Guilers.
Semalam menginap di rumah orang tuanya
Justine memberi saya banyak pelajaran. Di sana saya belajar mengenal bagaimana
kehidupan sebuah keluarga Perancis yang tadinya hanya saya kenal melalui cerita
guru-guru bahasa Perancis saya di CCCL (sekarang IFI) Surabaya maupun di
Pusdiklat Bahasa Kemhan. Menarik,
karena kesempatan seperti yang saya dapat ini belum tentu dapat terulang lagi.
Dijemput ibunya Justine, Pascale, kami
meluncur ke rumah kecil mereka. Terletak di kota Guilers, kami tempuh dengan
mobil selama setengah jam perjalanan dari jantung kota Brest. Perjalanan jadi tak terasa karena Pascale ternyata
orang yang sangat ramah. Dia bercerita sana-sini, dari mulai masa kecil
Justine, pindah rumah, keluarganya, dll. Setelah sampai rumah, suaminya Pascale
yang membuka pintu, namanya Michel, ramah juga orangnya. Di pintu masuk
terdapat tulisan « Dilarang merokok di dalam rumah ». Aha, beruntung
saya, memasuki kawasan bebas rokok.
Kami langsung menuju ruang makan yang
terletak di dapur. Ternyata di sana sudah tersaji bebek goreng, Michel yang
memasak, enak. Namun makannya beda dengan gobek Surabaya. Di Perancis makan
bebek tanpa sega, dan makannya digado, dengan memakai pisau dan garpu.
Setelah bebek habis baru makan yang lainnya, fromage¸dll.
Selesai makan, alat-alat makan kotor
diletakkan di dalam mesin pencuci pirig. Setelah itu Pascale naik ke kamarnya.
Tinggallah saya dengan Michel berdua di dalam dapur. Lalu Michel mengambil
kaleng yang bertuliskan “tabac” yang artinya tembakau. Saya agak sedikit
heran waktu itu, ternyata Michel perokok. Saya bertanya padanya, “bagaimana
cara merokok tembakau itu ?”
“Oh, itu ada alatnya. Saya akan tunjukkan
kamu bagaimana membuatnya,” kata Michel kepada saya. Dia lalu mengeluarkan
sebatang rokok kosongan, tanpa ada tembakau di dalamnya. Lalu dia mengambil
sebuah alat berwarna merah yang ternyata alat pengisi tembakau ke dalam rokok
kosongan tersebut. Dia pun lalu mempraktekkan cara membuat rokok siap hisap.
Simpel, tidak perlu melinting sebagaimana yang banyak kita temui di Indonesia.
“Ini biar murah, karena kalau beli rokok
agak sedikit mahal di sini. Alat ini buatan Jerman,” jelasnya. “Kamu tidak
merokok ?” tanyanya pada saya.
“Tidak,” jawab saya sambil tersenyum.
“Kamu beruntung, karena sulit sekali untuk
berhenti merokok. Oke, saya keluar dulu ke garasi ya, menghabiskan rokok ini
dulu,” lanjut Michel.
“Lho, kenapa tidak di dalam saja ? Ini kan
rumah kamu,” Tanya saya.
“Tidak, karena tidak semua orang merokok di
sini. Pascale tidak merokok, kamu juga tidak. Dan karena saya tahu bahayanya
asap rokok buat mereka yang menghisapnya,” terang dia sambil tersenyum. Dan dia
pun meninggalkan saya sendiri di ruang akan itu untuk menghabiskan dua batang
rokoknya yang dibuat di depan saya tadi.
Dalam hati saya berpikir, hebat juga orang ini.
Seorang perokok yang mempunya kesadaran tinggi, mempunya respek kepada orang
lain. Dengan pekerjaan sebagai supir tram dan mempunyai pemikiran seperti itu
sudah cukup untuk menjelaskan kepada saya bagaimana tingkat pendidikan
masyarakat Perancis.
Dan saya pun naik ke kamar yang disediakan
untuk saya, merapikan barang-barang saya, dan terlelap dalam dinginnya musim
dingin di Perancis.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire