Guilers,
Setelah perjumpaan saya dengan Justine dan
ibunya saya mengirim sms kepada Justine. Isinya ucapan terima kasih dan rasa
senang berkenalan dengan ibunya. Karena saya merasa seperti menemukan sebuah
keluarga baru di Peracis atas kebaikan hati ibunya. Celakanya Justine memforward sms saya ke Pascale dan Pascale
pun mengundang saya untuk datang ke rumahnya pada hari Minggu depan. Dengan
sedikit malu saya mengiyakan undangan Pascale, karena sebelumnya saya melewatkan
undangan makan pada saat tragedi pintu gerbang itu.
Bersama Pascale dan Michel |
Tiba di rumah pukul 20.00, perut ini sudah krucuk-krucuk, bapaknya Justine yang
membukakan pintu. Michel namanya, orangnya ramah. Di meja makan sudah tersedia canard (bebek) goreng yang menggugah
selera. Michel adalah seorang sopir bus yang sedang melaksanakan pendidikan
sebagai sopir tram. Di Brest sedang dibangun sistem transportasi tram yang akan
beroperasi pada bulan Juni nanti, dan Michel adalah salah satu calon sopir
tram. Namun, dulunya Michel pernah bekerja di restoran cepat saji sehingga
Michel tahu bagaimana memasak.
Waktu itu saya belajar bagaimana caranya
orang Perancis makan. Semua yang saya
pelajari semasa kursus bahasa saya temukan di sini. Dari mulai yang namanya entrée, plat principal hingga desert,
Pascale mengenalkannya semua pada saya. Bahkan keesokan harinya saya
berkesempatan merasakan yang namanya foie
gras, sebuah masakan hati à la
Perancis. Hanya satu kata : Enak !
Sambil makan kami
ngobrol, yang tentu saja, didominasi oleh Pascale. Hingga
tak terasa desert es krim sudah saya
habiskan. Selesai makan saya menaruh barang saya ke kamar. Namun sebelumnya,
saya diajak berkeliling rumah oleh Pascale, seperti layaknya tradisi di
Perancis. Rumah mereka mungil, namun sangat lengkap. Berada di kapling pojok
Jalan Faraday Guilers, rumah itu dikelilingi taman yang luas. Masuk pintu
utama, di kanan ada ruang tamu dan ruang baca. Ruang makan dan dapur terletak
di bagian belakang, tepat di depan turunan tangga. Ruangan di bawah ruang tamu
digunakan sebagai WC, sebuah ide brilian dalam memanfaatkan ruangan yang kecil.
Dapur mereka cukup lapang, didominasi warna putih, lengkap dengan peralatan
memasak modern, termasuk mesin pencuci piring. Keluar dapur tembus ke garasi
yang dimanfaatkan sebagai gudang. Mobil Michel diparkir di carport, sedangkan mobil Pascale di jalan depan rumah.
Naik tangga, di sana ada empat ruang tidur
satu kamar mandi dan satu WC. Di Perancis, antara kamar mandi dan WC selalu
dipisah, termasuk di kapal. Saya tidur di kamar kakaknya Justine. Terlihat
banyak mainan anak-anak di dalam kamar, karena kakaknya Justine mempunyai anak
perempuan umur 5 tahun. Namun mereka tinggal di kota lain, hanya setahun sekali
mungkin mereka pulang ke Guilers. Kamar Justine didominasi warna merah nila,
cukup berantakan, terlihat baju-baju di lantai siap dipak, entah hendak dipak
ke mana. Kamar Pascale ada di sisi kanan tangga. Sedangkan kamar satu lagi
digunakan sebagai tempat komputer. Lantai 2 rumah mereka berada di dalam
plafon, jadi pada saat di luar kita melihat rumah ini seperti satu lantai saja,
tetapi ketika di dalam ternyata ada dua lantai.
Setelah beres-beres dan mandi, saya dan
Pascale ke ruang komputer. Di sana Pascale menunjukkan foto-foto keluarga, dari
mulai Justine masih kecil sampai foto saudara-saudaranya. Pascale orangnya
senang bercerita hingga saya lama-lama mengantuk sendiri. Tak terasa sudah jam
12 dan kami pun menyudahi obrolan malam itu.
Esok paginya kami bangun
jam 9 pagi, jam bangun pagi yang normal untuk orang Perancis di hari libur. Kami
pun sarapan bertiga. Sarapan kali itu kopi susu manis, baguette, keju dan air putih. Sarapan standar untuk orang Perancis.
Pertama kali saya sarapan model begini di Paris perut serasa krucuk-krucuk
terus, namun setelah satu bulan sudah bisa beradaptasi. Keju pun jenisnya
macam-macam, ada yang rasanya kuat, ada yang lembut.
Setelah itu saya diajak Pascale untuk
belanja makan siang. Pergilah kami ke
supermarket dan boulangerie (toko
roti). Di boulangerie kami sudah
harus mengantri, padahal tokonya kecil saja. Ternyata toko itu satu-satunya
yang buka pada hari sabtu itu sehingga semua orang harus pergi ke sana. Karena
buat orang Perancis, roti adalah makanan pokok mereka, baik sarapan, makan
siang ataupun malam wajib ada baguette.
Pulang ke rumah, siap-siap memasak. Kali itu saya menjadi asisten Pascale. Tugas saya cukup mudah, mengaduk-aduk rebusan pasta hingga masak. Pascale
pun menyiapkan segala sesuatunya. Cukup sederhana dan praktis cara mereka
memasak. Tidak ada yang namanya membuat bumbu-bumbuan yang memakan waktu lama.
Semua bumbu-bumbu sudah dalam bentuk kemasan, tinggal tuang. Pantas saja
dapurnya bersih. Yang unik, Pascale punya bermacam-macam garam. Ada garam
Hawaii, ada garam pedas, ada garam yang warnanya hitam dan lain-lain.
Penggunaannya pun berbeda-beda untuk tiap jenis masakan.
Selesai makan siang saatnya mengantar saya
pulang. Barang-barang saya pun saya kemasi, tak lupa saya bawa tripod
kesayangan saya. Ternyata kami tidak langsung ke Ecole Navale, melainkan
jalan-jalan dulu ke pantai. Saya lupa nama pantainya, namun cukup indah dan
bersih. Banyak orang berselancar di laut walaupun musim dingin begini, tidak
terbayang betapa dinginnya di dalam sana. Kami lanjut ke Port Sal, sebuah pantai yang lain. Port Sal terkenal karena
dulu pernah ada kapal tenggelam karena cuaca buruk dan bahan bakarnya mencemari
lautan hingga Port Sal, warna laut sampai hitam. Butuh waktu lama untuk
membersihkan laut pada waktu itu.
Selesai dari Port Sal
kami meluncur ke Brest, mampir ke tokonya Justine untuk berpamitan. Setelah itu
kami menuju ke Oceanopolis, sebuah aquarium raksasa, seperti Sea World Jakarta
kalau di Indonesia. Di sana aquarium dibagi menjadi
region dingin dan region tropis. Ketika masuk ke region tropis dan melihat peta
Indonesia, terbayang betapa enaknya hidup di Indonesia. Di Oceanopolis kami
terburu-buru karena tutupnya pukul 18.00 sedangkan pukul 17.00 kami baru
sampai. Alhasil, tidak semua koleksi ikan kami lihat, hanya sebagian saja yang
penting-penting saja. Sayang memang, namun apa mau dikata.
Selesai dari Oceanopolis kami meluncur ke
Lanveoc. 6 derajat suhu di luar, saya
lihat dari penunjuk temperatur di mobil. Selama di mobil saya duduk di depan,
Michel yang menyetir, sedangkan Pascale duduk di belakang. Lebih banyak diamnya
karena Michel tak banyak bicara seperti Pascale, sehingga perjalanan kali itu
serasa lama. Akhirnya sampai juga kami di pintu gerbang Ecole Navale. Saatnya
datang juga kami berpisah. Setelah melaksanakan
basa-basi perpisahan mereka pun pergi meninggalkan saya.
Berjalan saya dari pintu gerbang ke mes
saya, cukup jauh, ditambah dinginnya malam yang mana saya tidak mengenakan
jaket dingin. Namun dinginnya malam waktu itu tidak terasa karena hati ini
masih merasakan kehangatan sebuah keluarga yang baru saja saya alami. Benar-benar
luar biasa baiknya mereka berdua, bagaimana cara mereka memperlakukan orang
yang baru dikenal benar-benar di luar perkiraan.
Semoga nanti, pada tanggal 25 Juli, saat di
mana saya kembali ke Brest, saya bisa menjumpai mereka lagi. Namun
sayang,karena sepertinya saya langsung harus pergi ke Paris hari itu juga
karena tiket pesawat yang akan membawa saya dari Paris ke Indonesia adalah esok
harinya. Ah, andai saja tiket saya bisa diundur sehari, hingga saya bisa
menginap lagi di rumah mereka.
Tak
terasa panjang juga ya ceritanya, nanti kena kritik lagi nih dari dr. Amanda.
Maklum, gak ada tempat curhat, jadi curhatnya di blog ini.
Sekian
terima kasih.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire