ke mimpi-mimpi yang selama ini diidamkan. Berbeda dengan koleganya, Kojiro Hyuga. Seorang striker yang tak kalah hebatnya. Namun, Hyuga memperlakukan sepakbola sebagai alat. Alat untuk menyelesaikan masalah ekonomi keluarganya. Alat untuk mendapatkan beasiswa. Tsubasa beda. Dia sangat mencintai sepakbola, dia menjadikan bola sebagai teman. Dan akhirnya Tsubasa sangat sukses berkarier sebagai pesepakbola.

Pesan moralnya : Cintailah pekerjaanmu, jangan jadikan pekerjaanmu sebagai alat. Semua sudah ada yang mengatur. Manusia hanya harus mencintai.  

jeudi 12 juillet 2012

Dari pengarahan, cocktail hingga Capitane d’Arme

Dakar,

Hari kedua di Dakar.
Kalau Dahlan Iskan pernah menuliskan catatannya pada saat menunggu keberangkatan pesawat, saya menulis catatan ini pada saat menghadiri sebuah pengarahan. Dua hari sandar di Dakar, hari pertama adalah “hari kerja” sedangkan hari kedua adalah hari pengarahan. Pengarahan dari Dubes Perancis ini laksana lagu nina bobo bagi saya. Angin jendela yang bertiup sepoi-sepoi semakin mendekatkan saya dengan yang namanya mimpi indah.
Tak mau tertidur dengan seragam kehormatan ini saya menyibukkan diri memencet tombol-tombol di Blackberry untuk menuangkan celoteh-celoteh saya. Hanya untuk sekedar kenangan pribadi, syukur-syukkur kalau bisa menginspirasi orang lain (duile !)
Kapal sandar kemarin pagi di pelabuhan umum Dakar. Dua hari rencana sandar di Dakar, pagi-pagi besok sudah tolak menuju Lisbon. Di kapal perang Perancis, waktu sandar tidak berarti bebas dari pekerjaan. Dua hari sebelum sandar biasanya sudah keluar yang namanya Perintah Harian Palaksa, sang wakil Komandan. Dalam Perintah Harian tersebut tercantum segala informasi tentang kegiatan sehari-hari selama sandar.  Dari mulai seragam yang digunakan, waktu pesiar, peringatan-peringatan saat pesiar, nomor-nomor telepon penting, sampai jenis hari dinas dicantumkan di sana.  Perintah Harian ini ditempel di tempat-tempat strategis di seluruh kapal agar dapat dilihat seluruh ABK.
Selama dua hari di Dakar ini misalnya, hari pertama diputuskan sebagai “hari kerja” dan hari kedua sebagai  “hari minggu”. Hari minggu ini maksudnya hari libur, bukan hari Minggu sesungguhnya karena hari kedua sekarang ini adalah hari Rabu. Ada lagi jenis hari lainnya yaitu “hari sabtu”.
Pada “hari kerja” seluruh personel di kapal melaksanakan kegiatan kerja seperti biasa. Kegiatannya antara lain pembuangan sampah, pembersihan, pengisian bahan bakar, pengangkutan bahan-bahan logistik hingga pengarahan-pengarahan. Pengecualian untuk Dakar, di mana pengarahan dilakukan pada saat “hari minggu”.  Pada “hari kerja” pesiar dilakukan pada pukul 16.00.
Pada “hari sabtu” kapal melakukan pekerjaan-pekerjaan selama setengah hari. Pesiar mulai pukul 13.00. Sedangkan pada “hari minggu” pesiar bebas, mulai subuh pun boleh kalau mau. Seluruh personel, termasuk Kadet, diijinkan untuk menginap di hotel selama besoknya adalah “hari minggu” dan tidak malam kapal tolak. Mereka yang hendak “tidur luar” atau istilah Perancisnya découcher harus mencatatkan alamat lengkap dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Bagi yang tidak “tidur luar” jam pulang pesiar adalah pukul 03.00 atau 01.00 bagi yang jaga keesokan harinya.
Kegiatan lain yang selalu ada selama misi Jeanne d’Arc ini adalah cocktail party. Kegiatan yang sangat tidak saya gemari karena acara tersebut sama dengan alkohol yang mana saya tidak mungkin menyentuhnya. Selain itu makanan yang disajikan hanya seujung jari. Perut saya pasti protes kalau dimasuki makanan seujung jari seperti itu.
Ada lagi yang namanya PO, kepanjangannya present obligatoire yang berarti “wajib hadir”. PO adalah para Kadet yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas-tugas khusus selama sandar, termasuk jadi penerima tamu saat cocktail party. PO ini adalah tugas biasa, namun kebanyakan merupakan hukuman. Hukuman bagi mereka-mereka yang tertangkap tidur saat jam kerja, atau makan pagi pada saat pembersihan pagi. Ada juga yang mendapat PO karena lupa mengunci lemari mereka ataupun meninggalkan laptop atau ponsel di atas tempat tidur. PO ini masih tergolong hukuman yang lebih ringan dari hukuman lainnya : cabut pesiar.
Yang tugasnya menangkap Kadet-kadet bermasalah adalah sang satpam yang bernama Capitaine d’Arme. Untungnya dia tak pernah memberikan hukuman jungkir balik yang lebih menyiksa. Namun terkadang hukuman PO dan cabut pesiar jauh lebih menyakitkan daripada jungkir balik. Nah lho…?

lundi 9 juillet 2012

Cerita telat tentang Abidjan

Dakar,

Sekarang saya sudah di Dakar setelah sebelumnya sandar di Abidjan. Sengaja tidak menulis cerita waktu di Abidjan karena memang tidak ada hal menarik untuk diceritakan.
Selama tiga hari di ibukota Negara Pantai Gading itu untuk pertama kalinya saya tidak mendapatkan salah satu barang wajib saya : magnet kulkas. Sudah mencari ke mana-mana namun tak ketemu juga barang itu. Dan setelah saya tanya kepada teman-teman saya yang lebih jauh berkelana dari saya, jawabannya sama. Magnet kulkas adalah barang langka di sini. Cinderamata andalah yang mudah ditemui adalah kerajinan kayu. Entah itu kursi kayu, hiasan dinding kayu dan barang-barang lainnya yang terbuat dari kayu.
Untuk mencapai ke pusat kota Abidjan saya harus naik taxi dari pelabuhan dengan tariff 1000 franc (Rp. 18.000). Taxi berwarna merah itu memungkinkan penumpangnya untuk merasakan panas khasnya Abidjan karena tidak tersedia pendingin mobil. Di jalanan, sejauh mata memandang, warna merah taxi mendominasi. Jumlah taxi di sana lebih banyak dari jumlah mobil pribadi.
Internet juga menjadi masalah di Abidjan. Sepertinya internet masih menjadi barang aneh. Sangat susah mencari warnet di sana. Ada satu warnet saya temukan di mall yang bernama Cap Sud. Dua lainnya saya temukan di suatu daerah berjarak 15 menit perjalanan taxi dari Cap Sud. Yang di mall koneksinya tidak memungkinkan untuk berskype ria karena yang terlihat adalah suatu gerakan lambat secara terus-menerus. Yang lainnya malah mati sama sekali karena kebetulan sedang ada gangguan koneksi. Alhasil saya harus mengubur keinginan saya untuk sekedar melihat tingkah polah anak saya. Kenyataan bahwa misi ini sebentar lagi selesai pada akhirnya cukup menenangkan saya.
Hal lain yang bisa dicatat dari Abidjan adalah banyaknya orang miskin. Kemiskinan nampaknya masih menjadi masalah nasional yang serius. Bukan hanya di sini saja, tapi di banyak tempat di Afrika. Miris hati ini ketika melihat beberapa ibu-ibu lengkap dengan anak-anaknya yang harus tidur siang tepat di depan sebuah warnet yang tutup. Terpaksa mereka berlindung di bayangan warnet tersebut dari terik matahari yang sangat menyengat.
Kalau begitu, apakah tidak ada hal menyenangkan selama saya sandar di Abidjan ? Tentunya ada. Yang pertama adalah saya bisa melaksanakan sholat Jumat. Di Pantai Gading, termasuk di Abidjan, jumlah muslim cukup banyak. Saya tidak tahu apakah Islam agama mayoritas di sana atau tidak. Yang jelas waktu sholat Jumat saya sholat di bawah tenda, di atas jalan raya yang sengaja ditutup karena masjid yang ada tidak mampu menampung jumlah jamaah yang membludak. Namun bagian jalan yang digunakan untuk sholat hanya di bagian tengahnya saja. Di kanan kiri masih boleh dilalui oleh pejalan kaki. Menarik, karena waktu sholat banyak orang berlalu lalang di sekitar saya.
Pada waktu wudlu saya harus mengantri panjang. Hal ini karena di tempat wudlu itu hanya ada satu sumber air. Air mengalir dari dinding, tidak ada kran, mengalirnya pun kecil sekali. Untuk berwudhu pun harus menampung terlebih dahulu air dari sumber tersebut di sebuah ceret kecil warna-warni. Tampaknya ceret ini sudah menjadi aksesori wajib untuk pergi ke sholat Jumat karena semua orang tampak membawa ceret tersebut. Orang yang pergi ke toilet pun harus menampung air terlebih dahulu di ceret. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi toilet dengan jumlah air yang terbatas seperti itu. Entah itu terjadi setiap hari atau hanya pada acara sholat Jumat saja. Saya yang tidak mempunyai ceret terpaksa meminjam dari seseorang yang telah selesai wudhu.
Hal kedua yang patut saya syukuri di sini adalah keberhasilan saya menemukan sebuah restoran Asia. Tak jauh dari tempat sholat tadi ada sebuah restoran Vietnam bernama Petit Budha. Selesai sholat saya langsung meluncur ke sana untuk menyantap sepiring nasi goreng. Cukup enak, total hanya mengeluarkan uang sebesar Rp. 63.000.
Demikianlah yang dapat diceritakan dari Abidjan. Pelajaran moral yang bisa dipetik adalah bahwa Indonesia jauh lebih baik. Walaupun kita belum memiliki pemain sepak bola sekaliber Didier Drogba namun tidak pernah ada orang BAB di pinggir jalan raya.
Ah, semakin rindu tanah air jadinya.