mercredi 29 février 2012

Tidak mudah menjadi minoritas


Toulon.

Dulu, waktu hendak berangkat ke Perancis, rasa was-was selalu mendera saya. Salah satu sebabnya adalah persoalan menjalankan perintah agama. Sebagai seorang muslim yang baik, sudah sepantasnya kita menyempatkan diri untuk melaksanakan sholat wajib 5 waktu sehari. Saya sudah bersiap-siap untuk tidak mendengar suara adzan “live” selama 6 bulan. Hanya boleh berharap mendengar suara adzan dari laptop kesayangan saya sebagai pengingat waktu sholat,itu pun kalau pas buka laptop. Dan yang paling parah, harus melupakan sejenak bisa sholat Jumat selama 6 bulan.


Perancis memang dikenal sebuah Negara dengan perkembangan penduduk muslim terpesat di Eropa. Namun, di Perancis, Islam masih menjadi yang minoritas. Di Ecole Navale, ada beberapa siswa yang beragama Islam, itu pun siswa dari Negara luar seperti Tunisia, Kuwait, Arab Saudi yang memang mereka belajar selama tiga tahun di Perancis. Di kalangan siswa asing undangan seperti saya ini, ada teman-teman dari Maroko, Malaysia dan juga Kuwait yang muslim.

Sewaktu di Ecole Navale, masalah sholat lima waktu tak menjadi masalah karena masing-masing dari kami mendapat sebuah tempat tidur yang ada privasinya, disekat-sekat seperti warnet. Hal itu yang membuat saya dengan bebas melakukan sholat. Namun masalah timbul sewaktu sholat Dhuhur. Waktu sholat Dhuhur pada waktu itu selalu berbenturan dengan makan siang dan pelajaran. Selesai makan siang ke apel siang hanya ada waktu 15 menit untuk sholat, sehingga saya harus lari-lari untuk mengejar sholat Duhur. Untuk yang lainnya tidak ada masalah.

Bergeser ke BPC Dixmude, di mana saya onboard, muncullah sebuah masalah baru. Sekamar kami berenam, di mana hanya saya saja yang muslim. Lima yang lain Perancis, yang tentunya mereka memeluk agama yang berbeda dengan saya. Satu-satunya tempat yang privat di kamar adalah di atas tempat tidur, yang mana ada tirai yang bisa ditutup. Sholat menjadi sulit karena dua alasan. Yang pertama karena tidak ada ruangan khusus untuk sholat di kapal ini. Yang kedua karena di kamar banyak orang berlalu lalang sehingga menyulitkan diri saya untuk melaksanakan ibadah satu ini.


Terkadang untuk sholat harus menunggu sepi. Kalau sholat shubuh harus bangun pagi-pagi sebelum yang lain bangun pagi. Bukan apa-apa, karena tidak enak mengganggu lalu lintas mereka yang hendak ke kamar mandi atau ke tempat lain. Kalau pun tidak ada jalan lain, terpaksa menggunakan tempat tidur sebagai tempat sholat. Dhuhur dan ashar harus ambil waktu di antara istrirahat dua pelajaran. Sholat magrib terkadang saya harus menunggu yang lain berangkat makan malam. Seru juga sebenarnya usaha untuk melaksanakan sholat di sini…

Namun untuk urusan makan, kapal ini patut diacungi jempol. Selalu ada alternatif makanan bagi yang muslim apabila kebetulan menu saat itu tidak halal. Tinggal bilang saja ke petugasnya maka akan segera diantar jenis makanan yang lain, entah itu ayam, sapi atau ikan.

Sudah lebih satu bulan ini saya di Perancis, dan selama itu pula saya belum pernah melaksanakan sholat Jumat. Untungnya di Toulon ini ada masjid, tepatnya di komplek Arab, yang kebetulan letaknya tak jauh dari tempat kapal saya berada. Kemarin sore saya sudah pergi untuk sholat dhuhur berjamaah. Alhamdulillah, tenang rasanya kalau bisa melaksanakan sholat di tempat yang semestinya, tak usah takut terganggu, tak usah takut mengganggu.

Hari Jumat ini, semoga saya bisa menunaikan ibadah sholat Jumat karena kebetulah semuanya sedang melaksanakan cuti sehingga tidak ada pelajaran. Di masjid yang sama saya akan datang, untuk memenuhi panggilan Allah. Dan semoga nantinya di kapal disediakan tempat untuk sholat, yang bisa kami gunakan lima kali sehari.

Insya Allah.

samedi 25 février 2012

Murah njaluk slamet



Hari ini hari Jumat, hari weekend. Seluruh siswa EAOM melaksanakan weekend, mudik ke rumah mereka masing-masing.  Hal sebaliknya terjadi pada saya, salah satu siswa asing. Hanya bisa gigit jari melihat mereka semua tersenyum lebar dengan mata berbinar hendak menemui keluarga masing-masing.

Memori terlempar jauh ke belakang, ke rentang tahun 2003 sampai 2007. Yah, tahun-tahun tersebut adalah masa saya menjadi kadet dan pasis di AAL. Enak saja saya waktu itu, begitu ada pesiar ataupun weekend saya bisa dengan cepat pulang ke rumah. Hanya setengah perjalanan dengan taxi dari AAL saya sudah bisa sungkep ke orang tua saya. Baru terasa beratnya menjadi orang perantauan seperti sekarang ini. Teringat nasib teman-teman saya yang keluarganya jauh pada waktu masa-masa di AAL. Paling banter mereka pulang setahun sekali pada saat lebaran atau hari natal. Sungguh bersyukur saya karena setiap minggu saya bisa menemui keluarga.

Akhirnya, satu-satunya alternatif untuk mengisi hari Jumat itu adalah dengan berjalan-jalan keliling kota Toulon. Alternatif satu-satunya yang murah maksud saya. Maklum, bagi orang Indonesia seperti saya, hidup di Negara Perancis ini di mana-mana terasa mahal, karena harus menghemat uang saku yang dibawa dari Indonesia. Ini masih bulan pertama, dan masih ada lima bulan selanjutnya yang harus ditempuh.
Dari Arsenal (Naval Base Toulon) saya naik bus ke penjagaan depan. Kalau dengan berjalan kaki bisa menghabiskan waktu 40 menit dari Dermaga kapal saya ke pintu depan, belum lagi tersengat dinginnya angin Toulon. Berempat saya waktu itu dengan teman-teman saya, Malaysia, Maroko dan Perancis yang tidak week-end karena rumahnya jauh. Dengan membawa sebotol air putih dari kapal, saya menjelajah jalanan kota Toulon dengan berjalan kaki. Tak lupa sambil sesekali menjepret pemandangan dengan kamera pinjaman dari mama. Sempat mampir ke resto China karena rindu masakan China, membeli tiga buah siomay udang dan dua buah lumpia.

Karena saya hendak membeli kado untuk sahabat saya di Brest, saya berpisah dengan teman-teman saya. Jadilah saya menyusuri kota sendiri. Mampir di toko peralatan kebaharian, saya membeli lonceng kapal untuk kado dan meluncur ke tempat membuat plat nama untuk ditempel sebagai ucapan selamat ulang tahun. Cukup mahal buat saya kalau dibandingkan dengan harga benda dan jasa yang sama di Indonesia. Namun tak mengapa, kapan lagi bisa mengirim sesuatu ke Perancis.

Lanjut menuju ke supermarket terdekat yang berada di samping stadion rugby Mayol, Carrefour. Di sana tergoda untuk membeli alat cukur seharga 10 euro. Murah sekali pikir saya, karena untuk cukur di coiffeur sekali potong menghabiskan 10 euro. Jika saya membeli alat cukur maka saya bisa menggunakan untuk berkali-kali, dan itu berarti lebih irit. Masuklah alat cukur merk “Carrefour” itu ke keranjang belanjaan saya bersama-sama dengan kertas kado, kartu ucapan selamat ulang tahun, selotip dan antiseptik sepatu. Setelah membayar pulanglah saya ke kapal dengan berjalan kaki dari penjagaan depan.

Esok paginya saya minta tolong teman Malaysia untuk mencukur saya. Dengan beralaskan plastik sampah saya duduk dengan bertelanjang dada. Alat cukur baru saya dinyalakan, dan mulai ditempelkan di kepala saya. Tapi apa yang terjadi ? Alat cukur itu tidak tajam sama-sekali ! Gila, belum lagi digunakan sudah tumpul. Setelah saya lihat dengan seksama, ternyata pisau cukurnya tidak bergerak, hanya bergetar. Bagaimana bisa mencukur kalau begini ? Ah, terbuang sudah 10 euro. Hanya demi menghemat ongkos cukur malah kacau jadinya.

Jadi, ternyata di Eropa ada juga yang seperti ini (curang). Mengapa murah ? Karena tidak bisa dipakai. Tapi kejadian ini patut disyukuri juga, karena dengan begini saya mendapat pelajaran berharga : Murah njaluk slamet !

mercredi 22 février 2012

Dinding tebal itu bernama bahasa


Toulon.

Kata orang bahasa Perancis adalah bahasa yang romantis. Hal itu lah yang membuat diri saya, tiga tahun yang lalu, ingin mengenal sedikit yang namanya bahasa Perancis. Sebenarnya keinginan mempelajarinya sudah ada sejak masa Kadet di AAL dulu, yang saya wujudkan dengan mengikuti Yanus Bahasa Perancis di AAL yang dilaksanakan seminggu dua kali. Yanus adalah ekstrakurikuler, istilah di lingkungan Angkatan Laut. Lepas dari AAL saya berdinas di kapal, sebagai seorang perwira remaja. Menjadi seorang perwira remaja tidaklah mudah karena kami harus belajar banyak tentang kapal, yang bagi kami adalah hal baru pada waktu itu. Belajar memimpin anak buah yang umurnya jauh lebih tua dan mempunyai lebih banyak pengalaman adalah tantangan tersendiri.

Hal itu lah yang menghalangi saya untuk belajar bahasa Perancis pada tahun 2007 – 2009. Namun, ketika masa perwira remaja (atau perwira paling junior) di kapal sudah lewat, tepatnya tahun 2009, saya memberanikan diri untuk mendaftar kursus bahasa Perancis di CCCL Surabaya. Pada saat itu juga ada unsur gambling, karena sebagai perwira KRI, sewaktu-waktu saya bisa saja ditugaskan untuk berlayar, yang membuat saya harus meninggalkan kursus saya.  Namun, selama enam bulan kapal saya tidak bergerak, selama itu pula saya belajar di CCCL. Hanya sempat sampai level Débutant B saya harus meninggalkan kursus yang saya cintai itu.

Tahun 2010 saya berkesempatan untuk mengikuti Kursus Intensif Bahasa Perancis (atau yang biasa disebut KIBA Perancis) di Pusdiklat Bahasa Kemhan Jakarta. Di sana saya mengulang lagi pelajaran yang pernah saya dapat di CCCL karena kebetulah metode yang digunakan sama. Kursus kali ini sangat berbeda karena merupakan kursus intensif, di mana selama lima bulan kami setiap hari belajar bahasa, dari pagi hingga siang. Sebagai ilustrasi, selama mengikuti KIBA saya sudah menghabiskan ¾ buku Echo, yang berarti sama dengan tiga level yang harus ditempuh selama 9 bulan kalau saya mengikuti kursus regular di CCCL. Echo adalah nama buku yang digunakan, baik di CCCL maupun di Pusdiklat Bahasa pada waktu itu.

Setelah itu Allah menakdirkan saya untuk belajar di India selama tujuh bulan.  Di sana bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar yang menjadikan saya semakin menjauh dari bahasa Perancis. Ada sih teman dari Mauritius yang berbahasa Perancis, namun karena tidak sekelas maka saya jarang memanfaatkan untuk memperlancar bahasa Perancis. Satu-satunya cara untuk menjaga bahasa Perancis dengan adalah mengatur bahasa di laptop dan blackberry saya menjadi bahasa Perancis. Hal ini juga saya lakukan di facebook, skype dan yahoo messenger saya.

Dua tahun berlalu sejak saya menamatkan kursus saya di Kemhan, saya mendapat rejeki untuk melaksanakan tugas belajar di Perancis. Berbekal bahasa Perancis yang saya ingat dari laptop dan blackberry saya melaksanakan tes dan Alhamdulillah lulus. Senang rasanya karena sebenarnya saya hamper saja melupakan mimpi saya yang satu ini sejak pergi ke India, namun agak cemas karena bahasa Perancis saya lupa-lupa ingat. Orang bilang ini nekat.

Benar yang  saya khawatirkan terjadi. Sudah tiga minggu di Perancis, bahasa menjadi salah satu kendala yang masih saya rasakan. Masih ingat di memori saya, pelajaran pertama saya di kelas serasa pelajaran tercepat yang pernah saya ikuti. Karena pada saat itu otak saya hanya berpikir “apa sih maksudnya dosen saya ini ?” Tak sadar waktu pelajaran sudah usai dan saya tidak mendapat apa-apa saat itu, hanya dahi yang berkerut penuh ketidakpahaman. Susah memang kalau harus dipaksakan untuk mengerti seratus persen.
Sengaja tak sengaja, bahasa juga menjadi salah satu faktor penghambat sosialisasi. Jarang saya alami bisa mengobrol lepas, tertawa, bercanda bersama teman-teman saya. Semua itu karena kendala bahasa. Tidak seperti di India, kami bisa bertindak layaknya teman walaupun kami berbeda bahasa ibu, hal ini karena bahasa Inggris yang saya kuasai lebih baik dari bahasa Perancis. Namun mungkin itu semua karena baru tiga minggu kami bersama. Seiring berjalannya waktu pasti semuanya jadi lebih baik.

Dulu pernah punya pengalaman berlayar bersama kapal layar Swedia selama satu bulan. Selama satu bulan itu pula saya sia-siakan waktu saya untuk belajar bahasa. Hasilnya, begitu turun dari kapal, tidak ada kemajuan berarti dalam bahasa Inggris. Semoga hal itu tidak terjadi lagi di sini. Hanya masalah mengubah perilaku otak kiri menjadi otak kanan. Yah, saya memang orang yang cenderung menggunakan otak kiri lebih banyak daripada otak kanan. Susah bersosialisasi adalah salah satunya. Satu-satunya cara untuk menjadi lebih cepat beradaptasi adalah bergaul sesering mungkin. Dengan banyak bicara semoga kendala bahasa dapat teratasi, dan kendala dalam menerima pelajaran tidak ada lagi.

lundi 20 février 2012

Respek


Guilers.
 
Semalam menginap di rumah orang tuanya Justine memberi saya banyak pelajaran. Di sana saya belajar mengenal bagaimana kehidupan sebuah keluarga Perancis yang tadinya hanya saya kenal melalui cerita guru-guru bahasa Perancis saya di CCCL (sekarang IFI) Surabaya maupun di Pusdiklat Bahasa Kemhan. Menarik, karena kesempatan seperti yang saya dapat ini belum tentu dapat terulang lagi.

Dijemput ibunya Justine, Pascale, kami meluncur ke rumah kecil mereka. Terletak di kota Guilers, kami tempuh dengan mobil selama setengah jam perjalanan dari jantung kota Brest. Perjalanan jadi tak terasa karena Pascale ternyata orang yang sangat ramah. Dia bercerita sana-sini, dari mulai masa kecil Justine, pindah rumah, keluarganya, dll. Setelah sampai rumah, suaminya Pascale yang membuka pintu, namanya Michel, ramah juga orangnya. Di pintu masuk terdapat tulisan « Dilarang merokok di dalam rumah ». Aha, beruntung saya, memasuki kawasan bebas rokok.

Kami langsung menuju ruang makan yang terletak di dapur. Ternyata di sana sudah tersaji bebek goreng, Michel yang memasak, enak. Namun makannya beda dengan gobek Surabaya. Di Perancis makan bebek tanpa sega, dan makannya digado, dengan memakai pisau dan garpu. Setelah bebek habis baru makan yang lainnya, fromage¸dll.

Selesai makan, alat-alat makan kotor diletakkan di dalam mesin pencuci pirig. Setelah itu Pascale naik ke kamarnya. Tinggallah saya dengan Michel berdua di dalam dapur. Lalu Michel mengambil kaleng yang bertuliskan “tabac”  yang artinya tembakau. Saya agak sedikit heran waktu itu, ternyata Michel perokok. Saya bertanya padanya, “bagaimana cara merokok tembakau itu ?”

“Oh, itu ada alatnya. Saya akan tunjukkan kamu bagaimana membuatnya,” kata Michel kepada saya. Dia lalu mengeluarkan sebatang rokok kosongan, tanpa ada tembakau di dalamnya. Lalu dia mengambil sebuah alat berwarna merah yang ternyata alat pengisi tembakau ke dalam rokok kosongan tersebut. Dia pun lalu mempraktekkan cara membuat rokok siap hisap. Simpel, tidak perlu melinting sebagaimana yang banyak kita temui di Indonesia.

“Ini biar murah, karena kalau beli rokok agak sedikit mahal di sini. Alat ini buatan Jerman,” jelasnya. “Kamu tidak merokok ?” tanyanya pada saya.

“Tidak,” jawab saya sambil tersenyum.

“Kamu beruntung, karena sulit sekali untuk berhenti merokok. Oke, saya keluar dulu ke garasi ya, menghabiskan rokok ini dulu,” lanjut Michel.

“Lho, kenapa tidak di dalam saja ? Ini kan rumah kamu,” Tanya saya.

“Tidak, karena tidak semua orang merokok di sini. Pascale tidak merokok, kamu juga tidak. Dan karena saya tahu bahayanya asap rokok buat mereka yang menghisapnya,” terang dia sambil tersenyum. Dan dia pun meninggalkan saya sendiri di ruang akan itu untuk menghabiskan dua batang rokoknya yang dibuat di depan saya tadi.

Dalam hati saya berpikir, hebat juga orang ini. Seorang perokok yang mempunya kesadaran tinggi, mempunya respek kepada orang lain. Dengan pekerjaan sebagai supir tram dan mempunyai pemikiran seperti itu sudah cukup untuk menjelaskan kepada saya bagaimana tingkat pendidikan masyarakat Perancis.

Dan saya pun naik ke kamar yang disediakan untuk saya, merapikan barang-barang saya, dan terlelap dalam dinginnya musim dingin di Perancis.

dimanche 19 février 2012

Kehangatan di Guilers


Guilers,

Setelah perjumpaan saya dengan Justine dan ibunya saya mengirim sms kepada Justine. Isinya ucapan terima kasih dan rasa senang berkenalan dengan ibunya. Karena saya merasa seperti menemukan sebuah keluarga baru di Peracis atas kebaikan hati ibunya. Celakanya Justine memforward sms saya ke Pascale dan Pascale pun mengundang saya untuk datang ke rumahnya pada hari Minggu depan. Dengan sedikit malu saya mengiyakan undangan Pascale, karena sebelumnya saya melewatkan undangan makan pada saat tragedi pintu gerbang itu. 

Bersama Pascale dan Michel
Hari Jumat sore saya memburu kapal feri untuk menyeberang di Brest. Saya harus melewatkan sebuah pengarahan secara diam-diam karena kapal feri terakhir adanya jam 4 sore. Sesampainya di Brest saya menuju ke Balaikota untuk menjumpai Pascale yang sudah menunggu saya. Berkeliling kami ke pesisir pelabuhan Brest, Pascale mengajak saya ke Recouvrance. Recouvrance adalah nama sebuah kapal maskot kota Brest. Setelah itu kami menuju ke sebuah kapal tunda Abeille-bourbon. Kapal tunda yang sangat besar dan legendaris karena keberhasilannya dalam menunda/ menarik kapal-kapal besar yang terkena badai. Kalau ada kesempatan saya akan bercerita tentang  kedua kapal tersebut lebih lanjut

Tiba di rumah pukul 20.00, perut ini sudah krucuk-krucuk, bapaknya Justine yang membukakan pintu. Michel namanya, orangnya ramah. Di meja makan sudah tersedia canard (bebek) goreng yang menggugah selera. Michel adalah seorang sopir bus yang sedang melaksanakan pendidikan sebagai sopir tram. Di Brest sedang dibangun sistem transportasi tram yang akan beroperasi pada bulan Juni nanti, dan Michel adalah salah satu calon sopir tram. Namun, dulunya Michel pernah bekerja di restoran cepat saji sehingga Michel tahu bagaimana memasak.

Waktu itu saya belajar bagaimana caranya orang Perancis makan. Semua yang saya pelajari semasa kursus bahasa saya temukan di sini. Dari mulai yang namanya entrée, plat principal hingga desert, Pascale mengenalkannya semua pada saya. Bahkan keesokan harinya saya berkesempatan merasakan yang namanya foie gras, sebuah masakan hati à la Perancis. Hanya satu kata : Enak ! 

Sambil makan kami ngobrol, yang tentu saja, didominasi oleh Pascale. Hingga tak terasa desert es krim sudah saya habiskan. Selesai makan saya menaruh barang saya ke kamar. Namun sebelumnya, saya diajak berkeliling rumah oleh Pascale, seperti layaknya tradisi di Perancis. Rumah mereka mungil, namun sangat lengkap. Berada di kapling pojok Jalan Faraday Guilers, rumah itu dikelilingi taman yang luas. Masuk pintu utama, di kanan ada ruang tamu dan ruang baca. Ruang makan dan dapur terletak di bagian belakang, tepat di depan turunan tangga. Ruangan di bawah ruang tamu digunakan sebagai WC, sebuah ide brilian dalam memanfaatkan ruangan yang kecil. Dapur mereka cukup lapang, didominasi warna putih, lengkap dengan peralatan memasak modern, termasuk mesin pencuci piring. Keluar dapur tembus ke garasi yang dimanfaatkan sebagai gudang. Mobil Michel diparkir di carport, sedangkan mobil Pascale di jalan depan rumah.

Naik tangga, di sana ada empat ruang tidur satu kamar mandi dan satu WC. Di Perancis, antara kamar mandi dan WC selalu dipisah, termasuk di kapal. Saya tidur di kamar kakaknya Justine. Terlihat banyak mainan anak-anak di dalam kamar, karena kakaknya Justine mempunyai anak perempuan umur 5 tahun. Namun mereka tinggal di kota lain, hanya setahun sekali mungkin mereka pulang ke Guilers. Kamar Justine didominasi warna merah nila, cukup berantakan, terlihat baju-baju di lantai siap dipak, entah hendak dipak ke mana. Kamar Pascale ada di sisi kanan tangga. Sedangkan kamar satu lagi digunakan sebagai tempat komputer. Lantai 2 rumah mereka berada di dalam plafon, jadi pada saat di luar kita melihat rumah ini seperti satu lantai saja, tetapi ketika di dalam ternyata ada dua lantai.

Setelah beres-beres dan mandi, saya dan Pascale ke ruang komputer. Di sana Pascale menunjukkan foto-foto keluarga, dari mulai Justine masih kecil sampai foto saudara-saudaranya. Pascale orangnya senang bercerita hingga saya lama-lama mengantuk sendiri. Tak terasa sudah jam 12 dan kami pun menyudahi obrolan malam itu.

Esok paginya kami bangun jam 9 pagi, jam bangun pagi yang normal untuk orang Perancis di hari libur. Kami pun sarapan bertiga. Sarapan kali itu kopi susu manis, baguette, keju dan air putih. Sarapan standar untuk orang Perancis. Pertama kali saya sarapan model begini di Paris perut serasa krucuk-krucuk terus, namun setelah satu bulan sudah bisa beradaptasi. Keju pun jenisnya macam-macam, ada yang rasanya kuat, ada yang lembut. 

Setelah itu saya diajak Pascale untuk belanja makan siang. Pergilah kami ke supermarket dan boulangerie (toko roti). Di boulangerie kami sudah harus mengantri, padahal tokonya kecil saja. Ternyata toko itu satu-satunya yang buka pada hari sabtu itu sehingga semua orang harus pergi ke sana. Karena buat orang Perancis, roti adalah makanan pokok mereka, baik sarapan, makan siang ataupun malam wajib ada baguette

Pulang ke rumah, siap-siap memasak. Kali itu saya menjadi asisten Pascale. Tugas saya cukup mudah, mengaduk-aduk rebusan pasta hingga masak. Pascale pun menyiapkan segala sesuatunya. Cukup sederhana dan praktis cara mereka memasak. Tidak ada yang namanya membuat bumbu-bumbuan yang memakan waktu lama. Semua bumbu-bumbu sudah dalam bentuk kemasan, tinggal tuang. Pantas saja dapurnya bersih. Yang unik, Pascale punya bermacam-macam garam. Ada garam Hawaii, ada garam pedas, ada garam yang warnanya hitam dan lain-lain. Penggunaannya pun berbeda-beda untuk tiap jenis masakan.
Selesai makan siang saatnya mengantar saya pulang. Barang-barang saya pun saya kemasi, tak lupa saya bawa tripod kesayangan saya. Ternyata kami tidak langsung ke Ecole Navale, melainkan jalan-jalan dulu ke pantai. Saya lupa nama pantainya, namun cukup indah dan bersih. Banyak orang berselancar di laut walaupun musim dingin begini, tidak terbayang betapa dinginnya di dalam sana. Kami lanjut ke Port Sal, sebuah pantai yang lain. Port Sal terkenal karena dulu pernah ada kapal tenggelam karena cuaca buruk dan bahan bakarnya mencemari lautan hingga Port Sal, warna laut sampai hitam. Butuh waktu lama untuk membersihkan laut pada waktu itu.

Selesai dari Port Sal kami meluncur ke Brest, mampir ke tokonya Justine untuk berpamitan. Setelah itu kami menuju ke Oceanopolis, sebuah aquarium raksasa, seperti Sea World Jakarta kalau di Indonesia. Di sana aquarium dibagi menjadi region dingin dan region tropis. Ketika masuk ke region tropis dan melihat peta Indonesia, terbayang betapa enaknya hidup di Indonesia. Di Oceanopolis kami terburu-buru karena tutupnya pukul 18.00 sedangkan pukul 17.00 kami baru sampai. Alhasil, tidak semua koleksi ikan kami lihat, hanya sebagian saja yang penting-penting saja. Sayang memang, namun apa mau dikata.

Selesai dari Oceanopolis kami meluncur ke Lanveoc. 6 derajat suhu di luar, saya lihat dari penunjuk temperatur di mobil. Selama di mobil saya duduk di depan, Michel yang menyetir, sedangkan Pascale duduk di belakang. Lebih banyak diamnya karena Michel tak banyak bicara seperti Pascale, sehingga perjalanan kali itu serasa lama. Akhirnya sampai juga kami di pintu gerbang Ecole Navale. Saatnya datang juga kami berpisah. Setelah melaksanakan basa-basi perpisahan mereka pun pergi meninggalkan saya.

Berjalan saya dari pintu gerbang ke mes saya, cukup jauh, ditambah dinginnya malam yang mana saya tidak mengenakan jaket dingin. Namun dinginnya malam waktu itu tidak terasa karena hati ini masih merasakan kehangatan sebuah keluarga yang baru saja saya alami. Benar-benar luar biasa baiknya mereka berdua, bagaimana cara mereka memperlakukan orang yang baru dikenal benar-benar di luar perkiraan. 

Semoga nanti, pada tanggal 25 Juli, saat di mana saya kembali ke Brest, saya bisa menjumpai mereka lagi. Namun sayang,karena sepertinya saya langsung harus pergi ke Paris hari itu juga karena tiket pesawat yang akan membawa saya dari Paris ke Indonesia adalah esok harinya. Ah, andai saja tiket saya bisa diundur sehari, hingga saya bisa menginap lagi di rumah mereka.

Tak terasa panjang juga ya ceritanya, nanti kena kritik lagi nih dari dr. Amanda. Maklum, gak ada tempat curhat, jadi curhatnya di blog ini.
Sekian terima kasih.


mercredi 15 février 2012

Antara apel dan pringles

Ecole Navale, Lanveoc Poulmic


Tepat jam sekarang menunjukkan 20.20 waktu Perancis, tepat adzan isya berkumandang.

Allahu Akbar Allahu Akbar...
Asyhadu Allah Ilahaillallah Asyhadu Allah Ilahaillallah
Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah
Hayya Alash Shalah.... Hayya Alash Shalah....
Hayya Alal Falah Hayya Alah Falah
Allahu Akbar
Lailahailallah...

Dengan selesainya adzan Isya yang berasal dari laptop kesayangan saya, dengan ini saya proklamasikan berdirinya blog saya...

Di sini, di Ecole Navale Perancis, di kota Lanveoc Poulmic tepatnya, saya mencoba untuk mulai belajar menulis. Jadi teringat kata-kata mantan Gubernur AAL semasa saya masih menjadi Kadet, "dengan menulis maka kita akan bisa diingat orang dan dunia." (kalau tidak salah, karena sudah beberapa tahun yang lalu).

Kenapa baru sekarang ? Yah, sebenarnya sudah lama ingin menulis, tapi belum ada sesuatu yang men-trigger jari-jari ini untuk menari-nari di atas keyboard. Mumpung sekarang sedang dalam tugas belajar di Perancis, jadi  (semoga) ada yang bisa diceritakan. Begitulah kira-kira motivasi awal kenapa baru sekarang mulai mencoba untuk menulis blog.

Sambil ditemani sebuah apel yang berasal dari ruang makan dan sekaleng pringles dari teman Kuwait saya, maka tak perlu khawatir malam ini perut akan bernyanyi riang seperti malam-malam sebelumnya. Memang hanya internet ini yang bisa menjadi teman setia selama di Ecole Navale. Karena tempat ini sangat jauh dari pusat kota. Tempat pendidikan penelur perwira-perwira Angkatan Laut Perancis ini terletak di kota kecil yang bernama Lanveoc Poulmic. Kota terdekat bernama Crozon, itupun hanya bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor. Sedangkan kota besar terdekat adalah Brest, sejauh satu jam perjalanan mobil atau 45 menit perjalanan dengan feri. Jelas sudah bahwa keinginan untuk mencari hiburan lain selain internet tidak ada.

Namun ini semua sudah cukup mewah buat saya... Sejauh saya masih bisa berkomunikasi dengan anak-istri dan melihat wajah keduanya dengan menggunakan skype, itu tak menjadi masalah buat saya.

Selamat malam Perancis, selamat pagi Indonesia.
Dengan ini semoga kabar gembira dapat terus tersampai.

dimanche 12 février 2012

Rendez-vous.


Morgat,


Seminggu sudah saya menghirup udara di Perancis. Senang tentunya yang saya rasakan, namun terkadang rasa sepi mendera. Yang pertama karena jauh dari keluarga, utamanya jauh dari putri kecilku. Selain itu, suasana di lingkungan saya tinggal jauh dari rasa kekeluargaan. Mungkin karena kami sama-sama baru berjumpa jadi belum saling mengenal satu sama lain. Selesai urusan sekolah berarti selesai juga urusan, masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. 

Namun di sini saya mempunyai teman, Justine namanya. Kami bertemu di Brest tujuh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2005 ketika saya singgah saat melaksanakan pelayaran dengan KRI Dewaruci. Ketika itu lepas dari main drum band di Balaikota Brest, kami berfoto bersama, lalu dia main ke kapal. Cukup singkat pertemuan kami saat itu. Saling kontak via email dan facebook selama tujuh tahun hingga akhirnya saya kembali ke Brest sekarang ini. 

Awalnya kami janji untuk bertemu pada hari Minggu di pintu masuk Ecole Navale. Dia menjemput saya karena orang tuanya mengundang saya untuk makan malam di rumahnya. Saya tunggu-tunggu namun dia tak kunjung tiba. Saya konfirmasi via sms, dia bilang dia sudah menunggu di depan pintu gerbang. Bingung saya, karena saya tak mendapati siapa pun di pintu masuk. Ternyata dia menunggu di Ecole Navale di Brest, sedangkan saya menunggu di Ecole Navale di Lanveoc. Pantas saja tidak nyambung. Kembalilah saya ke kamar sambil kedinginan.  Ternyata kejadian seperti ini tidak hanya ada di sinetron saja.

Minggu depannya kami janjian bertemu lagi, kali ini dia akan benar-benar ke Lanveoc, bersama ibunya. Dia bilang, “kalau tidak ketemu sekarang maka kita akan ketemu tujuh tahun lagi.”
Masuk akal juga pikir saya. Setelah 45 menit menunggu di penjagaan depan kami akhirnya benar-benar berjumpa. Namun saya merasa agak aneh, karena seharusnya selayaknya kawan lama yang baru berjumpa akan banyak bercerita. Namun ini lain, lagi-lagi karena kendala bahasa. Ah, sudahlah, saya pun naik ke mobil dan kami meluncur ke Morgat, sebuah kota di pesisir laut.

Di sana kami mampir ke restoran crepes. “ini namanya “Goûter” , “ kata Pascale, ibu Justine. Goûter adalah snack, dimakan waktu sore atau pagi setengah siang. Di sana kami bercerita macam-macam, mulai dari keluarga sampai hal-hal tidak penting. Tak terasa waktu sudah semakin sore hingga akhirnya kami harus kembali. Sebelum kembali ke Ecole Navale kami menyempatkan jalan-jalan sambil foto-foto di depan sebuah benteng dan kapal layar. 

Hari pun semakin berjalan, matahari pun tak sabar ingin menenggelamkan diri dalam gelapnya malam. Kami kembali ke Lanveoc, mengantar saya pulang. Cukup singkat perjumpaan kami saat itu, namun cukup berarti buat saya. Senang berkenalan dengan Pascale, seorang ibu yang sangat baik, bahkan kepada orang yang baru dikenalnya. Padahal Pascale hanya tahu saya lewat cerita-cerita Justine, lewat foto-foto di facebook. Heran ada orang Perancis seperti Pascale, yang notabenenya orang Perancis terkenal tak acuh.

Perjumpaan hari itu adalah awal di mana saya menemukan sebuah kehangatan dalam sebuah keluarga Perancis, yang akan saya tulis di tulisan saya selanjutnya.

samedi 4 février 2012

Merasakan Metro di Paris



Jika mendengar kata Paris, maka yang ada di pikiran orang-orang pastinya Menara Eiffel, sungai Sein, Notre Dame de Paris, dan lainnya. Hal-hal itu pula yang ada di pikiran saya saat pergi ke Paris. Mengingat waktu saya di Paris tidak begitu lama, hanya tiga hari, maka saya manfaatkan waktu saya yang ada untuk menjelajah kota Paris ini. Sebagai informasi, saya berada di Paris ini hanya sekedar transit. Pada tanggal 5 Februari saya sudah harus meluncur ke Brest untuk mengikuti pembukaan pendidikan pada esok harinya di Ecole Navale.

Hari pertama di Paris Mayor Fildalah yang menjadi guide saya. Beliaulah yang mengenalkan saya pertama kali dengan yang namanya Metro. Dari Kedutaan Indonesia menuju ke École de Guerre, kemudian menuju ke studionya, semua ditempuh dengan menggunakan metro. Pada saat itu tak usah ditanya berapa saya harus membayar karena saya masuk berkali-kali ke stasiun metro dengan menggunakan kartu pas milik Mayor Filda. Kartu tersebut didapat dengan membayar kurang lebih 60 euro per bulan dan dapat digunakan berulang kali. Hanya mereka yang tinggal cukup lama di Paris yang bisa membeli kartu tersebut. Jadi, pada saat di pintu masuk metro, saya berada di depan Mayor Filda, sehingga kami bisa masuk dengan sekali gesek.

Tadinya sedikit was-was dengan kelakuan saya, mengingat negara-negara Eropa terkenal dengan disiplinnya. Namun ternyata saya tidak seorang diri, banyak saya lihat orang-orang Perancis sendiri melakukan hal itu. Ada yang melompat, ada yang masuk lewat pintu keluar sehingga terbebas dari kewajiban membeli tiket. Hati ini sedikit tenang jadinya, apalagi tidak ada petugas yang mengawasi. Yang ada hanya penjual tiket yang diam saja melihat semua ini terjadi.

Metro di Paris selalu penuh dengan penumpang, utamanya pada jam-jam sibuk. Mulai beroperasi jam enam pagi hingga jam satu dini hari kalau saya tidak salah. Yang memudahkan bagi pengguna awam seperti saya, adanya peta petunjuk jalur-jalur metro seluruh Paris, lengkap dengan tempat-tempat wisata utama. Jadi, bagi kita yang awam, tidak perlu yang namanya pemandu untuk dapat berjalan-jalan keliling Paris.


Hari Sabtu, satu hari sebelum saya berangkat ke Brest, saya menyempatkan diri untuk berpetualang berkeliling Paris. Saya mulai dari Stasiun St. Agustin, stasiun terdekat dengan tempat saya. Di sana saya membeli lima lembar tiket metro. Dengan percaya diri saya meluncur dengan metro ligne 6 dan turun di stasiun Roosevelt. Di sana oper metro ligne 1 dan turun di Trocadero. Naik ke permukaan, jalan 50 meter, terpampang indah Menara Eiffel yang terkenal itu.

Kebetulan hari itu turun salju yang pertama kalinya di Paris tahun ini. Dan pertama kali juga tangan saya menyentuh salju. Di Eiffel saya puas-puaskan untuk berfoto-foto dengan berlatarkan pemandangan bersalju. Ternyata pada saat salju turun suhu di sana mendingan, lebih dingin kalau tidak ada salju. Untungnya saya ditemani tripod kesayangan saya, yang memungkinkan saya untuk berfoto-foto sepuas diri.

Ada cerita lucu tentang tripod saya ini. Sebenarnya tripod ini baru saya beli menjelang keberangkatan saya ke Perancis. Saya membeli di SPI, mall terdekat dari rumah mungil saya dengan harga 300 ribu rupiah. Sengaja beli yang murah, biar kalau nanti pulang dari Perancis bisa dibuang kalau kelebihan bagasi. Pada saat membayar, karena saya dan istri tidak membawa uang cash sebesar itu, pergilah kami ke ATM terdekat dengan diantar oleh si penjual. Setelah menggesek sejumlah uang yang diperlukan, saya bayarkan ke si penjual dan dia pun menyerahkan tripodnya kepada saya. Siapa yang menyangka bahwa itulah terakhir kali saya menggunakan kartu ATM tersebut. Ya, dua hari kemuadian saat istri saya hendak menggunakan kartu tersebut, kartu itu tidak dapat ditemukan. Akhirnya hilangnya kartu tersebut menimbulkan masalah baru bagi saya nantinya.

Well, kembali ke metro. Dari menara Eiffel saya meluncur ke Notre Dame de Paris. Ternyata stasiun metro yang terdekat dengan Notre Dame itu terletak tepat di samping Sungai Sein. Sekalian foto-foto dengan sungai Sein, sungai yang saya jadikan tema paparan saya pada waktu mengikuti kursus bahasa Perancis di Kemhan. Sampai di Notre Dame, ternyata antrian sudah panjang. Lumayan kedinginan juga saat itu karena suhu di kisaran minus. Ternyata untuk masuk ke dalam para pengunjung tidak dipungut biaya, hanya harus melepas tutup kepala dan kacamata. Bagus juga dalamnya, namun saya tidak dapat menikmati dengan seksama karena segera harus meluncur ke tujuan berikutnya.

Louvre ! Di sana hanya foto-foto di luar karena untuk masuk harus membayar sejumlah euro. Dari louvre berpindah ke Arc de Triomph. Sekalian di sana foto-foto di Champs Elyssée. Kapan-kapan akan saya ceritakan detail sejarah Arc de Tiromph ini. Di sinilah tempat diselenggarakan peringatan hari nasional Perancis. Sebuah monumen bersejarah untuk mengenal para pejuang tak dikenal.

Lumayanlah, dalam beberapa jam sudah dapat berkeliling Paris dengan menggunakan Metro. Lain kali Insya Allah berkunjung lagi ke Paris, dengan keluarga kecil saya tentunya, dan dengan suhu yang lebih baik dari ini. Namun yang pasti pada tanggal 26 Juli saya akan kembali menginjakkan kaki di Paris, untuk menuju ke tanah air tercinta.

26 Juli, hari yang ditunggu-tunggu.

jeudi 2 février 2012

Moin sept (-7)

Dubai - Paris

Sudah mulai jenuh tubuh ini berdiam diri di kursi pesawat sedemikian lama. Yah, delapan jam lamanya penerbangan dari Jakarta ke Dubai ditambah tujuh jam berikutnya menuju Paris cukup membuat bosan diri ini. Untungnya di depan bangku Etihad tersedia layar mini yang bisa dimanfaatkan sebagai pengusir jenuh. Sudah dua film yang saya tonton untuk mengusir si bosan. Columbiana dan Tintin. Lumayan, daripada terus-terusan tidur yang bisa semakin menambah penat badan ini.

Dari ramalan cuaca yang diumumkan captain pilot, suhu di Paris ternyata mencapai -7 derajat celcius. Ini benar-benar ekstrim pikir saya. Dari suhu di Jakarta yang berkisar 30 derajat menuju ke daerah yang bersuhu lebih rendah dari nol derajat. Dua jam sebelum mendarat segera saya ambil winter ondergoed saya yang sengaja saya taruh di tas ransel yang saya bawa masuk ke kabin pesawat. Segera menuju ke toilet untuk mengenakan perlengkapan dingin tersebut. Agak hangat, cenderung gerah rasanya mengenakan baju berlapis seperti itu di dalam kabin pesawat, namun nantinya pasti berguna saat benar-benar bersentuhan dengan udara Paris.

6.30 tepat waktu Paris, pesawat Etihad yang saya tumpangi mendarat dengan muls di Bandara Charles de Gaulle Paris. Suasana di luar masih gelap tentunya karena saat itu musim dingin. Benar kata sang pilot, suhu di luar benar-benar menusuk tulang (setidaknya bagi saya). Bersyukur tadi di dalam pesawat sempat merangkap baju. Kalau tidak, entah bagaimana nasib saya.


Setelah menunggu bagasi, segera saya keluar bandara. Alhamdulillah di luar sudah ada Staf Kedutaan Indonesia yang menjemput saya. Namanya Pak Marlin, dari Depok asalnya. Dia sudah bekerja di Kedutaan selama delapan tahun. Entah kenapa keluarganya tak dibawanya ke Paris, malah lebih memilih untuk pulang ke Indonesia dua kali setahun.

Ternyata bandara Charles de Gaulle ini berada di luar kota Paris. Akses menuju Paris ternyata sudah macet pada jam segitu. Namun, semacet-macetnya jalan masih berjalan semua kendaraan. Tidak seperti Jakarta yang macet hingga benar-benar berhenti. Selain itu, jarang sekali melihat roda dua di jalanan Paris. Ada pun hanya motor-motor besar yang berseliweran. Cukup tertib saya rasakan, walaupun macet namun tidak pernah terlihat asa dari pengguna jalan untuk menyerobot.

Sepanjang perjalanan di mobil, Pak Marlin dan saya saling bercakap-cakap. Selayaknya orang yang sudah lama menikmati hidup teratur, perbandingan antara Teratur dan Tidak Teratur acap kali muncul. Dari mulai lalu lintas, penegakan hukum, mentalitas, dan masih banyak lagi. Dalam hati ini berpikir, apa tepat membandingkan sesuatu yang belum tentu layak untuk dibandingkan ? Terus kalau sudah dibandingkan, apa untungnya buat si Tak Teratur ? Memang harus diakui mentalitas kita masih jauh, namun tidak berarti kita ini jelek. Masih banyak kiranya hal-hal lain dari si Tak Teratur yang jauh lebih bagus dari si Teratur. Realistis aja, kalau orang bilang dimulai dari diri sendiri. Ini yang selalu saya coba lakukan di Indonesia. Hal-hal yang baik dari si Teratur kita terapkan, hal-hal yang jelek jangan. Memang aneh rasanya tatkala kita pada waktu yang bersepeda motor berhenti di belakang garis penyeberang jalan, sementara pesepeda motor yang lain sudah berada jauh di depan. Yang penting penerapannya, komentar boleh namun aksi harus nomor satu.

Yang penting harus ingat: Indonesia is our motherland.

mercredi 1 février 2012

Berpacu dengan waktu, Paris I'm coming...!!!

Jakarta hari itu,

Adalah hari yang sangat melelahkan.
Adalah hari yang sangat mendebarkan.
Adalah hari yang sangat menyedihkan.
Adalah hari yang sangat mengkhawatirkan.
Namun,
Hari yang patut disyukuri juga.

Hujan turun rintik-rintik di Jalan Cut Meutia. Namun itu tak mengurungkan niat saya untuk segera meluncur ke Kedutaan Perancis yang hanya berjarak lima menit dengan berkendara sepeda motor. Segera saya nyalakan mesin motor dan meluncur dengen berjas hujan pinjaman.

10.15 waktu itu ketika saya tepat sampai di Kedutaan. Setelah melewati prosedur di sana - menitipkan tas, screening di metal detector dan meninggalkan KTP di penjagaan - duduklah saya menunggu Ibu Fitri, Staf Misi Pertahanan Kedutaan Perancis. Ternyata 10.15 masih terlalu awal baginya, yang menjadwalkan saya untuk menghadap pada pukul 11.00. Setelah kurang lebih 40 menit menunggu, tampak juga si Staf dan kami langsung menuju lantai 2, di mana Atase Pertahanan dan Asistennya berkantor.

Kedua orang tersebut menemui saya di ruang tamu kantor tersebut, semetara Ibu Fitri menyiapkan dokumen-dokumen yang saya perlukan. Sudah tiga kali saya berkunjung ke tempat ini dan situasinya masih sama, berantakan. Ya, berantakan karena masih dalam proses perpindahan kantor yang hendak dipindah entah ke mana. Dari kedua orang tersebut, Athan dan Asathan, saya menangkap bahwa mereka tidak mengetahui detail pasti bagaimana penjemputan saya di Paris. Bagus, artinya pengalaman seru segera dimulai.

Hampir setengah jam lamanya kami mengobrol dengan prosentase pembicaraan 95 - 5 % untuk mereka, di mana saya hanya bisa menanggapi dengan kata "Oui" sepanjang pembicaraan. Akhirnya Sang Staf yang ditunggu-tunggu datang juga dengan membawa seluruh dokumen saya. Paspor, tiket dan visa sudah di tangan, yang berarti saatnya mohon diri dan segera berpacu dengan waktu untuk mencapai bandara Soekarno-Hatta.

Setelah berpamitan ke mereka, saya tak segera menuju ke tempat parkiran motor. Jas hujan saya titipkan ke satpam Kedutaan dan saya dengan setengah berlari menuju ke Sarinah, di bawah rintik hujan tentunya. Mencari perlengkapan musim dingin adalah tema kunjungan saya hari itu. Setelah bertanya ke dua orang SPG, naiklah saya ke lantai 3 tempat dijualnya barang-barang perlengkapan antidingin. Sakti juga ya istri saya, karena adanya saya di Sarinah ini setelah diomelinya karena saya membawa perlengkapan dingin minimum sedangkan suhu di Paris sudah mencapai -6 derajat celcius.

Segera saya memilih kerpus, kaos kaki woll, dan tak lupa kompas sajadah untuk penunjuk arah sholat. Hal ini karena nantinya saya akan berlayar di kapal, di mana mayoritas penumpangnya adalah non-muslim, jadi sangat sulit untuk mengetahui arah kiblat yang sebenarnya. Setelah menerima nota dari penjual, saya segera berjalan ke arah kasir. ATM mandiri langsung saya keluarkan karena menyadari di dompet hanya ada pecahan 10.000, 20.000 dan beberapa uang logam. Tiba-tiba penjaga kasir bertanya, "Mas, maaf. Ada kartu lain ?"
"Kenapa, Mbak?" Heran saya.
"Ini kartunya sudah expired," terang dia.
Sontak hal itu membuat saya panik. Segera saya lihat tulisan di kartu ATM saya itu : 1/12, yang berarti hari itu, 1 Februari 2012 adalah hari pertama di mana kartu tersebut tidak dapat digunakan.

Oh my god, padahal jam sudah menunjukkan pukul 12.00 yang berarti seharusnya saya sudah harus di rumah untuk berangkat ke bandara. Segera saya berlari mengejar waktu ke bank Mandiri terdekat yang berjarak hanya 100 meter dari Sarinah. Dengan segala usaha dari istri tercinta, akhirnya kartu ATM baru boleh diurus di sana. Karena sebenarnya prosedur pengurusan kartu baru harus di kantor cabang tempat kita menabung, atau boleh di cabang lain tetapi harus membawa buku tabungan. Akhirnya harus koordinasi dengan kantor cabang Mandiri Surabaya. Selain itu ada lagi masalah yang lain. Tanda tangan saya antara di KTP dan di formulir permohonan kartu tidak sama. Hehehe... maklum, soalnya yang di KTP itu baru-barunya membuat tanda tangan baru. Jadi istilahnya, bentuknya masih belum fix. Alhamdulillah akhirnya kartu baru bisa diterbitkan walaupun harus menunggu satu jam lamanya.

Setelah kartu ATM baru di tangan, segera saya menebus barang belanjaan saya dan secepat kilat kembali ke rumah. Pengecekan terakhir saya lakukan terhadap barang-barang yang hendak saya bawa ke Perancis agar tidak ada barang yang tertinggal. Dan memang "gawan bayi" kata ayah saya, ada dua barang yang tertinggal, sandal dan baterei Blackberry cadangan.

Berangkatlah saya ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sedih rasanya hati ini meninggalkan tanah air dan keluarga tercinta dalam waktu enam bulan ke depan. Namun, sebagai seorang tentara, tugas adalah tugas. Hanya bisa berdoa kepada Allah SWT agar keluarga yang saya tinggalkan dilindungi dan diberi keselamatan selalu., terutama anak semata wayang saya, Axelle.

Pesawat Etihad EY471 disambung dengan EY31 membawa tubuh ini ke Paris, sebuah kota mode yang banyak orang, termasuk istri saya ingin sekali pergi ke sana.

Sampai jumpa Indonesiaku, semoga kita dapat berjumpa lagi di bulan Juli.