dimanche 19 février 2012

Kehangatan di Guilers


Guilers,

Setelah perjumpaan saya dengan Justine dan ibunya saya mengirim sms kepada Justine. Isinya ucapan terima kasih dan rasa senang berkenalan dengan ibunya. Karena saya merasa seperti menemukan sebuah keluarga baru di Peracis atas kebaikan hati ibunya. Celakanya Justine memforward sms saya ke Pascale dan Pascale pun mengundang saya untuk datang ke rumahnya pada hari Minggu depan. Dengan sedikit malu saya mengiyakan undangan Pascale, karena sebelumnya saya melewatkan undangan makan pada saat tragedi pintu gerbang itu. 

Bersama Pascale dan Michel
Hari Jumat sore saya memburu kapal feri untuk menyeberang di Brest. Saya harus melewatkan sebuah pengarahan secara diam-diam karena kapal feri terakhir adanya jam 4 sore. Sesampainya di Brest saya menuju ke Balaikota untuk menjumpai Pascale yang sudah menunggu saya. Berkeliling kami ke pesisir pelabuhan Brest, Pascale mengajak saya ke Recouvrance. Recouvrance adalah nama sebuah kapal maskot kota Brest. Setelah itu kami menuju ke sebuah kapal tunda Abeille-bourbon. Kapal tunda yang sangat besar dan legendaris karena keberhasilannya dalam menunda/ menarik kapal-kapal besar yang terkena badai. Kalau ada kesempatan saya akan bercerita tentang  kedua kapal tersebut lebih lanjut

Tiba di rumah pukul 20.00, perut ini sudah krucuk-krucuk, bapaknya Justine yang membukakan pintu. Michel namanya, orangnya ramah. Di meja makan sudah tersedia canard (bebek) goreng yang menggugah selera. Michel adalah seorang sopir bus yang sedang melaksanakan pendidikan sebagai sopir tram. Di Brest sedang dibangun sistem transportasi tram yang akan beroperasi pada bulan Juni nanti, dan Michel adalah salah satu calon sopir tram. Namun, dulunya Michel pernah bekerja di restoran cepat saji sehingga Michel tahu bagaimana memasak.

Waktu itu saya belajar bagaimana caranya orang Perancis makan. Semua yang saya pelajari semasa kursus bahasa saya temukan di sini. Dari mulai yang namanya entrée, plat principal hingga desert, Pascale mengenalkannya semua pada saya. Bahkan keesokan harinya saya berkesempatan merasakan yang namanya foie gras, sebuah masakan hati à la Perancis. Hanya satu kata : Enak ! 

Sambil makan kami ngobrol, yang tentu saja, didominasi oleh Pascale. Hingga tak terasa desert es krim sudah saya habiskan. Selesai makan saya menaruh barang saya ke kamar. Namun sebelumnya, saya diajak berkeliling rumah oleh Pascale, seperti layaknya tradisi di Perancis. Rumah mereka mungil, namun sangat lengkap. Berada di kapling pojok Jalan Faraday Guilers, rumah itu dikelilingi taman yang luas. Masuk pintu utama, di kanan ada ruang tamu dan ruang baca. Ruang makan dan dapur terletak di bagian belakang, tepat di depan turunan tangga. Ruangan di bawah ruang tamu digunakan sebagai WC, sebuah ide brilian dalam memanfaatkan ruangan yang kecil. Dapur mereka cukup lapang, didominasi warna putih, lengkap dengan peralatan memasak modern, termasuk mesin pencuci piring. Keluar dapur tembus ke garasi yang dimanfaatkan sebagai gudang. Mobil Michel diparkir di carport, sedangkan mobil Pascale di jalan depan rumah.

Naik tangga, di sana ada empat ruang tidur satu kamar mandi dan satu WC. Di Perancis, antara kamar mandi dan WC selalu dipisah, termasuk di kapal. Saya tidur di kamar kakaknya Justine. Terlihat banyak mainan anak-anak di dalam kamar, karena kakaknya Justine mempunyai anak perempuan umur 5 tahun. Namun mereka tinggal di kota lain, hanya setahun sekali mungkin mereka pulang ke Guilers. Kamar Justine didominasi warna merah nila, cukup berantakan, terlihat baju-baju di lantai siap dipak, entah hendak dipak ke mana. Kamar Pascale ada di sisi kanan tangga. Sedangkan kamar satu lagi digunakan sebagai tempat komputer. Lantai 2 rumah mereka berada di dalam plafon, jadi pada saat di luar kita melihat rumah ini seperti satu lantai saja, tetapi ketika di dalam ternyata ada dua lantai.

Setelah beres-beres dan mandi, saya dan Pascale ke ruang komputer. Di sana Pascale menunjukkan foto-foto keluarga, dari mulai Justine masih kecil sampai foto saudara-saudaranya. Pascale orangnya senang bercerita hingga saya lama-lama mengantuk sendiri. Tak terasa sudah jam 12 dan kami pun menyudahi obrolan malam itu.

Esok paginya kami bangun jam 9 pagi, jam bangun pagi yang normal untuk orang Perancis di hari libur. Kami pun sarapan bertiga. Sarapan kali itu kopi susu manis, baguette, keju dan air putih. Sarapan standar untuk orang Perancis. Pertama kali saya sarapan model begini di Paris perut serasa krucuk-krucuk terus, namun setelah satu bulan sudah bisa beradaptasi. Keju pun jenisnya macam-macam, ada yang rasanya kuat, ada yang lembut. 

Setelah itu saya diajak Pascale untuk belanja makan siang. Pergilah kami ke supermarket dan boulangerie (toko roti). Di boulangerie kami sudah harus mengantri, padahal tokonya kecil saja. Ternyata toko itu satu-satunya yang buka pada hari sabtu itu sehingga semua orang harus pergi ke sana. Karena buat orang Perancis, roti adalah makanan pokok mereka, baik sarapan, makan siang ataupun malam wajib ada baguette

Pulang ke rumah, siap-siap memasak. Kali itu saya menjadi asisten Pascale. Tugas saya cukup mudah, mengaduk-aduk rebusan pasta hingga masak. Pascale pun menyiapkan segala sesuatunya. Cukup sederhana dan praktis cara mereka memasak. Tidak ada yang namanya membuat bumbu-bumbuan yang memakan waktu lama. Semua bumbu-bumbu sudah dalam bentuk kemasan, tinggal tuang. Pantas saja dapurnya bersih. Yang unik, Pascale punya bermacam-macam garam. Ada garam Hawaii, ada garam pedas, ada garam yang warnanya hitam dan lain-lain. Penggunaannya pun berbeda-beda untuk tiap jenis masakan.
Selesai makan siang saatnya mengantar saya pulang. Barang-barang saya pun saya kemasi, tak lupa saya bawa tripod kesayangan saya. Ternyata kami tidak langsung ke Ecole Navale, melainkan jalan-jalan dulu ke pantai. Saya lupa nama pantainya, namun cukup indah dan bersih. Banyak orang berselancar di laut walaupun musim dingin begini, tidak terbayang betapa dinginnya di dalam sana. Kami lanjut ke Port Sal, sebuah pantai yang lain. Port Sal terkenal karena dulu pernah ada kapal tenggelam karena cuaca buruk dan bahan bakarnya mencemari lautan hingga Port Sal, warna laut sampai hitam. Butuh waktu lama untuk membersihkan laut pada waktu itu.

Selesai dari Port Sal kami meluncur ke Brest, mampir ke tokonya Justine untuk berpamitan. Setelah itu kami menuju ke Oceanopolis, sebuah aquarium raksasa, seperti Sea World Jakarta kalau di Indonesia. Di sana aquarium dibagi menjadi region dingin dan region tropis. Ketika masuk ke region tropis dan melihat peta Indonesia, terbayang betapa enaknya hidup di Indonesia. Di Oceanopolis kami terburu-buru karena tutupnya pukul 18.00 sedangkan pukul 17.00 kami baru sampai. Alhasil, tidak semua koleksi ikan kami lihat, hanya sebagian saja yang penting-penting saja. Sayang memang, namun apa mau dikata.

Selesai dari Oceanopolis kami meluncur ke Lanveoc. 6 derajat suhu di luar, saya lihat dari penunjuk temperatur di mobil. Selama di mobil saya duduk di depan, Michel yang menyetir, sedangkan Pascale duduk di belakang. Lebih banyak diamnya karena Michel tak banyak bicara seperti Pascale, sehingga perjalanan kali itu serasa lama. Akhirnya sampai juga kami di pintu gerbang Ecole Navale. Saatnya datang juga kami berpisah. Setelah melaksanakan basa-basi perpisahan mereka pun pergi meninggalkan saya.

Berjalan saya dari pintu gerbang ke mes saya, cukup jauh, ditambah dinginnya malam yang mana saya tidak mengenakan jaket dingin. Namun dinginnya malam waktu itu tidak terasa karena hati ini masih merasakan kehangatan sebuah keluarga yang baru saja saya alami. Benar-benar luar biasa baiknya mereka berdua, bagaimana cara mereka memperlakukan orang yang baru dikenal benar-benar di luar perkiraan. 

Semoga nanti, pada tanggal 25 Juli, saat di mana saya kembali ke Brest, saya bisa menjumpai mereka lagi. Namun sayang,karena sepertinya saya langsung harus pergi ke Paris hari itu juga karena tiket pesawat yang akan membawa saya dari Paris ke Indonesia adalah esok harinya. Ah, andai saja tiket saya bisa diundur sehari, hingga saya bisa menginap lagi di rumah mereka.

Tak terasa panjang juga ya ceritanya, nanti kena kritik lagi nih dari dr. Amanda. Maklum, gak ada tempat curhat, jadi curhatnya di blog ini.
Sekian terima kasih.


Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire