Djibouti,
Hari itu hari Senin tanggal 26 Maret. Seperti
biasa, setiap pukul 18.30 diadakan briefing
harian di ruang konferensi yang salah satunya membahas tentang kondisi cuaca.
Di sana
disebutkan kalau kemungkinan tanggal 27 pagi kondisi laut tidak memungkinkan
untuk dilaksanakan operasi pendaratan. Kepada seluruh siswa yang tadinya
direncanakan akan terjun ke darat pada tanggal 27 pagi diharap bersiap untuk
diberangkatkan pukul 20.00. Untuk kepastiannya akan diumumkan lebih lanjut.
Sontak berita
tersebut membuat saya sedikit panik. Rencana malam itu untuk menikmati dua gelas popmie terancam batal. Untungnya saya sudah menyiapkan barang yang akan saya bawa ke darat
pada siang harinya. Satu setel PDL lengkap dengan topi rimbanya, dua pasang
kaos kaki, dua buah kaos dalam, dua buah celana dalam, satu set peralatan
mandi, empat liter air minum kemasan dan tak lupa dua kotak makanan cepat saji
untuk dua hari sudah masuk ke dalam ransel lapangan. Tinggal mengisi velples
dengan air minum yang belum saya laksanakan.
Dan apa yang
ditakutkan benar adanya. Pada saat makan malam terdengar siaran kalau kami
harus berkumpul di radier pada pukul
20.00 untuk melaksanakan pemberangkatan latihan. Segera bergegas saya ke kamar
untuk berganti pakaian dan mengambil tas ransel tempur saya. Tak lupa
barang-barang yang tidak saya bawa saya tinggal di kamar teman saya yang masih
mempunyai ruang kosong di lemarinya. Setiba di radier suasana benar-benar gelap, tidak ada lampu yang menyala,
seperti layaknya latihan pendaratan. Setelah melaksanakan apel kilat kami pun
langsung menuju ke EDAR setelah sebelumnya membawa berdus-dus air mineral untuk
dibawa ke darat. Ah, saya lupa untuk berpamitan ke istri lewat email ternyata
karena terburu-burunya.
EDAR adalah
kendaraan pendarat termutakhir yang dimiliki oleh Angkatan Laut Perancis. Dia
lebih cepat, lebih luas dan lebih lincah bermanuver. Geladak EDAR bisa
mengangkut dua truk besar atau dua tank atau empat mobil jeep kecil. Dengan
peralatan navigasi yang canggih, lengkap dengan GPS dan peta elektronik
membuatnya tak kesulitan untuk menuju ke daerah pendaratan yang telah
ditentukan. Untuk menghitung muatan pun telah tersedia software canggih yang dapat memberi solusi terbaik tentang
kendaraan apa saja yang sebaiknya dimuat. Geladak radier BPC Dixmude bisa untuk mengangkut dua EDAR. Namun kali ini
hanya mengangkut satu EDAR dan dua CTM (Chaland
Transport de Matériel), sebuah alat pendarat model lama yang lebih kecil.
Setelah
dilaksanakan penggenangan, EDAR yang saya tumpangi pun secara perlahan keluar
perlahan dari radier BPC Dixmude. Di
luar suasana benar-benar gelap, namun tak terasa di laut karena besarnya EDAR
yang saya tumpangi. Bintang-bintang pun tampak dengan jelas sekali. Sungguh,
sesuatu yang terlalu indah untuk dilewatkan. Capek yang terasa pada waktu
embarkasi ke EDAR langsung hilang begitu merasakan angin laut yang sejuk dan
indahnya kemilau bintang-bintang di angkasa.
Setelah dua
puluh menit menyeberang lautan, tibalah kami di daerah pendaratan. Ternyata
tempatnya sangat mewah untuk ukuran sebuah daerah latihan. Beberapa bungalow
tampak berjejer yang digunakan Staf Latihan untuk mendirikan tenda. Di ujung
timur tampak sebuah bangunan yang ternyata adalah deretan kamar mandi dan WC.
Hanya sinyal GSM saja yang absen di daerah ini. Malam itu kami tak langsung
tidur. Seluruh siswa Perancis melaksanakan pengambilan FAMAS, sebuah senjata
laras panjang buatan Perancis yang katanya sangat akurat. Sebelumnya, di kapal,
para siswa sudah dibekali amunisi hampa dan granat latihan yang nantinya akan
digunakan selama latihan di darat. Untuk siswa asing undangan seperti saya
tidak mendapatkan senjata dengan alasan keamanan. Entah keamanan yang mana lagi
yang mereka maksud. Namun paling tidak selama latihan saya tidak perlu
berat-berat memanggul senjata itu.
Malam itu kami
tidur beratapkan langit dengan dekorasi bintang-bintang yang berkilau di
angkasa. Untung saja saya dipinjami sleeping
bag, yang bisa member sedikit kehangatan kepada saya malam itu. Dan saya
pun terlelap di tengah hembusan angin laut.
Selama
pelaksanaan EAOM ini kami dilibatkan dalam latihan di darat seperti layaknya
seorang prajurit Angkatan Darat. Sebelumnya, satu batalyon Angkatan Darat sudah
melaksanakan pendaratan tiga hari sebelum saya mendarat. Di Perancis, operasi
pendaratan dilaksanakan oleh Angkatan Darat. Marinir mereka hanya melaksanakan
operasi-operasi khusus yang dilaksanakan dengan unit-unit lebih kecil. Dan di
AAL Perancis tidak ada yang namanya korps Marinir. Mereka baru dapat masuk
korps Marinir setelah bekerja kurang lebih dua tiga tahun di kapal. Hal itulah
yang menyebabkan adanya kurikulum latihan di darat seperti yang saya jalani
ini.
Djibouti adalah salah satu daerah latihan Perancis di luar negeri. Djibouti
dipilih karena memiliki iklim yang menyerupai Afganistan, daerah operasi
Negara-negara “polisi dunia”. Amerika pun memiliki daerah latihan di Djibouti. Yang
saya lihat selanjutnya adalah kondisi tanah Djibouti yang berpadang pasir, tandus.
Seringkali terlihat penggembala kambing dengan kambing-kambingnya, seolah
mencerminkan kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat Negara itu. Sehingga wajar
saja kalau Djibouti
mengorbankan kedaulatannya dengan diijinkannya sebagian wilayahnya digunakan untuk
pangkalan ataupun tempat latihan bagi Negara lain. Yang tentunya mengharapkan
bantuan-bantuan yang sesungguhnya tidak akan mengangkat Djibouti dari
kemiskinan yang mendera.
Pagi pertama
saya lewatkan dengan sarapan, sarapan versi Perancis tentunya. Memasak air dari velples dengan alat pemanas
yang berasal dari box makanan survival
saya. Segelas susu coklat dengan beberapa potong biskuit sudah cukup mengganjal
perut saya hingga siang hari. Boks makanan survival
saya cukup lengkap, bahkan bisa dibilang cukup mewah. Salah satu contohnya adalah
berisi :
Mexican salad.
Chicken in “basuaise”
sauce.
Chicken liver pate (ini makanan Perancis favorit saya : foie gras).
Instant soup.
Melted cheese.
Salted and sweet biscuits.
Fruit jelly.
Chocolate bar.
Caramels.
Multipurpose paper towels.
Reheating kit.
Water purifying pills sebanyak 6 buah yang digunakan untuk menjernihkan air.
Masing-masing orang dibekali dua kotak yang tentunya dengan menu
yang berbeda. Cukup mewah, kan? Di kotaknya tertulis “French Army, NATO Approved”. Jadi teringat slogannya
Deplog di kapal : Logistik tidak dapat memenangkan pertempuran, tapi tanpa
logistik pertempuran tidak akan dapat dimenangkan.” Secara sederhana, kalau
perut kenyang, apa saja dapat dilaksanakan.
Selama dua hari yang saya rasakan adalah antusias. Bagaimana tidak
antusias, di hadapan saya terhampar padang
pasir dengan bukit-bukit berbatu yang terjal, sungguh sebuah pemandangan yang
aneh bagi saya yang hidup di daerah subur. Naik bukit, turun bukit, tiarap, long march kami laksanakan selama dua
hari itu. Sedikit melelahkan tentunya jika berjalan dengan memanggul ransel
penuh barang. Namun lelah itu cepat hilang kala melihat hal-hal baru di sana. Tak jarang lewat
serombongan onta. Kadang ada juga segerombolan keledai, yang kesemuanya bisa
jadi obyek foto untuk kenang-kenangan. Latihan dilaksanakan hingga malam hari
dengan istirahat pada pukul 13.00 – 14.00 dan 17.00 – 19.00. Waktu istirahat
yang ada digunakan untuk makan, tidur, dan tentunya sholat untuk saya. Tak
sulit menemukan tempat sholat di daerah latihan. Dengan bertayamum dan
bersepatu, sholat jama’ qashar tetap mungkin untuk dilaksanakan.
Hari kedua latihan hanya berjalan hingga pukul 10 pagi saja. Karena
tersiar kabar kalau kondisi laut akan memburuk sehingga para siswa harus segera
kembali ke kapal pagi itu juga. Sebuah
kondisi yang menggembirakan tentunya. Di sini, ramalan cuaca buruk bisa berarti
positif dan negatif ternyata. Pada saat berangkat mengharuskan kami untuk
terburu-buru, meninggalkan kenyamanan yang ada di kapal lebih awal. Pada saat
kembali untungnya mempersingkat latihan di darat, yang berarti terhubung
kembali dengan internet.
Sebuah pengalaman kemping selama dua hari dua
malam yang cukup mengesankan bagi saya.