jeudi 12 juillet 2012

Dari pengarahan, cocktail hingga Capitane d’Arme

Dakar,

Hari kedua di Dakar.
Kalau Dahlan Iskan pernah menuliskan catatannya pada saat menunggu keberangkatan pesawat, saya menulis catatan ini pada saat menghadiri sebuah pengarahan. Dua hari sandar di Dakar, hari pertama adalah “hari kerja” sedangkan hari kedua adalah hari pengarahan. Pengarahan dari Dubes Perancis ini laksana lagu nina bobo bagi saya. Angin jendela yang bertiup sepoi-sepoi semakin mendekatkan saya dengan yang namanya mimpi indah.
Tak mau tertidur dengan seragam kehormatan ini saya menyibukkan diri memencet tombol-tombol di Blackberry untuk menuangkan celoteh-celoteh saya. Hanya untuk sekedar kenangan pribadi, syukur-syukkur kalau bisa menginspirasi orang lain (duile !)
Kapal sandar kemarin pagi di pelabuhan umum Dakar. Dua hari rencana sandar di Dakar, pagi-pagi besok sudah tolak menuju Lisbon. Di kapal perang Perancis, waktu sandar tidak berarti bebas dari pekerjaan. Dua hari sebelum sandar biasanya sudah keluar yang namanya Perintah Harian Palaksa, sang wakil Komandan. Dalam Perintah Harian tersebut tercantum segala informasi tentang kegiatan sehari-hari selama sandar.  Dari mulai seragam yang digunakan, waktu pesiar, peringatan-peringatan saat pesiar, nomor-nomor telepon penting, sampai jenis hari dinas dicantumkan di sana.  Perintah Harian ini ditempel di tempat-tempat strategis di seluruh kapal agar dapat dilihat seluruh ABK.
Selama dua hari di Dakar ini misalnya, hari pertama diputuskan sebagai “hari kerja” dan hari kedua sebagai  “hari minggu”. Hari minggu ini maksudnya hari libur, bukan hari Minggu sesungguhnya karena hari kedua sekarang ini adalah hari Rabu. Ada lagi jenis hari lainnya yaitu “hari sabtu”.
Pada “hari kerja” seluruh personel di kapal melaksanakan kegiatan kerja seperti biasa. Kegiatannya antara lain pembuangan sampah, pembersihan, pengisian bahan bakar, pengangkutan bahan-bahan logistik hingga pengarahan-pengarahan. Pengecualian untuk Dakar, di mana pengarahan dilakukan pada saat “hari minggu”.  Pada “hari kerja” pesiar dilakukan pada pukul 16.00.
Pada “hari sabtu” kapal melakukan pekerjaan-pekerjaan selama setengah hari. Pesiar mulai pukul 13.00. Sedangkan pada “hari minggu” pesiar bebas, mulai subuh pun boleh kalau mau. Seluruh personel, termasuk Kadet, diijinkan untuk menginap di hotel selama besoknya adalah “hari minggu” dan tidak malam kapal tolak. Mereka yang hendak “tidur luar” atau istilah Perancisnya découcher harus mencatatkan alamat lengkap dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Bagi yang tidak “tidur luar” jam pulang pesiar adalah pukul 03.00 atau 01.00 bagi yang jaga keesokan harinya.
Kegiatan lain yang selalu ada selama misi Jeanne d’Arc ini adalah cocktail party. Kegiatan yang sangat tidak saya gemari karena acara tersebut sama dengan alkohol yang mana saya tidak mungkin menyentuhnya. Selain itu makanan yang disajikan hanya seujung jari. Perut saya pasti protes kalau dimasuki makanan seujung jari seperti itu.
Ada lagi yang namanya PO, kepanjangannya present obligatoire yang berarti “wajib hadir”. PO adalah para Kadet yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas-tugas khusus selama sandar, termasuk jadi penerima tamu saat cocktail party. PO ini adalah tugas biasa, namun kebanyakan merupakan hukuman. Hukuman bagi mereka-mereka yang tertangkap tidur saat jam kerja, atau makan pagi pada saat pembersihan pagi. Ada juga yang mendapat PO karena lupa mengunci lemari mereka ataupun meninggalkan laptop atau ponsel di atas tempat tidur. PO ini masih tergolong hukuman yang lebih ringan dari hukuman lainnya : cabut pesiar.
Yang tugasnya menangkap Kadet-kadet bermasalah adalah sang satpam yang bernama Capitaine d’Arme. Untungnya dia tak pernah memberikan hukuman jungkir balik yang lebih menyiksa. Namun terkadang hukuman PO dan cabut pesiar jauh lebih menyakitkan daripada jungkir balik. Nah lho…?

lundi 9 juillet 2012

Cerita telat tentang Abidjan

Dakar,

Sekarang saya sudah di Dakar setelah sebelumnya sandar di Abidjan. Sengaja tidak menulis cerita waktu di Abidjan karena memang tidak ada hal menarik untuk diceritakan.
Selama tiga hari di ibukota Negara Pantai Gading itu untuk pertama kalinya saya tidak mendapatkan salah satu barang wajib saya : magnet kulkas. Sudah mencari ke mana-mana namun tak ketemu juga barang itu. Dan setelah saya tanya kepada teman-teman saya yang lebih jauh berkelana dari saya, jawabannya sama. Magnet kulkas adalah barang langka di sini. Cinderamata andalah yang mudah ditemui adalah kerajinan kayu. Entah itu kursi kayu, hiasan dinding kayu dan barang-barang lainnya yang terbuat dari kayu.
Untuk mencapai ke pusat kota Abidjan saya harus naik taxi dari pelabuhan dengan tariff 1000 franc (Rp. 18.000). Taxi berwarna merah itu memungkinkan penumpangnya untuk merasakan panas khasnya Abidjan karena tidak tersedia pendingin mobil. Di jalanan, sejauh mata memandang, warna merah taxi mendominasi. Jumlah taxi di sana lebih banyak dari jumlah mobil pribadi.
Internet juga menjadi masalah di Abidjan. Sepertinya internet masih menjadi barang aneh. Sangat susah mencari warnet di sana. Ada satu warnet saya temukan di mall yang bernama Cap Sud. Dua lainnya saya temukan di suatu daerah berjarak 15 menit perjalanan taxi dari Cap Sud. Yang di mall koneksinya tidak memungkinkan untuk berskype ria karena yang terlihat adalah suatu gerakan lambat secara terus-menerus. Yang lainnya malah mati sama sekali karena kebetulan sedang ada gangguan koneksi. Alhasil saya harus mengubur keinginan saya untuk sekedar melihat tingkah polah anak saya. Kenyataan bahwa misi ini sebentar lagi selesai pada akhirnya cukup menenangkan saya.
Hal lain yang bisa dicatat dari Abidjan adalah banyaknya orang miskin. Kemiskinan nampaknya masih menjadi masalah nasional yang serius. Bukan hanya di sini saja, tapi di banyak tempat di Afrika. Miris hati ini ketika melihat beberapa ibu-ibu lengkap dengan anak-anaknya yang harus tidur siang tepat di depan sebuah warnet yang tutup. Terpaksa mereka berlindung di bayangan warnet tersebut dari terik matahari yang sangat menyengat.
Kalau begitu, apakah tidak ada hal menyenangkan selama saya sandar di Abidjan ? Tentunya ada. Yang pertama adalah saya bisa melaksanakan sholat Jumat. Di Pantai Gading, termasuk di Abidjan, jumlah muslim cukup banyak. Saya tidak tahu apakah Islam agama mayoritas di sana atau tidak. Yang jelas waktu sholat Jumat saya sholat di bawah tenda, di atas jalan raya yang sengaja ditutup karena masjid yang ada tidak mampu menampung jumlah jamaah yang membludak. Namun bagian jalan yang digunakan untuk sholat hanya di bagian tengahnya saja. Di kanan kiri masih boleh dilalui oleh pejalan kaki. Menarik, karena waktu sholat banyak orang berlalu lalang di sekitar saya.
Pada waktu wudlu saya harus mengantri panjang. Hal ini karena di tempat wudlu itu hanya ada satu sumber air. Air mengalir dari dinding, tidak ada kran, mengalirnya pun kecil sekali. Untuk berwudhu pun harus menampung terlebih dahulu air dari sumber tersebut di sebuah ceret kecil warna-warni. Tampaknya ceret ini sudah menjadi aksesori wajib untuk pergi ke sholat Jumat karena semua orang tampak membawa ceret tersebut. Orang yang pergi ke toilet pun harus menampung air terlebih dahulu di ceret. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi toilet dengan jumlah air yang terbatas seperti itu. Entah itu terjadi setiap hari atau hanya pada acara sholat Jumat saja. Saya yang tidak mempunyai ceret terpaksa meminjam dari seseorang yang telah selesai wudhu.
Hal kedua yang patut saya syukuri di sini adalah keberhasilan saya menemukan sebuah restoran Asia. Tak jauh dari tempat sholat tadi ada sebuah restoran Vietnam bernama Petit Budha. Selesai sholat saya langsung meluncur ke sana untuk menyantap sepiring nasi goreng. Cukup enak, total hanya mengeluarkan uang sebesar Rp. 63.000.
Demikianlah yang dapat diceritakan dari Abidjan. Pelajaran moral yang bisa dipetik adalah bahwa Indonesia jauh lebih baik. Walaupun kita belum memiliki pemain sepak bola sekaliber Didier Drogba namun tidak pernah ada orang BAB di pinggir jalan raya.
Ah, semakin rindu tanah air jadinya.

mardi 26 juin 2012

TPA di BPC Dixmude

Samudera Atlantik Utara,
Perlu diketahui, kapal BPC Dixmude ini adalah kapal termodern yang dimiliki oleh Angkatan Laut Perancis. Pelayaran kali ini pun adalah pelayaran pertamanya. Si Dixmude ini adalah si bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama bernama Mistral, si tengah bernama Tonnerre. Misi pertama tak tanggung-tanggung : keliling dunia, memutari Tanjung Harapan.
Kapal ini walau berbentuk tak segarang kapal sekelas Destroyer dan Frigate, namun memiliki taring yang tak kalah tajam. Kapal ini adalah kapal yang mempunyai kemampuan mengirimkan pasukan ke darat dari laut. Bisa lewat laut, bisa lewat udara. Total kapal jenis ini mampu mengangkut 250 pasukan pendarat lewat laut, lengkap dengan seluruh kendaraan beratnya dan mampu membawa 16 buah helikopter. Dapat dilihat di sini bahwa yang namanya Operasi Amphibi tidak melulu harus seperti katak yang harus berenang dari laut untuk mencapai daratan. Di jaman modern ini, katak pun harus bisa terbang.
Di balik kemampuannya yang sangar tersebut, kapal ini ternyata berhati mulia. Watak cinta lingkungan sudah mulai ditanamkan oleh para perancangnya sejak masih dalam kandungan. Kapal ini sejak dilahirkan sudah berprinsip sebagai Le bâtiment vert (kapal hijau). Di dalamnya dilengkapi dengan sistem pengolahan « air abu-abu » dan « air hitam ». Air abu-abu adalah air buangan kamar mandi dan cucian, sedangkan air hitam adalah buangan WC. Sistem tersebut memungkinkan air-air tersebut dibuang ke laut dengan tidak akan mencemari lingkungan.
Selain itu kapal ini dilengkapi juga dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Bentuknya tentu tidak seseram TPA di kawasan Sukolilo. Letaknya di geladak 3 dan geladak 5. Kalau sedang melewatinya yang di geladak 3 baunya mengingatkan saya akan bau TPA di kawasan Gelora Bung Tomo kalau sedang bersepeda di sana.
TPA itu, di sini disebut incinerateur, berisikan beberapa mesin penggiling. Ada mesin penggiling kertas, ada juga mesin pemecah beling. Di samping itu dapat dilihat adanya mesin pemadat kaleng. Di bagian lain di TPA tersebut juga terdapat sebuah gudang.
Di kapal ini, sampah dibedakan jadi empat macam : sampah kertas, plastik, beling, dan sisa makanan. Di ruang makan, setelah makan kami harus membersihkan diri piring makanan kami dari sisa-sisa makanan sebelum dimasukkan ke dalam mesin pencuci. Tempat sampahnya ada tiga macam : khusus kertas, plastik, dan sisa makanan. Untuk aluminium atau beling disediakan sebuah kotak tersendiri.
Dari sana sisa makanan bisa langsung dimasukkan ke incinerateur ke-2 yang terdapat di geladak 5. Di TPA tersebut sisa makanan tersebut diblender sedemikian rupa untuk kemudian diberikan ke makhluk penghuni lautan. Benar-benar kapal yang baik, bukan ? Walaupun kapal perang masih memikirkan nasib ikan-ikan di lautan. Namun pembuangan tersebut tidak boleh dilakukan dalam jarak kurang dari 23 kilometer dari daratan.
TPA utama yang terletak di geladak 3 mempunyai misi yang tak kalah pentingnya. Kalau TPA nomor 2 kliennya hanya dari ruang makan, TPA yang ini kliennya dari seluruh kamar-kamar dan ruangan-ruangan di seluruh kapal. TPA ini buka setiap hari pada jam 8.30 sampai jam 9 pagi. Pada saat itulah ramai orang datang untuk menyetor sampah-sampah yang mereka punyai. Jika berkunjung ke sana pada jam segitu baunya sungguh luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan orang yang bertugas di situ. Mungkin syaraf pembaunya sudah kebal dengan bau-bauan seperti itu.
Di setiap kamar dan ruangan disediakan tempat sampah. Sampah-sampah tersebut kalau sudah penuh muaranya ya ke TPA tersebut. Siapa yang bertugas membawa sampah tersebut ? Biasanya adalah orang yang menjadi penanggung jawab kebersihan di ruangan tersebut. Karena sektor pembersihan saya ada di kelas yang tidak ada tempat sampahnya, saya hanya pernah satu kali saja berkunjung ke TPA tersebut. Itu pun pada saat hari pemeriksaan kebersihan yang dilaksanakan oleh Komandan kapal, di mana kami satu kamar bekerja bersama-sama dan kebetulan saya apes mendapat kehormatan untuk membuang sampah tersebut.
Sesampai di TPA tidak serta merta plastik sampah dari kamar kita tinggalkan begitu saja. Sampah-sampah tersebut menjadi satu dalam plastik karena hanya ada satu tempat sampah saja. Hal itulah yang berat. Karena saya harus memilihi satu per satu sampah tersebut untuk dimasukkan ke kastanya masing-masing. Yang merasa berkasta kertas atau karton harus rela dipisahkan dari mereka yang berkasta plastik, beling, kaleng ataupun sisa makanan.
Setelah dipilihi, oleh sang petugas, sampah-sampah tadi ditangani dengan cara masing-masing. Untuk sampah berjenis kertas dimasukkan ke dalam alat penggiling kertas. Setelah tergiling, gilingan kertas tadi akan disimpan untuk ditangani lebih lanjut saat tiba di pelabuhan tempat bersandar. Tentunya untuk didaur ulang. Untuk yang beling akan dimasukkan ke dalam mesin penggiling beling, yang setelah menjadi pecahan kecil-kecil akan dibuang ke laut. Sedangkan untuk yang berjenis kaleng akan dimasukkan ke dalam mesin pemadat kaleng untuk nantinya dibawa ke pelabuhan berikutnya untuk didaur ulang.
Sebenarnya ada dua jenis sampah lagi yang tidak dapat diakomodasi oleh TPA tersebut. Mereka adalah lampu bekas dan baterei bekas. Untuk sampah-sampah jenis tersebut tidak diakomodasikan dalam TPA melainkan harus diserahkan kepada tukang listrik di kapal.
Dari sini saya baru tahu kenapa warna laut di dermaga pelabuhan di kota Toulon berbeda dengan warna laut di Tanjung Priok. Begitu juga dengan warna laut di pelabuhan Fremantle yang juga pernah saya kunjungi. Bahkan di Fremantle tersebut tak jarang saya melihat lumba-lumba dengan gembiranya bermain-main di dermaga. Seakan tak takut oleh kehadiran kita di dekatnya.
Bukankah seharusnya kita sebagai Negara muslim terbesar di dunia harus bisa seperti itu. Karena sejak kecil sudah dipatrikan di diri kita bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Ataukah justru karena watak kita yang tidak resikan hingga membuat kita harus didoktrin dengan jargon tersebut dari kecil ?
Hanya kita sendiri yang tahu jawabannya.

mercredi 13 juin 2012

Rio de Janeiro 3 - Maracana


Rio de Janeiro,

Hari itu hari Kamis, 7 Juni 2012. Bangun pagi perut ini masih terasa penuh hasil dari Porçao kemarin malam. Pukul 7 pagi langsung mandi dan sarapan untuk mengejar waktu. Hari itu rencana saya pergi ke objek wisata yang paling sering dikunjungi turis di Rio de Janeiro, Patung Kristus Sang Penebus. Patung ini terletak di bukit Corcovado yang berarti Punuk Unta, karena memang bentuk gunungnya seperti punuk unta kalau dilihat dari jauh. Untuk pergi ke sana saya berencana mencoba Metro dengan tidak lupa membawa semua catatan yang saya punya dari Bruno, Perwira Brasil yang saya temui di Georges Leygues.

Tak lama setelah keluar dari pelabuhan, di Avenida Rio Branco, terlihat sosok bertubuh gemuk menyapa saya dari kejauhan. Ah, ternyata Bruno. Kami pun kembali berjumpa. Dia baru selesai turun jaga dan sekarang hendak pulang,rumahnya di daerah Copacabana. Hari Kamis itu hari libur bagi umat Katholik. Dia pun menawarkan kepada saya untuk pergi bersama dia karena kebetulan satu jurusan dengan tujuannya. Sebuah kebetulan yang tidak disangka-sangka. Berjalanlah kami berdua ke stasiun Metro Uruguaiana.

Pada hari normal terdapat tiga buah akses masuk ke stasiun itu. Berhubung hari itu hari libur, hanya satu pintu yang terbuka. Yang terlihat sepanjang akses di sana adalah kotor, sampah dan genangan air berserakan di banyak tempat. Tampaknya masalah kebersihan masih menjadi problem yang serius di Rio de Janeiro.

Metro di Rio de Janeiro bernama MetroRio. Terdapat dua buah jalur utama, Zona Nord (Daerah Utara) dan Zona Sul (Daerah Selatan) yang menghubungkan sekitar 36 stasiun, baik yang berada di dalam tanah maupun yang berada di darat. Di Metro Rio terdapat juga akses terusan dengan trem, bis dalam kota, maupun bis antarkota. Untuk tarif, sekali jalan kita harus membayar 3,20 reals dan 4,15 reals untuk terusan bis dalam kota yang disebut “integrações”. Untuk saya yang hendak pergi ke Corcovado, saya harus membeli tiket “integrações” yang berbentuk kartu magnetik berwarna ungu.

Bersama Bruno saya masuk ke lintasan metro setelah sebelumnya menggesek kartu magnetik saya. Tidak seperti di Paris yang bisa menerobos, di Rio setiap pintu masuk Metro pasti ada seorang petugas keamanan. Jadi seluruh penumpang harus benar-benar memiliki tiket. Setelah kurang lebih 5 menit menunggu, datanglah Metro kami. Dari Uruguaiana kami mengambil linha 1 Zona Sul, saya akan turun di stasiun Largo do Machado sedangkan Bruno lanjut hingga Copacabana. Sesampainya kami di Largo do Machado kami pun berpisah. Saya keluar dari stasiun dan menuju ke tempat pemberhentian bus. Di sana saya akan mengambil bis dalam kota “integrações” dengan tujuan Cosme Velho. Sewaktu naik bis kartu magnetik “integrações” saya serahkan kepada supir bis.

Kurang lebih 15 menit dari Largo do Machado, tibalah saya di tempat tujuan. Untuk naik ke Patung Kristus harus dengan menggunakan trem. Tempat naik trem itu persis di seberang tempat pemberhentian bis saya. Praktis.

Saat itu cuaca cukup mendung, dan saya segera ke loket pembelian tiket trem. Namun pihak penjualnya memperingatkan saya bahwa di atas cuaca berawan sehingga tidak akan kelihatan apa-apa. Begitu saya melihat ke puncak Corcovado, benar katanya, patung Kristus tertutup oleh awan tebal. Akhirnya saya membatalkan kunjungan saya dan akan kembali tatkala cuaca bagus. Satu hal kesalahan saya adalah tidak mengakses ramalan cuaca lewat internet. Setelah saya lihat, selama hari Kamis, Jumat dan Sabtu cuaca jelek, peluang hujan 70 persen. Hanya hari Minggu cuaca bagus, mungkin saya akan kembali pada hari Minggu.

Karena hari masih pagi, saya berencana untuk mengunjungi stadion Mario Filho atau lebih dikenal dengan Stadion Maracana. Dari Corcovado saya naik bis yang sama menuju ke stasiun Metro Largo do Machado dengan membeli tiket terusan “integrações”. Karena membelinya di sopir bis, bukan kartu magnetik yang saya dapatkan, melainkan sebuah karcis mirip di Paris yang bisa digunakan untuk mengakses Metro. Sampai di Largo do Machado saya naik Metro mengambil Linha 1 jurusan Saens Pena. Kemudian turun di stasiun Estácio untuk kemudian oper Metro linha 2 dengan tujuan Maracana.

Keluar stasiun Maracana, terlihat Stadion kebanggaan warga Rio de Janeiro itu. Salah satu stadion yang akan menjadi tuan rumah perhelatan Piala Dunia 2014 tersebut sedang berbenah. Tampak dari luar proses renovasi dilakukan di stadion yang pernah menjadi saksi terjadinya gol ke-1000nya Pele.

Akhirnya saya hanya bisa mengunjungi museum, yang terletak tepat di samping stadion. Setelah membayar 20 reals, masuklah ke dalam museum tersebut. Museum ini terdiri dari 4 lantai. Lantai 1 berupa loket pembelian tiket, lantai 2 hall of fame, lantai 3 tempat penjualan souvenir dan lantai 4 tempat jejak-jejak kaki pesepak bola Brasil. Selain pesepak bola Brasil macam Pele, Zico, Romario, Ronaldo, Kaka, hingga Marta, terdapat juga jejak kaki Franz Beckenbauer dari Jerman dan juga Eusebio dari Portugal. Dengan melihat jejak-jejak kaki mereka secara langsung terlihat bahwa Brasil ini adalah sebuah negara dengan talenta sepak bola yang tak pernah habis, hilang satu, tumbuh yang lain.

Puas mengunjungi museum dan berfoto-foto berarti selesai sudah petualangan hari ini. Dengan diiringi hujan rintik-rintik kembalilah saya ke kapal, karena sungguh, suasana hujan membuat hari-hari di Rio menjadi suram. Kali ini saya mencoba untuk mencoba moda transportasi lainnya, bis kota. Dengan bantuan Google Maps, saya dapat mengetahui bis apa yang harus saya naiki, di mana tempat menunggunya dan berapa lama perkiraan waktu perjalanan. Untuk bis di Rio de Janeiro dipatok tarif 2,75 reals, dan 2,85 untuk bis berAC. Sesampai di kapal, lanjut makan malam dan menyusun rencana jalan-jalan untuk esok hari.

-bersambung…-







Rio de Janeiro 2 - Di Restoran Barbeque


Rio de Janeiro,

Hari ke-2 di Rio masih merupakan hari kerja buat kami. Namun untuk siswa seperti saya, tidak ada acara khusus yang harus dilakukan. Hanya apel pagi yang harus saya hadiri di Dixmude, setelah itu bebas, menunggu jam pesiar. Namun bagi kru kapal, hari itu adalah hari sibuk. Terlihat oleh saya para kru sibuk melaksanakan corvée, yaitu gotong royong, memasukkan bahan-bahan logistik yang akan digunakan untuk pelayaran etape selanjutnya. Terlihat juga tank-tank Marinir Brasil sudah berjajar di dermaga, siap melaksanakan embarkasi di BPC Dixmude. Memang akan dilaksanakan latihan bersama selama 3 hari antara Angkatan Laut Perancis dan Brasil, lengkap dengan operasi pendaratannya. Hal ini sebagai salah satu bentuk promosi kepada Angkatan Laut Brasil yang berencana untuk membangun beberapa unit BPC / LHD (Landing Helicopter Dock).

Siang itu saya kembali bertemu dengan perwira Brasil yang saya temui di hari sebelumnya. Namanya Bruno, dan dia adalah seorang pengawak kapal selam. Kembali saya bertanya kepadanya tentang akses transportasi ke tempat-tempat tujuan wisata. Dan dia pun menjelaskan kepada saya dengan gamblang. Tak jarang pula dia menuliskan pertanyaan-pertanyaan penting dalam Bahasa Portugal yang dapat saya gunakan sewaktu-waktu, sebagai jaga-jaga kalau saya mengalami kesulitan di perjalanan. Tak lupa saya bertanya kepadanya tempat di mana saya bisa membeli sebuah Brevet Kapal Permukaan. Dan dengan baik hati, dia mengantar saya ke toko penjualan aksesoris militer yang terletak tak jauh dari pelabuhan. Di sana saya membeli barang yang saya cari. Hal ini sedapat mungkin saya lakukan karena saya mengoleksi Brevet Kapal Permukaan dari Angkatan Laut asing. Sejauh ini saya sudah punya India, Malaysia, Philiphina,Uni Emirat Arab, Perancis dan sekarang Brasil. Satu negara yang saya lewati adalah Afrika Selatan dikarenakan barang tersebut tidak dijual bebas.

Malamnya ada acara makan malam bersama satu angkatan. Rencana makan malam dilaksanakan di sebuah restoran bernama Porçao yang terletak di bilangan Botafogo. Di sini saya tergabung dengan angkatan 2009. Artinya teman-teman saya masuk Akademi Angkatan Laut Perancis tahun 2009. Hal yang menarik mengingat kalau di Indonesia, dalam sebuah Akademi Militer, tahun angkatan disebut berdasarkan tahun keluarnya. 

Pukul 20.00 saya sudah berkumpul di depan BPC Dixmude yang sandar di belakan Georges Leygues. Di dermaga saya menunggu teman-teman yang lainnya untuk berangkat bersama-sama dengan menggunakan taksi. Setelah berkumpul semua, dengan jumlah tak kurang dari 20 orang, berangkatlah kami ke Avenida Rio Branco untuk mencari taksi. Tempatnya ternyata tak begitu jauh dari pelabuhan, kurang lebih 15 menit perjalanan dengan biaya taksi sebesar 18 reals.

Sampai di restoran Porçao, saya pun mengambil tempat, saya duduk di sebelah teman saya Joao dari Brasil. Di sana sudah dipersiapkan sebuah ruangan untuk kurang lebih 100 orang. Di tiap meja tersedia sebuah kertas berbentuk lingkaran yang bertuliskan di dua sisi. Satu sisi berwarna hijau dengan tulisan YES, sisi yang lain berwarna merah bertuliskan NO. Hal ini dimaksudkan agar pelayan yang nantinya menyajikan makanan tahu kalau kita ingin tambah atau tidak. Setelah sedikit pembukaan dari Sang Ketua Angkatan, Joao mengajak saya untuk segera memulai mengambil makanan. Ternyata Porçao ini model restoran all you can eat. Dan untungnya sebelum berangkat saya tidak makan di kapal, sengaja mengosongkan perut untuk menghadapi malam yang panjang di Porçao.

Babak pertama pun dimulai, saya pun mengambil beraneka macam makanan yang tersaji. Ada salad, masakan jepang, masakan brasil, nasi, dan sebagainya. Setelah piring saya penuhi, saya kembali ke meja saya untuk menyantapnya. Rasanya bagi saya tidak terlalu nikmat. Menurut saya cenderung masam, mungkin seperti itu rasa masakan di Brasil.

Setelah habis piring pertama saya hendak beranjak untuk memilih makanan yang lain, namun tiba-tiba datang seorang pelayan membawa seonggok daging barbeque. Karena kertas lingkaran yang ada di saya pada posisi hijau maka dia pun menghampiri meja saya dan mengiris beberapa iris daging panggang ke piring saya. Dan setelah itu, secara terus menerus, datang berbagai jenis daging-daging barbeque lainnya. Dari sini saya baru paham, kalau makanan yang saya ambil pertama kali tadi adalah appetizer. Dan restoran ini adalah restoran barbeque, di mana menu utamanya adalah segala macam daging yang sudah dipanggang.

Setelah daging sapi yang pertama, silih berganti datang daging ayam, daging kambing, daging rusa, daging burung onta, jeroan ayam, dan daging-daging yang lainnya termasuk daging babi yang tidak saya makan. Seluruh daging yang disajikan kualitas nomor satu, sangat empuk dan sangat enak dimakan. Sungguh, tidak akan menyesal datang ke restoran ini. Yang saya sesalkan hanya satu : kenapa siang tadi saya sempat makan siang… Karena, terbukti saya tidak dapat menikmati seluruh hidangan yang disajikan.

Setelah kurang lebih dua jam kami menikmati seluruh hidangan, datanglah hidangan penutup. Yang ini tidak sepuasnya, masing-masing orang hanya mendapat segelas besar es krim. 

Setelah itu kembali ke kapal, mempersiapkan diri untuk berkunjung ke Corcovado keesokan harinya. Pastinya tidur malam itu sangat nyenyak, hasil dari makan-makan di Porçao, sebuah restoran yang recommended.

-bersambung….-

Rio de Janeiro 1 - Blackberry dan Google Maps


Rio de Janeiro,

Pagi itu, pukul 8.00 waktu Brasil saya sudah berjejer dengan rapi, dengan seragam putih-putih, melaksanakan Peran Parade di geladak helicopter Frigate Georges Leygues. Tak lama lagi saya akan dapat menginjakkan kaki di Benua Amerika untuk pertama kalinya. Kapal melaju dengan tenang sepanjang alur masuk Rio de Janeiro. Di belakang kami tampak Dixmude, dengan badan besarnya, mencoba mengikuti tikas kami pada jarak kurang lebih 2 mil laut. Sepanjang perjalanan di alur tampak oleh mata saya sebuah gunung indah yang orang menyebutnya Sugar Loaf. Tak jauh di sebelahnya tampak pula patung Kristus yang merupakan satu dari tujuh keajaiban dunia yang baru, kokok berdiri di bukit Corcovado.

Sekitar satu jam perjalanan kami pun tiba di pelabuhan yang telah disiapkan dan bersandar dengan mulus. Suasana pagi itu cukup terik hingga saya pun berkeringat, hal yang jarang saya alami sewaktu onboard di kapal yang ber-AC. Dan, sejarah pun mencatat, pada hari itu, hari Selasa tanggal 5 Juni 2012, saya telah menginjakkan kaki di Benua Amerika. Lengkap sudah lima benua sudah pernah saya rasakan.

Hari itu dan hari besoknya adalah hari kerja buat kami. Dua pengarahan dan satu cocktail party mengisi hari pertama saya di Rio de Janeiro. Dengan dua hari kerja, praktis kami mempunyai empat hari libur yang bisa digunakan untuk menikmati kota yang cantik ini.

Buat saya, waktu-waktu pesiar di negara asing akan terasa menyenangkan jika dua hal terpenuhi : Blackberry aktif dan akses transportasi mudah. Oleh karena itu hari pertama saya segera mencari tempat penjualan kartu sim TIM yang menyediakan layanan internet Blackberry. Dengan bertanya ke seorang Perwira Brasil yang menjadi Perwira Penghubung buat Georges Leygues, meluncurlah saya ke stasiun Metro Uruguaiana. Beruntung bagi saya, pelabuhan tempat kami sandar berada tak jauh dari pusat kota yang disebut Centro. Hanya perlu berjalan selama 10 menit sampailah saya ke stasiun metro Uruguaiana dan membeli sebuah kartu perdana TIM seharga 5 reals. Begitu saya pasang ternyata layanan Blackberry secara otomatis terpasang. Cukup memudahkan.

Tapi, itu semua hanya berlangsung selama satu hari. Setelah itu layanan Blackberry tidak bisa diakses dikarenakan simcardnya harus diaktifkan. Bagi wisatawan mancanegara seperti saya, untuk mengaktifkan harus pergi ke kantor layanan TIM yang terletak di daerah Copacabana. Namun, saya meminta tolong Joao teman saya untuk mengaktifkan kartu saya dengan menggunakan nomor CPF miliknya. Nomor CPF adalah semacam nomor kependudukan di Brasil. Cara mengaktifkan cukup mudah, tekan sembarang nomor, masukkan nomor CPF dan tunggu beberapa menit. Setelah itu kartu TIM kita bisa diisi ulang dan untuk mengaktifkan layanan Blackberry dengan cara kirim sms bertuliskan ilimitado ke 8080. Tarifnya 1 real per hari.  

Setelah Blackberry aktif, secara otomatis saya dapat mengakses aplikasi Google Maps. Google Maps adalah senjata utama saya sewaktu bepergian. Karena dengan aplikasi tersebut kita dapat mengetahui bis atau metro apa yang harus kita ambil untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal tersebut sudah saya praktekkan di New Delhi dan Cape Town. Dan hal tersebut menjadi sangat penting di Rio, di mana tidak semua orang berbahasa Inggris, yang tentunya menyulitkan kita untuk bertanya.

Dan, dengan tersedianya layanan Blackberry, dengan mudah saya dapat menyusun jadwal kunjungan yang wajib saya lakukan : Sugar Loaf, Corcovado, stadion Maracana dan pantai Copacabana.

-bersambung….-

lundi 4 juin 2012

Dari waktu ke waktu

Samudera Atlantik Selatan,


Selama pelayaran dalam Mission Jeanne d’Arc ini saya beruntung mendapat kesempatan untuk mengunjungi kota-kota yang mana saya belum pernah melihatnya sebelumnya. Selama itu pula saya melakukan pelayaran ke timur, ke barat, ke selatan dan ke utara. Layaknya kalau kita bepergian dengan pesawat terbang, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain yang cukup jauh, tentunya kita mengalami perubahan zona waktu. Jika kita bepergian dengan pesawat, perubahan waktu tersebut kita laksanakan ketika hendak mendarat pada saat diumumkan melalui pengumuman pesawat terbang. Sedangkan pada saat bepergian dengan mobil kita melaksanakannya pada saat melintas daerah tertentu karena pada saat di darat batasnya jelas. Bagaimanakah kalau di laut  ? Bagi orang yang tidak bepergian dengan kapal laut, pertanyaan ini sungguh menarik. Karena media transportasi kapal tidak secepat pesawat terbang dan di laut tidak memiliki batas seperti di darat.

Selama di kapal, khususnya di kapal perang, perubahan waktu biasanya ditentukan oleh Sang Komandan. Perubahan waktu di laut sangat penting karena menyangkut kerealistisan dan penentuan jam jaga. Bayangkan jika kita selama periode pelayaran mendapat jatah jaga jam 8 s.d. 12 siang dan kita melaksanakan pelayaran ke barat yang cukup jauh, dari Cape Town ke Rio de Janeiro yang ditempuh dalam waktu 15 hari. Pada awal jaga jam 8 itu pagi. Kalau tidak diadakan pergantian waktu selama perjalanan, pada saat di Rio jam 8 pagi itu masih gelap seperti jam 4 pagi. Masalah realistis tidak realistisnya, tentunya kita tidak mau beranjak tidur malam di saat matahari baru terbenam, ataupun melaksanakan apel pagi mulai kerja pada jam 5 pagi.

Selama misi Jeanne d’Arc ini, yang diikuti oleh dua kapal, perubahan waktu dilaksanakan secara bersama-sama. Siapa yang menentukan  ? Tentunya Dansatgas, dalam hal ini Komandan BPC Dixmude, karena dia lebih senior. Atau kalau bukan dia, yang menentukan adalah salah satu perwira Dixmude yang mendapat mandat dari Komandan. Dan rencana perubahan waktu ini ditegaskan dalam SOE (Schedule of Event) harian, yang diterima oleh masing-masing kapal dan diumumkan dalam briefing harian dua hari sebelumnya. Briefing harian dilaksanakan setiap hari jam 18.15 waktu lokal.

Yang menarik, perubahan waktu tersebut dilaksanakan pada saat malam hari, di saat semua orang tidak sedang beraktivitas. Biasanya dilaksanakan pada pukul 4 pagi, yang akan menjadi pukul 5 pagi kalau kita berlayar ke timur, atau pukul 3 pagi kalau kita berlayar ke barat. Perubahan waktu ini tanpa didahului oleh pencocokan waktu dan hanya dituangkan dalam feuille de service, atau lembaran rencana kegiatan harian, yang di TNI AL disebut PHST.

Di lingkungan internasional pun kita mengenal penyebutan zona waktu dengan huruf, dari A (Alfa), B (Bravo) dan seterusnya. Selama pelayaran ini saya memulai dari zona waktu A atau GMT + 1 pada saat saya berada di Toulon, Perancis. Setelah itu kami berlayar ke timur yang artinya matahari semakin cepat terbit dan semakin cepat terbenam pula, sehingga waktu harus dimajukan. Tujuan berikutnya adalah Beirut yang berzona waktu B (GMT + 2). Dari Beirut, tali-tali kami lepas untuk melanjutkan perjalanan ke timur menuju Djibouti yang berzona waktu GMT + 3, setelah melintas Terusan Suez dan laut Merah. Setelah itu menuju ke Mombassa, Kenya hingga akhirnya menuju ke La Reunion, salah satu wilayah teritorial Perancis di Samudera Hindia yang berzona waktu D (Delta). La Reunion adalah tempat paling timur dalam misi ini. Yang berarti pelayaran selanjutnya adalah ke barat dan terus ke barat.

Dari La Reunion kami menuju ke Cape Town, ujung paling selatan benua Afrika yang berzona waktu Bravo. Kalau GMT + 1 kita sebut Alfa, GMT + 2 adalah Bravo, Jakarta yang GMT + 7 masuk dalam zona waktu G (Golf). Pertanyaan selanjutnya, disebut apakah GMT (Greenwich Mean Time) ? Jawabannya adalah zona waktu Z (Zulu). Zona waktu Zulu inilah yang digunakan oleh tentara sekutu yang tergabung dalam NATO pada saat melaksanakan operasi. Hal ini untuk memberikan kepastian dan menghilangkan kebingungan, karena mereka bekerja dengan pesawat-pesawat tempur yang dalam hitungan menit sudah mungkin untuk berganti-ganti zona waktu.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana menyebut zona waktu GMT – 1, GMT – 2, dan seterusnya ? Hal ini terus terang belum pernah saya alami sebelumnya. Pelayaran paling jauh saya adalah dari Amsterdam menuju ke Surabaya, di mana Amsterdam berzona waktu Alfa. Dan ketika saya melintas Samudera Atlantik Selatan, pertama kalinya pula saya berada dalam zona waktu yang berbeda 7 jam dari Surabaya. Yah, akhirnya saya mengalami berada di zona waktu Zulu. Setelah itu kami terus melanjutkan perjalanan ke barat dan akhirnya betul-betul berada di zona waktu GMT – 1 yang disebut N (November).

Kenapa November dan bukan Y (Yankee) karena sebelum Zulu harusnya Yankee. Ternyata jawabannya adalah karena zona waktu terjauh di timur GMT adalah GMT + 13, yang kalau di Blacberry maupun di Windows bertempat di Nuku’alofa, yang berzona waktu M (Mike). Setelah itu, penamaan zona waktu dilanjutkan dengan November di GMT – 1, Papa untuk wilayah Rio de Janeiro pada GMT – 3, dan Sierra di zona waktu Central America GMT – 6. Praktis pada saat di Rio de Janeiro nanti, selisih waktu saya dengan  Surabaya adalah 10 jam.

Hal-hal menarik berkaitan dengan perubahan waktu di kapal adalah masalah untung-rugi jaga. Kenapa begitu ? Karena waktu jaga bisa menjadi lebih panjang atau lebih pendek satu jam. Kalau kita berlayar ke timur, tentunya menjadi untung kalau perubahan waktu dilaksanakan di masa jaga kita karena waktu menjadi semakin cepat. Sebagai contoh kita jaga pada jam 8 sampai jam 12 pagi di zona waktu Zulu. Kemudian kita melaksanakan perubahan waktu pada pukul 11 Zulu yang kemudian menjadi 12 Alfa. Jadi total jaga hanya tiga jam.

Hal sebaliknya terjadi bila kita berlayar ke arah barat. Jam jaga yang seharusnya 4 jam bisa molor hingga 5 jam. Dan itu bisa jadi membuat gondok seseorang, utamanya kalau jaga larut malam dari tengah malam hingga jam 4 pagi. Untuk menyiasatinya, kelebihan waktu satu jam tadi dibagi dua oleh jaga lama dan jaga baru. Jadi masing-masing melaksanakan jaga selama 4 setengah jam. Cukup adil.

dimanche 27 mai 2012

Melintas bujur 0 derajat


Samudera Atlantik Selatan,

Malam itu saya mendapat tugas jaga anjungan jam 20.00 sampai tengah malam. Di Angkatan Laut Perancis, jadwal jaganya tidak seperti di Indonesia yang rata 4 jam-an, yaitu jam 8 – 12, jam 12 – 4, dan jam 4 – 8. Di Perancis, jadwal  jaganya adalah 0800 – 1200, 1200 – 1400, 1400 – 1800, 1800 – 2000, 2000 – 2400, 0000 – 0400, dan 0400 – 0800. Terdapat dua kali Dogwatch (jam jaga selama dua jam), yang berada pada jam makan siang dan jam makan malam. Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada personel untuk makan dan agar tidak ada yang meninggalkan penjagaan hanya untuk alasan makan.

Malam itu, selesai makan malam, saya sudah nongkrong di Ruang Jaga Mesin untuk menunggu Paga Anjungan yang akan jaga dengan saya. Memang sudah menjadi kewajiban bagi seluruh Paga di kapal perang Perancis untuk melaksanakan sedikit kunjungan ke Ruang Jaga Mesin, Ruang Kom dan PIT, sebagai referensi untuk masa penjagaan yang akan dilaksanakannya. Pukul 19.55 Sang Perwira Jaga datang ke ruang Jaga Mesin. Kami mendapat penjelasan dari Paga Mesin yang telah menempati penjagaan pada pukul 19.45 tentang kondisi peralatan-peralatan yang sedang beroperasi, mesin, DG, rencana perbaikan 4 jam ke depan dan lain-lainnya. Setelah puas mendapat penjelasan dari Paga Mesin, kami pun meluncur ke ruang Kom yang di sini disebut PC Telec.

Di PC Telec kami mendapat penjelasan dari jaga kom tentang situasi komunikasi yang sedang dilaksanakan, jaring komunikasi dengan Dixmude, berita-berita yang masuk, kondisi antena, dan lain sebagainya. Seperti di kapal perang mana saja, ruang kom di Georges Leygues juga tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Hanya personel Divisi Komunikasi, Kadepops dan Komandan yang berhak masuk ke PC Telec. Maklum, karena Ruang Komunikasi adalah mulut dan telinga sebuah kapal perang manapun. Di sini seluruh lalu lintas berita yang sifatnya rahasia berlangsung. Puas berkunjung, kami pun melanjutkan ke tempat selanjutnya, PIT.

Pusat Infomasi Tempur, disingkat PIT, di Perancis namanya CO (Central Opération). Di sana kami menemui Paga PIT yang telah menempati penjagaan pada pukul 19.45. Di PIT kami mendapat penjelasan tentang latihan-latihan yang sedang dan akan dilaksanakan, posisi Gugus Tugas, situasi senjata, situasi derajat kesiagaan dan hal-hal lain yang berbau peperangan, termasuk peralatan-peralatan Radar, ESM yang sedang beroperasi.

Selesai dari PIT kami menuju ke anjungan, tempat saya berdiri selama 4 jam ke depan. Gelap kondisi pada saat itu, sesuatu yang normal karena cahaya dari anjungan dapat memantul dari kaca, yang mana akan menghalangi pandangan kita ke luar. Di sana seluruh personel jaga baru sudah menempati posisi pada pukul 19.45, hanya tinggal Paga Anjungan yang memang melaksanakan serah terima pada pukul 20.15. Personel jaga anjungan hanya terdapat satu orang kemudi, satu orang jaga throttle mesin, satu asisten Paga, dan dua orang pengawas yang berada di geladak isyarat. Praktis dan tidak banyak orang.

Setelah melaksanakan serah terima, kendali anjungan pun berada di pundak saya. Segala macam keselamatan yang berkaitan dengan navigasi menjadi tugas saya sebagai Paga Anjungan pada saat itu. Saat Paga Anjungan yang asli mengisi jurnal anjungan, saya pun member briefing kepada pengawas, jaga mesin dan PIT tentang kegiatan ke depan yang akan kami lalui selama penjagaan. Berbicara mengenai jurnal Paga,  pada saat kapal berlayar Paga Anjungan harus mengisi dua buah jurnal, jurnal navigasi dan jurnal geladak. Paga wajib mengisi sendiri dua jurnal tersebut pada awal dan akhir penjagaan. Di tengah-tengah penjagaan dilaksanakan oleh asisten paga. Bintara asisten Paga di sini tugasnya banyak sekali, mulai dari mengisi jurnal, siaran kapal, melaksanakan komunikasi taktis, pengibaran bendera, hingga isyarat lampu kalau diperlukan.  Beruntung dia tidak harus mengeplot posisi kapal di peta karena sudah menggunakan peta elektronik.

Malam itu kebetulan dilaksanakan latihan Manuver Pembekalan di Laut, yang mana kapal saya Georges Leygues bertindak sebagai kapal pemberi. Pembekalan di Laut atau dalam bahasa Inggrisnya Replenishment at Sea (RAS) adalah sebuah operasi yang dilaksanakan oleh dua buah kapal perang atau lebih, untuk melaksanakan transfer bahan bakar ataupun barang-barang lainnya dalam kondisi sedang berlayar di laut. Hal ini dilaksanakan untuk menambah endurance masa operasi kapal di laut. Karena biasanya kapal-kapal jenis frigate mempunyai daya tahan di laut selama 14 hari, sehingga apabila diperintahkan untuk berlayar selama satu bulan di laut dibutuhkan penambahan bahan bakar. Kapal pemberi bahan bakar biasanya adalah kapal jenis pengangkut bahan bakar, yang mempunyai kapasitas tangki bahan bakar sangat besar.

Malam itu kami hanya melaksanakan latihan pendekatan saja, yang mana kedua kapal diharuskan untuk berjalan beriringan dengan jarak cukup dekat, sejauh 50 meter, selama 15 menit. Menjadi cukup kompleks karena latihan pada saat itu dilaksanakan pada saat malam hari, pada saat kondisi penglihatan tidak seratus persen. Saat itu Dixmude yang mendekati kapal saya, sedangkan saya hanya memastikan kapal saya berjalan di haluan dan kecepatan yang telah ditentukan sebelumnya. Latihan dilaksanakan lengkap dengan pengiriman tali jarak, yaitu tali yang telah ditandai dengan lampu setiap 6 meter, untuk mengetahui jarak sebenarnya di antara kedua kapal. Latihan pada malam itu berjalan selama satu jam, dan Alhamdulillah berjalan dengan aman. Latihan seperti ini dilaksanakan dua kali sehari, siang dan malam,dan manuver pendekatan dilaksanakan secara bergantian oleh para Kadet, dengan didampingi oleh Perwira Navigasi tentunya. Komandan juga hadir di anjungan, untuk memastikan keamanan kapal.

Setelah selesai latihan Pembekalan di Laut, suasanan anjungan yang mendadak ramai kembali hening. Tak lama kemudian, pada pukul 22.30 Komandan kembali naik ke anjungan. Kali ini untuk menuliskan Perintah Malam. Perintah Malam Komandan dituliskan langsung oleh Komandan di Jurnal Navigasi. Setelah Komandan menuliskan Perintah Malamnya, saya pun membacanya dengan keras, untuk memastikan bahwa Perintah Malam Komandan telah dimengerti oleh Perwira Jaga anjungan. Setelah itu saya pun menghubungi PIT dan Perwira Jaga Mesin dan kembali membacakan Perintah Malam tersebut.  Setelah dimengerti dan diterima oleh kedua Paga lainnya, Komandan pun meninggalkan anjungan untuk beristirahat.

Suasana pun kembali hening, hingga tak sengaja saya melihat ke GPS. Yah, ternyata posisi saya pada saat itu berada di meridian 0 derajat. Sebuah garis maya yang menjadi patokan penentuan waktu di seluruh dunia. Lengkap sudah saya alami, berada di garis equator 0 derajat (khatulistiwa) dan sekarang di meridian 0 derajat. Kapal pun melaju dengan tenangnya di Samudera Atlantik Selatan, menuju Rio de Janeiro, yang terletak di satu-satunya benua yang belum saya singgahi, Benua Amerika.

jeudi 17 mai 2012

Menemukan harta karun di Cape Town

Cape Town,

Jauh dari tanah air, salah satu yang dirindukan seseorang adalah makanan. Seenak apapun makanan di tempat baru, pasti belum bisa mengobati kerinduan pada makanan asal tanah air. Hal ini pun terjadi pada saya, yang sudah meninggalkan tanah air tercinta kurang lebih 104 hari lamanya. Walaupun makanan yang saya makan sehari-hari boleh dibilang lebih enak dan lebih hygienis daripada makanan di rumah, tetap saja itu semua tidak bisa menggantikan nikmatnya makanan asal. Mungkin karena otak kita sejak kecil sudah terpogram bahwa sego pecel itu enak, akhirnya hal itu terpendam di alam bawah sandar kita.

Selama persinggahan saya, tidak pernah saya menjumpai ada restoran Indonesia. Paling banter yang saya jumpai adalah restoran Cina, dengan citarasa yang mendekati masakan Cina di Indonesia. Hal itulah yang selalu saya cari ketika sandar, restoran Cina. Namun ketika sandar di Beirut, saya menemukan restoran Philiphina dengan masakan khasnya : sotong asam manis. Langsung saja saya pesan menu tersebut dan saya santap tanpa pikir panjang dengan porsi nasi segunung. Di Beirut juga saya sempat membeli Indomie dalam kemasan gelas sebanyak dua kardus untuk bekal selama di kapal. Setelah itu kami singgah di Djibouti, Mombassa dan La Reunion. Di Djibouti dan La Reunion saya tidak menemukan ada supermarket yang menjual indomie. Di Mombassa saya sempat menemukan sebuah pusat perbelanjaan yang menjual indomie, tapi tidak dalam bentuk gelas. Akhirnya saya tidak jadi membelinya karena alasan kepraktisan.

Dari La Reunion, kami berlayar menuju Cape Town. Perjalanan yang panjang dari Beirut membuat stok indomie saya semakin menipis. Akhirnya saya mencoba peruntungan untuk mencari referensi tempat orang menjual indomie di Cape Town melalui internet. Setelah beberapa saat mencari dengan bantuan Mbah Google, saya temukan juga blog yang bercerita tentang tempat membeli indomie. Saya catat alamat beserta nomor teleponnya.

Pada saat berada di Cape Town saya segera mencari tempat tersebut. Sebenarnya dari pelabuhan tempat kapal saya bersandar, tempat yang dimaksud cukup jauh. Namun untungnya kami disediakan shuttle oleh pihak kapal sebagai sarana transportasi untuk menuju Water Front, sebuah kawasan keramaian di Cape Town. Pagi-pagi jam delapan pagi saya sudah berangkat naik shuttle tersebut, dan saya satu-satunya penumpang yang ada dalam mobil tersebut, karena jam 8 pagi bagi orang Perancis masih waktu shubuh.

Tempat yang dimaksud berada di daerah Sea Point, tak jauh dari Water Front. Beruntung saya pada waktu itu karena sopir shuttle tersebut bersedia mengantarkan saya hingga ke kawasan Green Point, yang notabenenya lebih dekat ke Sea Point. Dari kawasan Green Point saya mencegat sebuah bemo berbentuk minibus untuk menuju ke tempat yang saya cari. Sesampai di kawasan yang dimaksud segera saya turun dari “bemo” tersebut setelah sebelumnya membayar 4,5 rand atau sekitar 5000 rupiah.

Setelah mencari-cari dengan bertanya-tanya selama kurang lebih 15 menit, sampailah saya ke tempat yang saya cari-cari. Ternyata tempat itu berwujud sebuah toko kecil yang bernama New Asian Spice  Supermarket, beralamat di 186 Main Road, Sea Point, Cape Town. Bagi yang membutuhkan nomor teleponnya, dapat menghubungi di +27214340598. Tampaknya saya datang tepat waktu karena toko itu ternyata baru buka pukul 9 pagi. Di sana tidak menyediakan indomie kemasan gelas. Namun saya putuskan untuk membeli karena saya perkirakan akan sulit untuk menemukan indomie di Rio de Janeiro, Abidjan ataupun Dakkar. Satu bungkusnya dihargai 4 rand atau sekitar 4.400 rupiah. Sayangnya hanya tersedia dua rasa di sana, mie goreng dan kaldu ayam. Saya pun membeli sebungkus berisikan setengah goreng dan setengah sisanya kaldu ayam.

Puas membeli dan membayar saya pun bergegas kembali ke kapal untuk menyimpan harta karun saya itu. Pulangnya saya tidak menggunakan bemo yang sama dengan arah sebaliknya. Saya memilih untuk mencoba bis “Golden Arrow” yang turun tepat di depan tempat penjemputan shuttle saya.

Dari Main Road saya berjalan kaki ke Beach Road untuk menunggu di halte bis yang tersedia. Halte bisnya cukup keren dengan pemandangan ombak lautan yang berdebut kencang. Lima belas menit menunggu bisnya pun tiba. Segera saya naik dan membayar 8 rand atau sekitar 8.800 rupiah untuk menuju ke kawasan Water Front.

Mungkin ada yang penasaran bagaimana cara saya memasak mie instan di kapal ? Karena memang saya tidak dapat mengakses kompor di kapal. Beruntung saya pernah menimba ilmu selama 4 tahun di Bumi Moro. Ilmu ngecop pun saya terapkan. Dengan bantuan sebuah gelas plastik berwarna oranye, bungkus indomie tadi saya masukkan ke dalam gelas untuk kemudian disiram air panas (untungnya di kapal tersedia heater). Didiamkan selama 3 menit, siaplah indomie tersebut untuk disantap. Praktis, walaupun tidak sehat. Namun masih bisa dimaklumi karena saya dalam situasi “survival”.

Nilai moral dari cerita di atas : bangga sebagai bangsa Indonesia karena ternyata Indomie sudah melanglang buana hingga Libanon, Kenya dan terakhir Afrika Selatan.

mardi 15 mai 2012

Etape ke-5, La Reunion - Cape Town

Samudera Indonesia,
Pelayaran etape ke-5 ini bagi saya sudah mulai membosankan, atau lebih tepatnya jenuh. Kejenuhan adalah sebuah hal yang wajar dialami pada saat berlayar, terutama di periode pertengahan. Itu pula yang kerap terjadi jika berlayar di Indonesia. Dengan masa operasi rata-rata 3 bulan, rasa jenuh terasa membebani saat masuk bulan ke-2. Namun, sering kali kejenuhan itu terusir saat kita melaksanakan sandar di kota-kota tertentu.
Di EAOM ini kami berlayar selama lima bulan dengan tempat sandar sebanyak sepuluh kali, yaitu Beirut, Djibouti, Mombassa, La Reunion, Cape Town, Rio de Janeiro, Abidjan, Dakkar, Lisbon dan terakhir finish di Brest. Dan saya menulis ini pada saat pelayaran dari La Reunion ke Cape Town, yang mana kota persinggahan ke-5 yang berarti hampir setengah perjalanan sudah saya lalui.
Di etape ke-5 kelompok saya dijejali dengan pelajaran Bahasa Inggris dan juga materi pelajaran dan pelatihan VBSS (Visit, Board, Search and Seizure), yaitu pelatihan tentang apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh sebuah tim pemeriksa, hukum legalnya, latihan menembak, termasuk juga bela dirinya. Yang terakhir ini yang paling melelahkan menurut saya. Bagaimana tidak, setiap dua hari sekali kami mendapat pelatihan bela diri kunci-mengunci, dan juga banting-membanting yang membuat diri ini pegal-pegal. Yang mengesankan tentunya pada saat menembak. Mulai dari meriam kaliber 12,7 mm, shotgun, hingga pistol sudah saya rasakan selama etape ini.
Namun seperti yang saya tulis sebelumnya, berada dalam rutinitas yang sama untuk jangka waktu yang lama sangat membosankan. Sebenarnya bisa disisiati karena di sini tersedia ruang rekreasi yang berisi Wii dengan Mario Kartnya. Juga ada macam-macam permainan seperti Uno, Trivia, catur, kartu remi, monopoli, poker, dan juga dua buah rak buku penuh dengan buku-buku yang menggiurkan untuk dilahap habis. Namun, karena (kebetulan) di etape ini kami akan menghadapi sebuah Quiz yang harus dipersiapkan, rasanya lebih bijak untuk menghabiskan waktu setelah makan malam dengan duduk manis di ruang kelas.
Untuk lebih mempermudah membayangkan kegiatan kami selama pelayaran, saya akan sedikit merunut rutinitas harian yang saya lakukan selama onboard di Dixmude.
7.00, bangun pagi.
Hal pertama yang paling malas untuk dilakukan setiap hari. Empuknya kasur dan hangatnya selimut menambah berat mata ini. Untungnya satu atau setengah jam sebelumnya saya sudah bangun untuk menunaikan sholat Subuh yang membuat diri ini segar tersiram air wudhu. Bangun pagi ditandai oleh bunyi terompet dari siaran kapal, disusul dengan sepotong musik yang diputar dari anjungan selama 15 menit yang bertujuan untuk meyakinkan kepada seluruh penghuni kapal ini bahwa terompet yang didengar tadi adalah serius.
Bagaimana dengan mandi pagi ? Selama satu bulan pertama di kapal saya masih setia untuk melaksanakan ritual wajib yang ini. Tapi menginjak bulan ke-2 rasanya malas sekali untuk mandi, selain karena waktu yang sempit, juga karena kamar mandi digunakan bersama untuk enam orang, yang membuat ritual mandi menjadi tidak nyaman karena harus berbagi. Berbagi dalam arti satu orang mandi di pancuran yang dikelilingi oleh sebuah tirai, dan satu (atau beberapa) yang lain menggunakan wastafel untuk bercukur. Ahirnya, kegiatan bercukur menjadi rutinitas karena lebih praktis. Mandi pagi hanya dilaksanakan setelah kegiatan olahraga (kalau ada), sekitar jam 10.30.
7.15, sarapan.
Setelah bercukur, ganti baju, dan segera beranjak ke ruang makan yang terletak di geladak nomor 5. Kamar saya berada di geladak nomor 3, yang berarti saya harus naik 2 lantai untuk mencapai ruang makan. Menu sarapan dari mulai pertama tolak hingga hari ini adalah sama : dua potong baguette, dua buah selai, antara selai nanas atau coklat nutella, semangkok corn flake lengkap dengan susu segarnya, dan segelas jus jeruk. Kalau beruntung, kadang-kadang ada tambahan roti croissant atau roti jenis lainnya. Cukup 10 menit untuk menghabiskan sarapan.
7.30, cek email.
Rutinitas yang tidak boleh ditinggalkan dan sangat ditunggu-tunggu. Apalagi kalau bukan membaca email dari istri tercinta dengan berharap menerima kiriman foto atau video anak tercinta. Kalau masih ada waktu menyempatkan diri untuk membuka detiksport, agar tidak ketinggalan berita bola terkini. Utamanya berita yang menyangkut MU atau Real Madrid.
8.00, apel pagi.
Layaknya militer, apel pagi adalah ritual yang tidak boleh ditinggalkan. Ada dua jenis apel pagi di Dixmude : apel gabungan dan apel divisi. Apel gabungan hanya dilaksanakan kalau ada informasi penting yang harus disampaikan kepada seluruh personel. Apel gabungan ini dilaksanakan di HVS (Hangar Vehicule Supérieur/ Hangar Kendaraan Atas) yang terletak di geladak 5. Kebanyakan apel dilaksanakan per divisi, yang dilaksanakan di sektor masing-masing. Periode ini saya berada di Divisi MB yang melaksanakan apel di geladak nomor 2. Yang menarik dalam apel di Angkatan Laut Perancis adalah adanya tradisi jabat tangan sebelum apel. Layaknya idul fitri, seluruh personel di Divisi berjajar dan menerima jabat tangan dari mereka yang baru dating. Paling enak kalau datang pertama, karena tidak perlu berkeliling untuk menyalami yang lain. Apel divisi sangat singkat, hanya 3 menit, lebih lama ritual jabat tangannya malah.
8.15, pembersihan umum.
Seluruh personel di kapal diberikan tanggung jawab sektor pembersihan. Pembersihan dilaksanakan setiap pagi dengan didahului oleh siaran kapal dari anjungan. Untuk saya, pembersihan saya lakukan hanya pada tanggal ganjil, bertempat di ruang kelas nomor 1.
8.40 – 12.30 , kegiatan pagi hari.
Untuk para kadet (yang mana saya termasuk di dalamnya), kegiatan pagi hari diisi dengan pelajaran, baik itu teori, praktek ataupun olahraga. Satu jam pelajaran adalah 55 menit dan dilaksanakan secara maraton hingga makan siang. Pada etape ke-5 kegiatan pagi saya antara Bahasa Inggris, Beladiri militer, latihan menembak, atau latihan tim pemeriksa (VBSS). Kadang-kadan ada juga kegiatan latihan Peran Kebakaran ataupun latihan-latihan peran yang lain yang harus diikuti oleh seluruh kadet. Namun kadang ada juga jam pelajaran kosong yang -tentu saja- saya gunakan untuk berhubungan dengan dunia luar lewat internet. Kegiatan kelas ini dilaksanakan di geladak 4.
12.30, makan siang.
Salah satu kegiatan yang menarik. Menu yang disajikan bervariasi, namun pada umumnya adalah menu eropa. Yang paling sering keluar adalah menu steak. Namun steaknya jangan dibayangkan seperti Bon Café ataupun Steak Hut. Daging sapi yang disajikan (pasti) setengah matang dan berasa hambar. Untuk itu harus dipanaskan terlebih di microwave selama 2 menit.
Perancis terkenal dengan makanannya. Dan ini berlaku juga di kapal. Menu lengkap selalu tersedia, mulai makanan pembuka (entrée), menu utama (plat principal) hingga penutup (dessert). Makanan pembuka seringnya adalah salad. Paling senang kalau ada foie gras, salmon atau siomay. Menu utama kadang steak, spaghetti, kuskus (makanan arab), nasi putih, ayam ataupun ikan. Paling tidak berselera makan kalau menu utamanya adalah ikan, karena tidak berbumbu dan dengan saos yang berkeju.
Walaupun orang Perancis terkenal dengan tradisi makan yang lama, namun itu tidak berlaku buat saya. Makan siang cukup 15 menit, demi mengejar acara wajib di siang hari : tidur siang.
12.40 – 13.20, tidur siang.
Acara wajib di siang hari, mengisi ulang energi untuk digunakan pada kegiatan sore hari. Walaupun hanya satu jam, namun cukup juga untuk meredakan ketegangan di badan. Satu-satunya periode waktu yang legal untuk beristirahat. Juga menyempatkan diri untuk melaksanakan sholat dhuhur dan ashar di periode waktu ini.
13.30 – 18.00, kegiatan siang hari.
Masih dengan pelajaran dan kegiatan yang telah diprogramkan. Sangat membosankan, karena diselingi dengan acara menahan kantuk, terutama kalau tidak sempat tidur siang. Dua jam pertama diisi dengan kegiatan integrasi di Divisi MB, entah itu menempel tanda-tanda pipa, jalan-jalan ke sektor-sektor di bawah divisi MB dan kegiatan lainnya yang “ada saja”. Kalau ada jam pelajaran kosong, tak lupa menyempatkan diri untuk membuka internet.
18.30, Briefing harian.
Tradisi baik di Angkatan Laut Perancis, sebuah briefing harian yang dihadiri oleh Komandan kapal dan disajikan oleh para kadet. Briefing ini dilaksanakan di ruang konferensi, di depan sekitar 200-an orang. Yang dipaparkan mencakup ramalan cuaca hingga dua hari ke depan, situasi intelijen, kegiatan hari ini yang telah dilaksanakan, rencana kegiatan besok, situasi permesinan dan logistik, dan ditutup dengan berita-berita terkini. Setelah itu dilanjutkan dengan paparan oleh kadet yang dilaksanakan secara bergiliran, dengan materi-materi politik terkini seperti : Amerika dalam hubungan India – Pakistan, Pengaruh Cina di Negara-negara Afrika, dan topik-topik politik menarik lainnya. Tujuannya untuk mengasah daya analisis para kadet. Acara briefing biasanya berakhir pada pukul 19.30.
19.30, makan malam.
Sama dengan makan siang, formasi entrée – plat principal – dessert-nya membuat penasaran. Ditambah dengan perut yang sudah krucuk-krucuk, apapun menunya pasti habis. Namun kali ini tidak harus makan dengan terburu-buru karena sudah tidak ada kegiatan lagi yang harus diikuti.
20.00, waktu bebas.
Kalau tidak ada kegiatan biasanya setelah makan malam nongkrong di ruang rekreasi untuk sekedar menikmati kopi panas atau minuman kaleng seharga 50 sen. Kalau beruntung bisa kebagian stick Mario kart, itu pun pasti kalah, jadi lebih baik cari kesibukan lainnya. Paling sering setelah makan malam langsung pergi ke ruang internet, cek email, cari kabar anak istri dan keluarga di Surabaya. Kalau internet penuh (karena hanya lima komputer) biasanya langsung ke kamar. Untung saya masih punya segudang film hasil download dari India yang masih belum sempat ditonton.
21.30, mandi malam.
Yah, ini baru mandi yang benar-benar rutin dilakukan. Siraman air hangat seolah menyegarkan kembali badan ini selepas aktifitas seharian penuh. Rata-rata semua teman-teman saya melaksanakan mandi sebelum tidur malam. Ternyata memang nikmat sekali rasanya, badan segar, tidur pun harum.
24.00, tidur.
Saatnya mengucap selamat malam, dan tersenyum karena keesokan harinya berarti waktu berkurang satu hari lagi, yang berarti semakin dekat menuju 25 Juli.

mercredi 2 mai 2012

Contoh email dari seorang suami yang merindukan anak istrinya


La Reunion, 3 Mei dini hari

Dear mimom,


Assalamualaikum wr. wb.

Pip hari ini capek sekali, tapi seruuuu… :)

Yang pertama karena bisa denger Axelle panggil-panggil papa, dikiss bolak-balik dan denger suaranya mimom. Yang kedua karena pip mengalami pengalaman seru kali ini : KESASAR !

Pip kan pulangnya jalan kaki dari pusat kota ke pelabuhan, tapi pip hilang orientasi arah. Pip muter jauuuhhh sekali, pokoknya pip patokannya laut itu harus berada di sebelah kiri pipop, karena tadi berangkatnya laut ada di sebelah kanan. Dan celakanya, pip gak tau nama pelabuhannya, karena di sini ada dua pelabuhan : pelabuhan barat dan timur. Ini semua gara-gara pip berangkatnya diantar.

Jadi pip berangkat dari pelabuhan timur tempat Dixmude sandar menuju ke pusat kota. Pip turun di sana, terus pip kan sempat mampir ke Georges Leygues buat ambil hapenya pip yang ketinggalan. Georges Leygues tuh sandarnya di Lanal, jauh ama Dixmude, tapi lebih deket pusat kota. Habis itu pip internetan.

Pulang internet, pip liat laut di samping kanan pipop, pip langsung aja ambil patokan laut ada di kiri. Tapi begitu laut ada di kirinya pipop, pip gak yakin, soalnya jalannya bener-bener lain ama yang pip laluin waktu berangkat tadinya. Akhirnya pip balik, laut ada di kanan pipop. Udah jalan setengah jam lamanya, pip ragu-ragu, pip yakin kalau laut harus ada di sisi kiri. Akhirnya pip balik lagi ke pusat kota, untuk tanya jalan. Pip tanya di mana ketemu pelabuhan, ditunjukin ama orang jalannya, seperti yang pip lalui tadi sebelum ragu-ragu. Pip tanya apa nama pelabuhannya ? Dia jawab pelabuhan barat. Waktu itu pip belum tahu nama pelabuhannya Dixmude. Akhirnya pip jalan jauuuhhh… ada satu jam-an. Kok jalannya bukan kayak yang pip berangkat tadi ya ? Tapi laut bener ada di sebelah kirinya pipop. Pip tanya orang lagi yang sedang lari sore. Katanya bener, terus aja, kurang satu km lagi ada pelabuhan. Pip jalan terus sampai ke pelabuhan barat. Begitu sampai di gerbang pelabuhan, ternyata pelabuhannya beda !!!

Pip mulai panik, tanya orang lain lagi di pelabuhan. Pip tanya : apa ada kapal perang Perancis yang sandar di sini. Dia jawab ada, baru sandar tiga harian. BINGO ! itu dia yang pip cari. Pip jalan terus, 1,5 km jauhnya. Tiba-tiba pip liat sebuah kapal perang Perancis, yang langsung bikin pip lemes. Pip lihat Georges Leygues !!! Gila, jadi ceritanya pip itu muter. Dan untuk ke pelabuhan timur pip tahu itu masih jauh lagi. Mana waktu itu udah jam lima sore. Mana jam 18.30 harus ke Dixmude buat jadi guide tamu cocktail party. Pusiiingg… Mau cari taxi harus balik jalan ke pusat kota, dan itu jauh. Dan kaki pipop udah lecet-lecet gara-gara cuman pake sandal jepit karet. Nyesel tadi kenapa gak pake sepatu.

Untungnya pip punya ide. Karena ada cocktail di Dixmude, pastinya bakal ada pengantaran buat personel Georges Leygues ke Dixmude. Akhirnya pip nekat masuk ke penjagaan pelabuhannya Georges Leygues. Mana nama pipop gak ada di daftar penjaganya lagi, untung orangnya baik, pip dibolehin masuk. Pip tanya penjagaan, jam berapa berangkat ke Georges Leygues ? Dia jawab jam 18.30. Huftt.. lega… akhirnya pip tunggu satu jam dan berangkat dengan tenue aneh sendiri karena yang lain pada pake PDH khusus. Untung ini di Perancis, kalau di Indonesia bisa “kecelakaan”.

Dan pipop pun sampai di Dixmude dengan “hanya” terlambat 10 menit. Tanpa mandi, tanpa cuci tangan, langsung ganti PDH khusus, lari ke penjagaan, jadi guide tamu, dan ikut cocktail party dengan badan gatal-gatal dan lengket-lengket.

Sekian cerita pengalaman pipop hari ini. Oh ya, tadi pip udah kirim kartu pos dari sini lho. Besok mau berpetualang sendirian lagi ke Saint Denis, ibukotanya La Reunion. Semoga gak nyasar lagi ya.

Wassalamualaikum wr. wb.

National Character

La Reunion,
-Tulisan di bawah ini bukanlah ditujukan untuk mengagung-agungkan bangsa lain, namun hanya untuk sekedar mengingatkan kita semua akan arti pentingnya sebuah karakter nasional.-
Masih tentang cerita saya di etape ke-3 bersama BPC Dixmude dalam Mission Jeanne d’Arc. Setelah kurang lebih dua bulan, akhirnya saya benar-benar menemukan pelajaran favorit saya, Bahasa Inggris ! Ya, Bahasa Inggris.
Ada dua alasan di balik kesenangan saya tersebut. Yang pertama adalah di pelajaran Bahasa Inggris ini saya benar-benar dapat menangkap materi yang diajarkan hingga mendekati 90 persen. Walaupun saya belum bisa lancar berbicara dalam Bahasa Inggris, namun paling tidak saya masih bisa mengerti kalau ada seseorang yang berbicara dalam bahasa nomor satu dunia ini.
Yang kedua adalah karena suasana belajar yang lucu. Selalu saja ada tawa dalam setiap pelajaran Bahasa Inggris di Dixmude. Lucu karena teman-teman saya, para Kadet Perancis, tidak ada yang serius dalam pelajaran yang satu ini. Entah kenapa, mereka seakan enggan untuk serius mendalami Bahasa Inggris. Sebenarnya mereka bisa, bahkan lebih fasih dibanding kita, tapi ya itu tadi, karena tidak serius jadinya semakin parah. Oleh karena itu dirasa penting membekali para calon perwira Angkatan Laut Perancis tersebut dengan Bahasa Inggris.
Sebenarnya ada dua dosen yang mengajar kami Bahasa Inggris, satu dosen Perancis dan satu orang dari Angkatan Laut Amerika. Suasana menjadi hidup tatkala Adama, dosen perempuan Perancis mengajar kami. Pernah suatu hari kami diberi tugas paparan tentang tempat-tempat persinggahan kami selama misi ini, tugas per kelompok. Pada saat kelompok yang memaparkan tentang Rio de Janeiro, mereka bukannya paparan tentang kota, malah berbicara mengenai prostitusi di kota Rio, tentang bahaya penularan HIV melalui kolam renang, disertai dengan gerakan tubuh yang erotis. Dan yang semakin membuat lucu adalah mereka memaparkan dengan logat khas Cinta Laura.
Pernah juga suatu hari waktu pelajaran listening, kami diminta untuk mendengarkan rekaman untuk mengisi ruang kosong di script yang kami pegang masing-masing. Rekaman yang kami dengarkan tersebut adalah suara Adama, sang dosen yang berasal dari La Reunion, yang direkamnya sendiri untuk disajikan kepada murid-muridnya. Dan hasil rekamannya sudah bisa diduga : suaranya “medok” Perancis dengan masih terdapat beberapa kesalahan pelafalan. Setelah mendengar dua kali dia menunjuk salah satu dari kami untuk membaca ulang script tersebut, tentunya yang sudah dilengkapi selama dua kali mendengarkan. Clement, teman saya satu grup mendapat giliran pertama, dengan gagah beraninya membaca dengan menirukan gaya bicara sang dosen, lengkap dengan kesalahan pengucapan seperti yang kami dengar. Kontan saja Adama langsung “menyala”.
“Do you think my English is bad? If you don’t like to study English with me you can leave this class right now !!” Sulut Adama dengan nada tinggi, tentunya dengan logat medok Perancisnya.
Dan, bukannya diam patuh, mereka yang lain malah terdengar tertawa tertahan di belakang, termasuk saya. Hehe…
Orang Perancis memang terkenal tidak suka dengan orang Inggris. Menurut Clement teman saya, karena mereka pernah berperang selama berabad-abad dengan orang Inggris. Mereka baru bersekutu pada saat Perang Dunia. Walaupun Bahasa Inggris diajarkan di sekolah, tetap saja sedikit kemajuan yang mereka dapatkan, kurang lebih sama seperti di Indonesia.
Salah satu penyebabnya adalah karena mereka terlalu cinta dengan bahasa mereka. Mereka tak canggung menyebut mouse komputer dengan kata souris. Souris sendiri berarti tikus. Hal yang sangat berkebalikan dengan kita yang akan terasa sangat canggung bila mendengar kata “tetikus” ataupun “peretas” untuk hacker. Selain itu, saat kita menonton film di bioskop-bioskop Perancis, jangan harap bisa mendengar suara asli Tom Cruise ataupun Angelina Jolie. Seluruh film Hollywood sudah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Perancis. Bahkan mereka tak segan untuk mengganti judul filmnya. Kalau mereka ditanya film yang berjudul The Hurt Locker, pasti sedikit orang yang nyambung, karena mereka tahunya film yang dimaksud berjudul Démineur, yang artinya penjinak ranjau. Hal ini sampai “diprotes” oleh guru Amerika kami.  
Dari sini paling tidak kita dapat melihat sebuah karakter dari sebuah bangsa yang besar. Yang mana bisa kita lihat juga pada Negara Rusia, Cina, dan juga Jepang. Walaupun Bahasa Inggris memang menjadi bahasa internasional sekarang ini, namun mereka masih dengan bangga menggunakan bahasa mereka, lengkap dengan tulisan khas mereka masing-masing. Oh ya, seluruh keyboard komputer di Perancis bukannya QWERTY, melainkan AZERTY.
Jadi teringat para tokoh-tokoh pergerakan kita di tahun 1928. Beliau-beliau telah berhasil membuat Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Yang mana akhirnya digencarkan oleh Presiden Soekarno di jaman kekuasaannya. Kalau dipikir-pikir sungguh tak mudah membuat orang Papua, yang terpisah ratusan kilometer dari Sumatera, bisa berbahasa Indonesia yang berumpun Bahasa Melayu. Bahkan Timor-timur pun yang baru bergabung tahun 75-an sangat fasih berbahasa Indonesia. Hal itu karena saya punya teman dari Timor Leste sewaktu belajar di India yang masih dengan bangga berbahasa Indonesia.
Jadi ingat pidato Bung Karno pada peristiwa Ganyang Malaysia. Beliau dengan bangganya menyebut kalau Indonesia itu mengajarkan “berdikari” pada dunia. Indonesia punya konsepsi yang bisa disumbangkan kepada dunia, yaitu Pancasila. Beliau juga dengan sukses menggelar Konferensi Asia Afrika, yang sukses menginspirasi Negara-negara lain untuk merdeka. Benar-benar seorang pemimpin yang berkarakter, dari sebuah Negara baru yang mempunyai karakter.
Sekarang, untuk mencari bahasa Indonesia dari keyboard saja saya kesulitan. Dulu kita bisa mempunyai kata PBB untuk menyebut UN, seperti Perancis dengan ONUnya. Namun sekarang, kita akan kesulitan untuk mencari padanan kata dari IMF misalnya. Padahal Perancis dengan mudahnya menyebut IMF dengan FMI (fonds monétaire international). Di sisi Angkatan Laut, kita mempunyai istilah AKS (Antikapal Selam), PKR (Perusak Kawal Rudal), dll, karena istilah-istilah tersebut diciptakan di masa lampau. Sekarang kami akan dengan senang hati menggunakan istilah LPD (Landing Platform Dock) tanpa perlu bersusah payah mencari padanan kata dalam Bahasa Indonesia. Di sini terlihat jelas, kalau generasi pendahulu kita sangat bangga dengan Bahasa Indonesia, karena mereka-mereka itu orang-orang yang berkarakter.
Selain moral, seperti yang saya singgung di tulisan saya sebelum ini, tampaknya karakter nasional menjadi salah faktor yang tidak kalah pentingnya. Karena sungguh, kalau kita ingin menguasai dunia kita tidak boleh lupa dengan asal kita. Kita tidak boleh malu untuk memperkenalkan apa yang kita punya. Karena malu berarti tidak punya karakter. Dan tidak punya karakter berarti gampang untuk dijajah, mudah dijejali paham-paham luar yang belum tentu cocok untuk bangsa kita.
Masih banyak memang yang harus kita benahi, namun itu tak terus membuat kita kecil hati. Kiamat masih lama, masih ada waktu untuk menguasai dunia. Asal mau memperbaiki diri, dimulai dari sendiri, tidak ada kata tidak mungkin.
If I die tomorrow
I’d be all right because I believe
That after we’re gone
Spirit carries on

mardi 1 mai 2012

Pelajaran moral dari sebuah Quiz

La Reunion,
Setelah dua minggu bergelut dengan kegiatan dan praktek jaga, barulah sekarang ada waktu luang untuk menyambung cerita “petualangan” saya ini.  Bagaimana tidak sibuk, pada etape ke-3, tepatnya dari Djibouti ke Mombassa, kami semua disibukkan dengan padatnya jadwal belajar. Semakin menjadi sibuk di akhir pelayaran karena ternyata di etape tersebut kami harus menempuh “sedikit” evaluasi berupa Quiz.
Pelajaran yang diujikan pun bukan main-main, ada sekitar empat pelajaran di mana 60 persen di antaranya saya tidak mengerti sama sekali. Salah satu pelajaran yang tidak saya mengerti adalah pelajaran tentang kepersonaliaan di Angkatan Laut Perancis, yang mana sebenarnya tidak akan saya gunakan di Indonesia. Karena pada saat kursus saya cenderung menyepelekan pelajaran tersebut, akhirnya selama empat hari sebelum quiz saya harus melembur mengejar ketertinggalan saya.
Selama empat hari itu pula saya jadi pengunjung tetap ruang kelas yang saya jarang sekali mengunjunginya pada malam hari selesai makan malam. Suasana ujian di sini memang benar-benar terasa. Ruang kelas yang biasanya lengang pada malam hari mendadak penuh sesak oleh para Kadet yang sedang belajar. Maklum, karena hasil ujian yang mereka dapatkan akan sangat berpengaruh bagi penempatan mereka. Dan, pada malam terakhir sebelum ujian itu saya mencatatkan diri sebagai orang terakhir yang berada di salah satu kelas dari empat kelas yang tersedia di zone état-major (ZEM).
ZEM sebenarnya adalah sebuah ruang Pos Komando yang digunakan untuk merencanakan dan menjalankan sebuah operasi, baik itu operasi intern angkatan perang Perancis maupun operasi di tingkat NATO. Dengan luas area sebesar  850 meter persegi, untuk kepentingan EAOM ini disulap menjadi sebuah ruang konferensi yang biasa digunakan sebagai kelas gabungan, empat buah kelas dengan kapasitas masing-masing 20 siswa dan sebuah ruang komputer.
Di ruang komputer inilah sebenarnya pusat tempat belajar para Kadet. Karena ruang komputer ini sangat sensitif terhadap sirkulasi pertukaran data, ruang ini dibedakan menjadi empat area berdasarkan tingkat kerahasiaan data. Area pertama adalah area terbuka, terdiri dari lima buah komputer yang bisa digunakan untuk mengakses internet 24 jam non-stop. Inilah area terfavorit bagi kami semua, hingga rela mengantri hanya untuk dapat melihat halaman facebook pada saat sedang di atas laut. Area kedua adalah area LAN terbatas. Di sinilah tempat belajar untuk saling mengakses materi-materi pelajaran yang telah disalin oleh para instruksi ke jaringan LAN tersebut. Terdapat 30 laptop Lenovo di area ini yang saling terhubung jaringan LAN. Area ketiga adalah area terbatas INTRAMAR. Terhubung dengan jaringan Angkatan Laut Perancis, digunakan Kadet Perancis untuk mengakses website EAOM dan juga email internal mereka. Tersedia sepuluh laptop, hanya dapat digunakan oleh Kadet Perancis, kecuali satu komputer untuk siswa asing yang sudah dimodifikasi aksesnya. Area keempat adalah area rahasia, hanya dapat diakses oleh mereka yang berkewarganegaraan Perancis, tertutup di sebuah bilik kecil, sehingga saya tidak mengetahui berapa jumlah laptop di dalamnya. Selain laptop, kami juga dilengkapi dengan sebuah mesin printer laser besar yang dapat diakses oleh siapapun juga, yang terhubung dengan seluruh laptop dan komputer yang terdapat di ruangan tersebut. Mantap, kan fasilitasnya ?
Kembali ke soal quiz, akhirnya tibalah juga saat yang ditunggu-tunggu. Target saya waktu itu adalah hanya mengerjakan sebaik mungkin sebisa saya. Pelaksanaan ujian dilaksanakan per grup yang terdiri dari sekitar 15 orang secara bersamaan di kelas yang berbeda. Selama quiz yang saya saksikan adalah luar biasa bagi saya. Tidak ada diskusi, tidak ada tanya jawab antar peserta ujian ! Benar-benar hening, walaupun yang menjaga ujian “hanya” seorang bintara. Mereka hanya berpikir tentang diri mereka, tidak ada yang namanya gotong royong, tidak ada yang namanya kekeluargaan. Karena saya yakin betul soal yang keluar tidaklah mudah, bahkan bagi mereka sekali pun. Biar pun begitu tidak terlihat sedikit pun usaha untuk melirik ke teman sebelah walaupun kami hanya terpisah setengah meter dari teman sebelah kami.
Sungguh hebat. Dengan beban harus mendapatkan nilai baik untuk nilai akhir pendidikan mereka, mereka tidak terpancing untuk melakukan hal-hal yang “memalukan”. Dan akhirnya, kami-kami yang berasal dari budaya yang “berbeda” dari mereka dalam soal ujian, berhasil mereka pengaruhi untuk mengikuti cara mereka mengerjakan sebuah ujian. Salut !
Jadi teringat film Bollywood yang berjudul 3 idiots. Cerita tentang seorang jenius yang tidak memikirkan nilai yang didapat, penuh masalah dengan dosen “killer”nya yang bernama Virus, namun akhirnya berhasil menjadi nomor satu dan mendapatkan bolpoin astronot dari dosennya tersebut. Bolpen tersebut konon hanya akan diberikan kepada mahasiswa yang benar-benar luar biasa. Dan, konon selama 20 tahun menjadi dosen, belum pernah Virus menemukan mahasiswa yang pantas untuk mendapatkan bolpoin keramat itu. Sebelum akhirnya dia benar-benar menyerahkannya pada seorang mahasiswa bebal namun jenius, yang tidak pernah memikirkan nilai, hanya ilmu, ilmu dan ilmu.
Moral, kunci untuk memajukan sebuah bangsa. Selain moral yang berkaitan dengan hal-hal "tanda petik", kejujuran juga memegang peranan penting. Karena dengan jujur kita akan berusaha bersaing dengan sportif. Dan persaingan yang sportif akan membawa kemajuan yang benar-benar. Memang tidak gampang untuk  mengubah mental yang sudah mendarah daging. Namun, asal ada kemauan, kita pasti akan bisa berubah. Jangan pernah takut untuk menjadi berbeda dari yang lain, ose la différence, asal berbeda untuk hal baik. Paling dekat dapat kita mulai dengan membina anak-anak kita. Semoga saya nanti tidak pernah menuntut nilai sekolah yang baik dari anak saya. Kejujuran adalah nomor satu, syukur-syukur kalau dibarengi dengan nilai yang bagus.
Sekian dari saya,  yang menulis cerita ini ditemani oleh lagu-lagu dari Mr. Big dari album What if… ditulis waktu sandar di kepulauan La Reunion, salah satu pulau « jajahan » Perancis.
Salam kejujuran !