vendredi 30 mars 2012

Kemping Dua Hari di Djibouti


Djibouti,

Hari itu hari Senin tanggal 26 Maret. Seperti biasa, setiap pukul 18.30 diadakan briefing harian di ruang konferensi yang salah satunya membahas tentang kondisi cuaca. Di sana disebutkan kalau kemungkinan tanggal 27 pagi kondisi laut tidak memungkinkan untuk dilaksanakan operasi pendaratan. Kepada seluruh siswa yang tadinya direncanakan akan terjun ke darat pada tanggal 27 pagi diharap bersiap untuk diberangkatkan pukul 20.00. Untuk kepastiannya akan diumumkan lebih lanjut.

Sontak berita tersebut membuat saya sedikit panik. Rencana malam itu untuk menikmati dua gelas popmie terancam batal. Untungnya saya sudah menyiapkan barang yang akan saya bawa ke darat pada siang harinya. Satu setel PDL lengkap dengan topi rimbanya, dua pasang kaos kaki, dua buah kaos dalam, dua buah celana dalam, satu set peralatan mandi, empat liter air minum kemasan dan tak lupa dua kotak makanan cepat saji untuk dua hari sudah masuk ke dalam ransel lapangan. Tinggal mengisi velples dengan air minum yang belum saya laksanakan.

Dan apa yang ditakutkan benar adanya. Pada saat makan malam terdengar siaran kalau kami harus berkumpul di radier pada pukul 20.00 untuk melaksanakan pemberangkatan latihan. Segera bergegas saya ke kamar untuk berganti pakaian dan mengambil tas ransel tempur saya. Tak lupa barang-barang yang tidak saya bawa saya tinggal di kamar teman saya yang masih mempunyai ruang kosong di lemarinya. Setiba di radier suasana benar-benar gelap, tidak ada lampu yang menyala, seperti layaknya latihan pendaratan. Setelah melaksanakan apel kilat kami pun langsung menuju ke EDAR setelah sebelumnya membawa berdus-dus air mineral untuk dibawa ke darat. Ah, saya lupa untuk berpamitan ke istri lewat email ternyata karena terburu-burunya.

EDAR adalah kendaraan pendarat termutakhir yang dimiliki oleh Angkatan Laut Perancis. Dia lebih cepat, lebih luas dan lebih lincah bermanuver. Geladak EDAR bisa mengangkut dua truk besar atau dua tank atau empat mobil jeep kecil. Dengan peralatan navigasi yang canggih, lengkap dengan GPS dan peta elektronik membuatnya tak kesulitan untuk menuju ke daerah pendaratan yang telah ditentukan. Untuk menghitung muatan pun telah tersedia software canggih yang dapat memberi solusi terbaik tentang kendaraan apa saja yang sebaiknya dimuat. Geladak radier BPC Dixmude bisa untuk mengangkut dua EDAR. Namun kali ini hanya mengangkut satu EDAR dan dua CTM (Chaland Transport de Matériel), sebuah alat pendarat model lama yang lebih kecil.

Setelah dilaksanakan penggenangan, EDAR yang saya tumpangi pun secara perlahan keluar perlahan dari radier BPC Dixmude. Di luar suasana benar-benar gelap, namun tak terasa di laut karena besarnya EDAR yang saya tumpangi. Bintang-bintang pun tampak dengan jelas sekali. Sungguh, sesuatu yang terlalu indah untuk dilewatkan. Capek yang terasa pada waktu embarkasi ke EDAR langsung hilang begitu merasakan angin laut yang sejuk dan indahnya kemilau bintang-bintang di angkasa. 

Setelah dua puluh menit menyeberang lautan, tibalah kami di daerah pendaratan. Ternyata tempatnya sangat mewah untuk ukuran sebuah daerah latihan. Beberapa bungalow tampak berjejer yang digunakan Staf Latihan untuk mendirikan tenda. Di ujung timur tampak sebuah bangunan yang ternyata adalah deretan kamar mandi dan WC. Hanya sinyal GSM saja yang absen di daerah ini. Malam itu kami tak langsung tidur. Seluruh siswa Perancis melaksanakan pengambilan FAMAS, sebuah senjata laras panjang buatan Perancis yang katanya sangat akurat. Sebelumnya, di kapal, para siswa sudah dibekali amunisi hampa dan granat latihan yang nantinya akan digunakan selama latihan di darat. Untuk siswa asing undangan seperti saya tidak mendapatkan senjata dengan alasan keamanan. Entah keamanan yang mana lagi yang mereka maksud. Namun paling tidak selama latihan saya tidak perlu berat-berat memanggul senjata itu.

Malam itu kami tidur beratapkan langit dengan dekorasi bintang-bintang yang berkilau di angkasa. Untung saja saya dipinjami sleeping bag, yang bisa member sedikit kehangatan kepada saya malam itu. Dan saya pun terlelap di tengah hembusan angin laut.

Selama pelaksanaan EAOM ini kami dilibatkan dalam latihan di darat seperti layaknya seorang prajurit Angkatan Darat. Sebelumnya, satu batalyon Angkatan Darat sudah melaksanakan pendaratan tiga hari sebelum saya mendarat. Di Perancis, operasi pendaratan dilaksanakan oleh Angkatan Darat. Marinir mereka hanya melaksanakan operasi-operasi khusus yang dilaksanakan dengan unit-unit lebih kecil. Dan di AAL Perancis tidak ada yang namanya korps Marinir. Mereka baru dapat masuk korps Marinir setelah bekerja kurang lebih dua tiga tahun di kapal. Hal itulah yang menyebabkan adanya kurikulum latihan di darat seperti yang saya jalani ini.

Djibouti adalah salah satu daerah latihan Perancis di luar negeri. Djibouti dipilih karena memiliki iklim yang menyerupai Afganistan, daerah operasi Negara-negara “polisi dunia”. Amerika pun memiliki daerah latihan di Djibouti. Yang saya lihat selanjutnya adalah kondisi tanah Djibouti yang berpadang pasir, tandus. Seringkali terlihat penggembala kambing dengan kambing-kambingnya, seolah mencerminkan kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat Negara itu. Sehingga wajar saja kalau Djibouti mengorbankan kedaulatannya dengan diijinkannya sebagian wilayahnya digunakan untuk pangkalan ataupun tempat latihan bagi Negara lain. Yang tentunya mengharapkan bantuan-bantuan yang sesungguhnya tidak akan mengangkat Djibouti dari kemiskinan yang mendera.

Pagi pertama saya lewatkan dengan sarapan, sarapan versi Perancis tentunya.  Memasak air dari velples dengan alat pemanas yang berasal dari box makanan survival saya. Segelas susu coklat dengan beberapa potong biskuit sudah cukup mengganjal perut saya hingga siang hari. Boks makanan survival saya cukup lengkap, bahkan bisa dibilang cukup mewah. Salah satu contohnya adalah berisi : 

Mexican salad.
Chicken in “basuaise” sauce.
Chicken liver pate (ini makanan Perancis favorit saya : foie gras).
Instant soup.
Melted cheese.
Salted and sweet biscuits.
Fruit jelly.
Chocolate bar.
Caramels.
Multipurpose paper towels.
Reheating kit.
Water purifying pills sebanyak 6 buah yang digunakan untuk menjernihkan air.

Masing-masing orang dibekali dua kotak yang tentunya dengan menu yang berbeda. Cukup mewah, kan? Di kotaknya tertulis “French Army, NATO Approved”. Jadi teringat slogannya Deplog di kapal : Logistik tidak dapat memenangkan pertempuran, tapi tanpa logistik pertempuran tidak akan dapat dimenangkan.” Secara sederhana, kalau perut kenyang, apa saja dapat dilaksanakan.

Selama dua hari yang saya rasakan adalah antusias. Bagaimana tidak antusias, di hadapan saya terhampar padang pasir dengan bukit-bukit berbatu yang terjal, sungguh sebuah pemandangan yang aneh bagi saya yang hidup di daerah subur. Naik bukit, turun bukit, tiarap, long march kami laksanakan selama dua hari itu. Sedikit melelahkan tentunya jika berjalan dengan memanggul ransel penuh barang. Namun lelah itu cepat hilang kala melihat hal-hal baru di sana. Tak jarang lewat serombongan onta. Kadang ada juga segerombolan keledai, yang kesemuanya bisa jadi obyek foto untuk kenang-kenangan. Latihan dilaksanakan hingga malam hari dengan istirahat pada pukul 13.00 – 14.00 dan 17.00 – 19.00. Waktu istirahat yang ada digunakan untuk makan, tidur, dan tentunya sholat untuk saya. Tak sulit menemukan tempat sholat di daerah latihan. Dengan bertayamum dan bersepatu, sholat jama’ qashar tetap mungkin untuk dilaksanakan. 

Hari kedua latihan hanya berjalan hingga pukul 10 pagi saja. Karena tersiar kabar kalau kondisi laut akan memburuk sehingga para siswa harus segera kembali ke kapal pagi itu juga. Sebuah kondisi yang menggembirakan tentunya. Di sini, ramalan cuaca buruk bisa berarti positif dan negatif ternyata. Pada saat berangkat mengharuskan kami untuk terburu-buru, meninggalkan kenyamanan yang ada di kapal lebih awal. Pada saat kembali untungnya mempersingkat latihan di darat, yang berarti terhubung kembali dengan internet.

Sebuah pengalaman kemping selama dua hari dua malam yang cukup mengesankan bagi saya.

lundi 26 mars 2012

Membelah Laut Merah

Laut Merah, geladak Georges Leygues.

“ Bonsoir à tous, Enseigne de Vaisseau Andromeda pour le quart 18h à 20h comme l’OQO en double.
Activité à venir, il y aura un TP MM à 18h et le TRAPAX à 19h30. La condition météo, la visibilité est mauvaise, 2 nautiques. La situation surface est clair, le Dixmude est à notre derrière 3 nautiques. Poursuiteur, je vous demande de reporter le CPA et les informations outils à la passerelle.
On passe en danger surface blanc, tir interdit. Toutes les armes sont repos.
Je vous demande de me rendre compte des réglages de vos senseurs et des fréquences veillés dans l’ordres la GE, l’OAD, l’O-INFO et le Poursuiteur.
Bon quart à tous.”

Begitulah rutinitas pertama yang kami lakukan selaku perwira jaga PIT (Pusat Informasi Tempur), mengawali penjagaan selama dua atau empat jam di kotak hitam yang mereka sebut CO (Central Opération) itu. Selama waktu itu pula saya selalu melaksanakan latihan simulasi peperangan, duduk di depan layar monitor dan melaporkan kontak-kontak yang muncul di layar. Tak jarang pula latihan diakhiri dengan simulasi penembakan Exocet MM-38 ataupun Crotale. Sesuatu yang mudah sebenarnya karena semua teori sudah saya pelajari, namun tak jarang menjadi sesuatu yang kompleks karena situasi yang disimulasikan berkembang dengan cepat dan kami dituntut untuk berpikir dengan cepat juga, antara melaksanakan identifikasi, mengirim laporan ke Komandan peperangan, ataupun memikirkan keselamatan kapal dengan melaksanakan aksi-aksi auto-defense.

Di kapal bernomor lambung D-640 ini saya juga melaksanakan jaga di anjungan. Sesuatu yang mudah juga karena saya sudah melaksanakan jaga seperti ini ratusan kali. Namun menjadi mengerikan apabila ada telepon bordering dan harus melaksanakan koordinasi dengan ruang mesin ataupun yang lainnya. Apalagi kalau bukan masalah bahasa. Namun pelan tapi pasti, seluruh kengerian itu hilang dengan sendirinya. 

Mungkin ini yang disebut kualat. Dua tahun yang lalu, 2010 tepatnya, saya sebagai Panagi KRI Teluk Banten-516, ketempatan puluhan Pasis AAL yang melaksanakan latihan SEAAC. Saat itu ujian demi ujian saya berikan kepada adik-adik saya calon pelaut agar mereka semua cakap sebagai paga laut di KRI. Siapa yang menyangka kalau sekarang saya melaksanakan hal yang sama seperti mereka jalani di Teluk Banten, dengan situasi yang berbeda tentunya.

Seminggu di George Leygues, saya merasakan yang namanya terusan Suez untuk kedua kalinya dalam hidup. Setelah itu melewati Laut Merah untuk menuju ke Djibouti. Yang saya rasakan di Georges Leygues ini, situasi di kapal seperti layaknya sebuah kapal perang sesungguhnya. Selama melaksanakan transit di terusan Suez, kapal berada dalam Status Kewaspadaan tingkat 2 Asimetrik, yang berarti setengah kekuatan penjagaan harus standby, baik di anjungan maupun di PIT. Begitu pula waktu mendekati daerah Operasi AntiPerompakan Atalanta, lagi-lagi Status Kewaspadaan tingkat 2 dijalankan. 

Selain itu, setiap hari kapal melaksanakan latihan bersama Dixmude. Latihannya bervariasi, mulai dari latihan penembakan, simulasi peperangan, sampai penerbangan. Namun yang rutin adalah melaksanakan latihan manuver Pembekalan di Laut. Latihan manuver ini dilaksanakan berulang kali selama empat jam, dan para siswa digilir untuk merasakan bagaimana rasanya menjalankan kapal pada saat latihan pembekalan di laut. Kalau cuaca bagus, pasti dilaksanakan latihan penerbangan heli. Dengan adanya BPC Dixmude yang mempunyai kemampuan mengangkut maksimal 16 helikopter, tak sulit latihan ini dijalankan. Mulai dari touch and go, VERTREP hingga foto kapal dilaksankan oleh Gugus Tugas Mission Jeanne d’Arc ini. Dengan banyaknya penerbangan yang dilakukan, baik siang maupun malam, sudah tak terhitung berapa bahan bakar yang terbuang. Begini rupanya caranya negara-negara kaya dalam menyiapkan kesiagaan Angkatan Perangnya.

Mental, itu kuncinya. Selama seminggu pelayaran bersama George Leygues saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana mental orang Perancis. Tidak pernah terlihat wajah mengeluh karena harus melaksanakan Status Kewaspadaan tingkat 2, selalu terlihat bersemangat walaupun latihan RAS dilaksanakan setiap hari, yang berarti diulang-ulang begitu-begitu saja. Dan mental ini terlihat dari semua orang, baik Komandan, perwira kapal, ABK maupun teman-teman saya siswa tingkat akhir Ecole Navale.
Selama pelaksanaan latihan, Komandan selalu terlihat mengikuti, baik berada di anjungan maupun di PIT. Bahkan untuk latihan intern sekelas latihan kebakaran, Komandan terlihat serius mengikuti laporan perkembangan situasi terakhir yang dilaksanakan oleh perwira pengendali PEK. Perwira kapal pun begitu, para Paga anjungan maupun Paga PIT selalu memberikan kepercayaan seratus persen kepada siswa dalam melaksanakan tugasnya. Dengan tetap memberikan supervisi seperlunya tentunya. Setiap selesai latihan peperangan di PIT kami selalu diberikan briefing tentang pelaksanaan latihan yang baru selesai kami laksanakan.

Dari sisi siswa, ruang Richilieu (ruang belajar perwira siswa) selalu terlihat penuh sesak. Delapan buah komputer yang tersedia selalu penuh orang, sehingga menyulitkan saya untuk mengakses email. Sebelum jaga wajib hukumnya mempersiapkan diri, dan ini murni dari kesadaran, karena benar-benar tidak ada perwira kapal yang mengarahkan. Hukuman-hukuman tidak dikenal di sini, yang ada adalah ancaman tidak lulus, yang pastinya jauh lebih mengerikan.

Selama belajar di Angkatan Laut Perancis, belum pernah saya menyaksikan peta wilayah Perancis dipajang di dinding-dinding. Semua peta yang ditempel di dinding, termasuk dinding besi George Leygues ini adalah peta dunia ! Sekali lagi ini bicara masalah mindset. Suatu saat nanti, seharusnya bangsaku seperti ini. Sebuah bangsa yang besar, yang tidak hanya besar wilayahnya, namun besar dalam arti seluruhnya. Dengan luas wilayah yang jauh lebih besar daripada Perancis, sudah sepantasnya Negara ini diperkuat oleh Armada Laut yang besar pula. Yang artinya dibutuhkan juga ribuan jenius untuk mengawaki mesin-mesin perang itu nantinya. Semoga di saat itu saya masih bisa bernafas, untuk menyaksikan kejayaan negeri ini yang telah lama tertidur.

Amin.

vendredi 16 mars 2012

Hujan terakhir di Beirut

Beirut, Libanon.

Hari itu, hari Jumat, hari terakhir escale Beirut. Tidak seperti hari sebelumnya yang tidak ada pesiar, hari itu dibalas kontan : Pesiar dari jam 6 pagi, tidak ada apel, tidak ada pengarahan ! Bangun pagi, diri ini langsung sholat shubuh, langsung sarapan, dan langsung berangkat pesiar ! tanpa mandi !

Hari ini rencana menuntaskan to-do list yang belum tertuntaskan. Tujuan pertama adalah ke kantor pos. Di sana membeli perangko dan mengeposkan kartu pos saya. Rupanya Beirut akrab dengan yang namanya hujan, keluar dari kantor pos langsung disambut dengan hujan rintik-rintik yang semakin menambah dinginnya kota. Untuk mengirim kartu pos dari Beirut ke Indonesia, perangko yang digunakan senilai 2000 LL atau kurang lebih Rp. 12000. Entah kapan kartu pos itu sampai ke Indonesia karena kartu pos yang saya kirim dari Toulon sampai sekarang belum sampai juga.

Dari kantor pos langsung meluncur ke City Mall, apalagi kalau bukan untuk mencari sekarton popmie. Yah, mie instan adalah makanan wajib buat pelaut Indonesia. Tidak sehat memang, namun tradisi itu sulit untuk dihilangkan. Untuk menuju ke City Mall saya harus berjalan kembali ke arah pelabuhan untuk menunggu lewatan bus. Setelah lima belas menit menunggu lewatlah kendaraan umum yang saya nantikan. Sebenarnya bus ini tak bisa disebut bus karena bentuknya adalah minibus. Untuk ke tempat yang saya maksud, saya harus melaksanakan oper, turun di daerah bernama Dora, lanjut dengan kendaraan yang lebih besar, meluncur ke City Mall.

Tiba di mall, langsung menuju ke supermarket. Observasi tempat sesaat, langsung menemukan target yang dicari. Namun saat itu waktu tidak memungkinkan untuk melanjutkan berbelanja karena saya harus ke masjid untuk melaksanakan sholat Jumat. Karena di Libanon, saya kira mudah untuk menemukan masjid. Ternyata di sini tidak seperti di Indonesia. Di mall tidak ada yang namanya sholat jumat berjamaah, dan tidak ada masjid di dekat sana. Satu-satunya masjid yang ada adalah di daerah downtown, tempat di mana saya mengirim kartu pos saya. Akhirnya saya harus kembali ke downtown, naik angkutan umum yang sama, oper di tempat yang sama, untuk menuju masjid.

Di bis yang kedua saya tadinya duduk di belakang, namun ada wanita yang memanggil saya untuk duduk di depan di sebelahnya setelah mendengar saya menanyakan downtown kepada pak sopir. Segeralah saya berpindah di depan. Wajah wanita itu wajah cina keturunan, saya pikir orang Indonesia. Namun setelah saya dekati dia bercakap dengan bahasa yang saya tidak paham. Ternyata dia dari Philiphina, dan dia menyangka saya dari negaranya juga. Namun paling tidak ada orang yang bisa diajak berbicara karena sejak dari tadi sangat sulit menemukan orang yang bisa berbahasa Inggris atau pun Perancis. Selama perjalanan dia menjelaskan kalau hendak pergi ke warnet ada di daerah Hamra. Untuk ke sana harus naik taksi. Namun ternyata, kata dia, kalau naik taksi harus bilang "service" kalau ingin mendapatkan harga yang murah. Biasanya sang sopir akan menanyakan "taksi" atau "service" ? Taksi artinya mobil itu akan menjadi "milik" kita sepenuhnya hingga tiba di tempat tujuan. Sedangkan "service" artinya kita bisa berbagi dengan penumpang lain yang nantinya akan ditemui selama perjalanan. Harganya cukup miring, bisa seperlimanya.


Sampai di masjid ternyata masih terlalu awal. Namun mending terlalu awal daripada terlambat. Sambil menunggu, saya foto-foto karena kebetulan masjidnya cukup megah. Arsitekturnya cukup indah. Sayangnya saya lupa untuk menanyakan nama masjid berkhubah biru itu.

Selesai sholat Jumat saya segera meluncur kembali ke daerah City Mall untuk berburu popmie. Namun sayangnya kali ini saya tersesat ! Saya salah mengulang jalan saya datang ke masjid tadi. Saya menyusuri pantai kurang lebih selama 20 menit sebelum akhirnya menemukan angkutan umum yang membawa saya ke Dora. Segeralah saya naik untuk pergi ke Dora dengan misi menemukan warnet untuk berskype dengan istri tercinta. Di sana beruntung bertemu dengan seorang Syria yang dengan sukarela menunjukkan tempat warnet. Setibanya di warnet ternyata masih ada waktu setengah jam dari waktu janjian kami. Dan, kebetulan lagi, tepat di sebelah warnet itu ada restoran philiphina. Tanpa berpikir panjang saya masuk ke resto tersebut untuk kemudian memesan seporsi cumi-cumi asam manis. Sungguh, rasanya mampu sebagai obat pengusir rindu terhadap masakan Indonesia.

Lepas itu segera ke City Mall untuk kemudian berbelanja popmie dua karton. Dua karton yang nantinya akan digunakan selama empat bulan. Di sana tak berlama-lama karena saya harus segera kembali ke kapal untuk melaksanakan perpindahan kapal. Ya, untuk etape selanjutnya, saya harus onboard di George Leygues, Frigate antikapal selam Perancis. Sebuah kapal tua namun masih cukup mempunyai taring yang tajam. Di sini saya benar-benar merasa sebagai seorang tentara angkatan laut. Ruangannya sempit-sempit, tidak seperti di Dixmude yang hidup bagaikan di hotel.

Mungkin selama etape kedua tidak akan ada update blog ini lagi karena di George Leygues tidak ada fasilitas internet secanggih di Dixmude. Hanya ada email, itu pun memakai akun khusus dari kapal.

Selamat tinggal Beirut, sampai jumpa kembali di Djibouti.

 

jeudi 15 mars 2012

Escale pertama

Beirut, Libanon

"rompre le poste de combat... rompre le poste de combat.."

Bunyi siaran kapal tadi menandakan bahwa kapal yang saya tumpangi ini, BPC Dixmude, telah sandar di pelabuhan Beirut, Libanon. Sebuah escale pertama kali di luar negeri buat kapal ini. Sandarnya kapal bukan berarti leha-leha, acara pertama langsung menanti : kunjungan duta besar Perancis. Selepas kunjungan seluruh kru kapal melaksanakan pembersihan umum seperti layaknya yang harus dilakukan di sebuah kapal perang di negara manapun.

Selepas pembersihan seluruh ABK sibuk dengan persiapan pesiar masing-masing. Maklum, ini adalah pesiar pertama buat seluruh ABK Dixmude selama sejarah berdirinya kapal ini. Namun, kabar buruk datang dari siaran kapal : Pesiar ditunda karena perijinan untuk ABK kapal masih belum diacc oleh pihak yang berwenang di Libanon.Waktu pesiar masih menunggu pemberitahuan lebih lanjut.

Glodak... bubar sudah rencana yang sudah saya susun sedemikian rupa. Utamanya skypean dengan anak istri, harus ditunda dulu sampai dua hari kemudian.

Sebenarnya target saya pesiar di Beirut ini sederhana :
1. Cari warnet untuk skype dengan keluarga.
2. Cari kartu pos, perangko, dan mengirimkannya.
3. Reparasi kacamata (kacamata saya lepas murnya, perlu obeng kecil untuk memperbaiki).
4. Cari magnet untuk cinderamata.
5. Cari indomie, untuk bekal pelayaran.

Setelah menunggu dua tiga jam, akhirnya pengumuman yang ditunggu-tunggu datang juga. Seluruh ABK, termasuk pasis diijinkan pesiar hingga pukul 01.00 pagi. Segeralah saya berganti pakaian dan segera menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di bumi Libanon.

Kesan yang saya dapat pertama kali adalah DINGIN. Suhu waktu itu sangat dingin, hampir seperti di Perancis. Turunnya hujan semakin menambah dinginnya sore itu. Dengan berbasah-basah kuyup kaki ini saya langkahkan entah ke mana. Cukup megah juga Beirut, jauh dari kesan kota yang pernah dilanda konflik. Pembangunan yang dilakukan di Beirut sangat pesat semenjak dilanda kehancuran pada perang saudara yang terjadi pada tahun 75 sampai 90an. Namun suasana lalu lintas sudah menurun jika dibandingkan dengan di Perancis. Di Beirut kalau menyeberang jalan harus dengan penuh percaya diri, mirip-mirip di Indonesia lah. Malah di Beirut lebih parah karena tidak ada yang namanya zebra cross. Nampaknya semakin ke timur tingkat kesadaran semakin menurun.

Karena keluar pesiar sudah terlambat, maka tidak ada waktu lagi untuk mencari warnet untuk skype. Hari itu hanya nongkron di restoran arab, makan kebab dan berwhatsapp dengan menggunakan Blackberry saya. Blackberry andalah yang sekarang saya hanya perlu mengisi ulang batereinya dua hari sekali. Untungnya di resto itu ada wifi dan kebabnya tidak mengecewakan, walaupun harus ditebuh dengan harga yang "bagus" juga. Dan, tak jauh dari situ saya menjumpai sebuah toko cinderamata yang juga menjual kartu pos. Tanpa pikir panjang, tiga buah kartu pos dan satu magnet bendera libanon sudah berpindah tempat ke tas bodypack saya.

Praktis, selama tiga hari escale di Beirut kami hanya mendapat pesiar selama dua hari. Karena pada hari kedua kami harus mempersiapkan kapal untuk kunjungan Penglima Tentara Perancis. Semoga di hari terakhir besok sisa to-do list saya bisa saya penuhi semua, untuk bekal pelayaran berikutnya.


lundi 12 mars 2012

Halal haram di kapal

Walaupun berlayar di kapal Perancis, namun saya tidak mengalami kesulitan dalam hal makanan. Kesulitan yang dimaksud bukanlah masalah selera, karena saya, alhamdulillah, telah dikaruniai selera yang luar biasa oleh Allah karena sanggung menghabiskan jenis makanan apa saja. Namun lebih kepada permasalahan halal-haram makanan.Masalah ini bagi sebagian orang mungkin tidak penting, namun bagi kami umat muslim sangat penting.

Di Dixmude ini, selalu ada makanan cadangan bagi kami yang muslim, bila kebetulan menu pada hari itu babi. Tinggal bilang ke petugasnya bahwa saya tidak makan babi, maka dia akan segera menyediakan jenis makanan yang lain, entah itu daging sapi, nugget, atau yang lainnya. Sungguh, hal ini sangat menyenangkan karena dengan begini kebutuhan kalori kami tetap terpenuhi.

Dahulu pernah punya pengalaman onboard dengan kapal layar Swedia, di mana pada saat itu kami mengalami kesulitan dalam pemenuhan makanan halal. Saat itu saya berlayara bersama tiga sahabat saya. Sama dengan di kapal Perancis, seringkali menu pada hari tertentu adalah babi, dan ketika itu, kami tidak ada pilihan lain. Solusinya adalah, kami makan sayur-sayuran dan menahan lapar sepanjang hari sambil berharap menu berikutnya bisa kami makan. Atau dengan menyimpan telur jatah sarapan untuk dimakan pada siang hari atau malam hari.

Di kapal Perancis ini, pernah ada pengalaman menarik masalah makanan halal-haram ini.Daftar menu mingguan ditempel di pintu masuk ruang makan, jadi seluruh pengunjung ruang makan bisa melihatnya pada saat mengantri. Model ruang makannya seperti di Hoka-Hoka Bento, di mana kita mengantri sambil membawa nampan untuk menunggu dilayani. Pada siang itu saya baca di daftar menu untuk menunya tidak ada babi. Seperti biasa, saya mengambil entrée, plat principal dan desert. Desertnya saat itu mengundang selera, pisang panas dilumuri saus gula. Setelah mengambil semuanya, saya duduk di ruang makan. Tak lama, datanglah seorang ABK kapal menghampiri saya. Dia bilang kalo di saos pisangnya ada campuran rhum. Ternyata dia disuruh oleh petugas restorasi untuk mengingatkan saya karena sebelumnya saya sempat bertanya apakah daging ini babi atau tidak. Segeralah saya mengganti desert yang telah saya ambil tersebut dengan salad-saladan. Sungguh, sebuah pengalaman yang menarik.

Dan pengalaman serupa terjadi kemarin malam. Pada saat mengantri saya baca di daftar menu, plat principal pada saat itu adalah beouf bourgignon.Dengan tak bertanya lagi saya langsung mengambil piring yang telah disediakan untuk saya, untuk kemudian mengambil roti. Pada saat itu ada dua jenis roti, di kiri adalah baguette yang telah dipotong-potong. Dan di sebelah kanan adalah roti biasa dengan tulisan di piringnya seperti berikut : du pain ou du vin rouge, yang artinya roti atau anggur merah. Memang disediakan anggur merah yang bisa diambil dengan gelas. Jadi, kita bisa memilih roti atau segelas anggur merah, begitu kira-kira yang saya mengerti. Saya pun duduk di meja makan, di sana ada Sebastien, teman dari Inggris yang sudah makan lebih dulu. Dia pun berkata kepada saya,

"Andro, roti itu ada anggur merahnya," dia tahu kalau muslim tidak minum alkohol.

"Tidak, bukannya tulisannya du pain ou vin rouge ?" Sanggah saya tidak mau kalah.

"Bukan, tulisannya adalah du pain au vin rouge," terang dia, yang berarti : roti dengan anggur merah.

Hhh, untung saja rotinya belum saya makan. Terima kasih Sebastien untuk telah mengingatkan saya. Ternyata orang-orang Eropa bisa juga mengingatkan kita untuk tidak makan makanan haram.

Setelah makan saya berinternet di ruang komputer. Tak lama kemudian datanglah teman saya dari Kuwait, Abdullah.

"Sudah makan ?" Tanya saya.

"Sudah, tapi saya tidak makan banyak, hanya pasta saja," jawab dia.

"Lho, kenapa tidak makan dagingnya ? Itu kan daging sapi..." tanya saya kepadanya.

"Bukan, karena petugasnya belum-belum sudah bilang kalau daging itu bukan untuk saya, katanya," lanjut dia. "Mungkin karena dia paham bahwa saya ini orang Arab."

Nah lho, berarti daging yang telah saya makan tadi apa ?

samedi 10 mars 2012

Pembersihan !


07.00 tepat waktu kapal. Siaran kapal berbunyi nyaring.

- Branle-bas… branle-bas… 

Siaran kapal tersebut membangunkan seluruh penghuni kapal ini. Branle-bas adalah waktu bangun pagi, setiap hari jam tujuh pagi. Seperti biasanya, perwira jaga anjungan pada saat itu mengumumkan, juga lewat siaran kapal, bagaimana keadaan cuaca saat itu, kegiatan apa yang akan dilaksanakan pada hari itu, dsb. Setelah sang paga anjungan selesai memberi pengumuman, ada perhatian tambahan yang berasal dari Komandan kapal.

- Kepada seluruh prajurit, di sini Komandan. Kemarin malam saya melaksanakan pemeriksaan ke seluruh kapal. Saya sedikit kecewa dengan kondisi kebersihan kapal, yang sangat jauh menurun dibandingkan pada saat keberangkatan. Dihimbau kepada seluruh ABK, termasuk prajurit Angkatan Darat dan seluruh pasis, agar melaksanakan pembersihan sesuai sektor masing-masing. Pembersihan dilaksanakan setelah apel pagi.

Pembersihan. Istilah ini sudah akrab di telinga saya sejak tahun 2003, tepatnya sejak saya resmi masuk lembah tidar di Magelang. Dan kata tersebut semakin akrab dengan saya ketika saya masuk AAL, lebih-lebih ketika saya sudah berdinas di KRI. Bagi kami, pembersihan ini sangat penting, demi menjaga aset Negara yang dititipkan kepada kami ini. Dan, ternyata hal itu juga berlaku di Angkatan Laut Perancis, la Marine Nationale.

Sehabis apel pagi, kami langsung menuju ke poste de propreté (sektor pembersihan) masing-masing. Saya mendapat sektor pembersihan di kamar saya sendiri, bersama seorang kawan Perancis. Sebenarnya menurut penilaian saya, kapal ini masih sangat-sangat bersih, terbukti saya hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit untuk membersihkan kamar saya. Dan satu kamar seharusnya cukup ditangani oleh seorang saja.

Di Perancis, yang namanya kamar mandi dan WC harus kering. Kalau basah berarti belum dibersihkan. Maka yang harus dilakukan adalah mengepel hingga kering. Alat pel, ember dan obat pel disediakan oleh pihak sekolah, kami tinggal memakainya setiap hari. Sapu pun ada, hanya bentuknya yang aneh, dan juga tidak ada cikrak. Jadi untuk mengambil debu dan kotoran harus memakai tisu WC untuk kemudian dibuang ke tempat sampah. Tempat sampah kami biarkan seperti adanya, karena tidak mungkin untuk membuang sampah di laut.

Selesai urusan saya, saya berangkat ke kelas untuk mengikuti pelajaran. Yang saya lihat luar biasa sekali, seluruh orang yang saya jumpai melaksanakan pembersihan, di koridor, di tangga, seluruhnya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Di ruang kelas,seluruh Pasis juga masih sibuk melaksanakan pembersihan, menyapu, mengepel, membersihkan kaca. Tidak ada yang nyoro ! Karena di sini ada yang namanya Capitaine d'Arme, sang penegak disiplin. Jadi teringat masa-masa saya Kadet dulu, di mana pembersihan adalah yang terpenting. Sampai ada jargon : Intinya ?? Pembersihan dan sikap patah-patah ! Hehe…

Dan, setiap pagi pun kami melaksanakan rutinitas seperti itu, pembersihan dan pembersihan.

vendredi 9 mars 2012

Mario Kart


BPC Dixmude,

Sudah empat hari ini saya bergumul dengan ombak bersama BPC Dixmude. Sudah empat hari pula saya merasakan bagaimana pola kehidupan pelaut-pelaut Perancis. Tinggal di sebuah kapal asing tentunya tidak mudah, sendirian pula. Dan, seperti yang kita dengar, tidak mudah bagi orang Perancis untuk bergaul dengan orang asing, mereka tidaklah seramah yang kita bayangkan. Namun ada hal-hal baik yang patut kita contoh.
Rutinitas kapal dimulai pada jam 07.00, saat bangun pagi. Di sini tidak ada peluit bangun pagi seperti di KRI, dan namanya pun adalah Branle-bas.  Walaupun bangun pagi pukul 07.00, namun mengingat kebiasaan di Indonesia saya bangun lebih pagi, bangunlah saya satu setengah jam lebih awal. Selain kebiasaan, bangun pagi juga untuk mengejar sholat shubuh. Pagi-pagi itu pula saya sudah mandi pagi, salah seorang di antara sedikit orang yang mandi pagi di kapal ini. Setelah itu sarapan, dan memulai rutinitas pelajaran seperti biasa.

Yang menjadi luar biasa adalah jam kerja, di saat kebiasaan saya di Indonesia selesai kerja adalah jam 4 sore, di sini jam kerja bisa sampai jam 18.00. Yah, pelajaran ataupun pekerjaan yang harus dilakukan di kapal baru selesai jam enam petang. Itu pun masih harus dilanjut briefing harian yang dihadiri oleh Komandan dan seluruh ABK kapal pada pukul 18.30. Selesai briefing pukul 20.00 lanjut makan malam di ruang makan yang berada di geladak 5.

Selesai makan malam, mulailah saat tolah-toleh. Tidak mudah mencari teman di sini. Kebetulan hanya teman dari Kuwait yang enak diajak berteman, mungkin karena merasa sesama muslim. Dari ruang makan, sebagian siswa naik ke geladak 6. Untuk apa lagi kalau bukan untuk ke ruang rekreasi. Ruang rekreasi yang diperuntukkan untuk para pasis sangatlah bagus menurut penilaian saya. Dilengkapi dengan bar dan perpustakaan menjadikan ruangan ini tempat yang asyik untuk berkumpul. Di bar kami bisa menikmati teh dan kopi panas secara gratis, ataupun minuman kaleng seharga setengah sampai satu euro. Di sudut yang lain tampak permainan bébéfoot (sepakbola meja) yang menjadi salah satu favorit pengunjung ruang rekreasi ini.
Namun yang paling banyak peminatnya adalah permainan Wii dengan permainan Mario Kartnya. Selalu ramai hingga bergantian dan antri kalau ingin mencicipi mainan tersebut. Dengan stik yang hanya empat dan peminat yang melebihi kapasitas, tak heran kalau system antrian diterapkan di sana. Dua pemain yang mendapat ranking terendah harus merelakan stiknya diambil oleh pengantri yang lain.

Sudah dua hari ini saya mencoba permainan itu, dan hasilnya, seperti yang dikira, adalah selalu juru kunci. Paling hanya menang dengan teman dari Togo, itupun paling banter ranking 11 dari 12 peserta. Namun, dalam diri seorang Andromeda tidak ada kata putus asa. Terus mencoba dan terus berlatih adalah kunci kesuksesan, termasuk dalam bidang Mario Kart ini. Di waktu senggang antarpelajaran tak lupa saya menjajal Mario Kart, dengan harapan suatu saat nanti bisa menjadi yang nomor satu.

Percaya atau tidak, Mario Kart telah mengisi hari-hari saya, paling tidak dalam tiga hari ini. Dari pada di kamar bengong sendiri menunggu malam habis, mending main Mario Kart, hitung-hitung sambil refreshing. Asal jangan sampai kebawa ke Surabaya, hingga membuat lupa anak istri. 

Hidup Mario Kart !!!

mercredi 7 mars 2012

EAOM 2012

BPC Dixmude,

Nama EAOM ini sudah terngiang-ngiang di telinga saya sejak saya Kadet tingkat II di AAL. Waktu itu, Kadeppel (Kepala Departemen Pelaut) saya adalah Kolonel Laut (P) Hardjo Susmoro. Beliau sering bercerita mengenai pengalaman sekolah di Perancis, EAOM maupun CID. Pernah melaksanakan wajib kunjung di kediaman beliau, beliau banyak bercerita mengenai pengalaman mengikuti pendidikan di Perancis, yang membuat saya jadi ingin pergi ke Perancis, paling tidak merasakan bagaimana suasana belajar di sana.
Hal itulah yang membuat saya mengikuti kursus bahasa Perancis di CCCL maupun di Pusdiklat Bahasa Kemhan. Dengan satu tujuan, suatu saat mendapat kesempatan belajar di Perancis. Dan, di sinilah saya sekarang, berada di geladak BPC Dixmude, melaksanakan misi Jeanne d’Arc.

Sebenarnya apa sih EAOM ? EAOM adalah singkatan dari Ecole d’Application des Officiers de Marine, yang dalam bahasa Indonesianya boleh disebut sebagai « Sekolah Aplikasi Perwira Angkatan Laut ». EAOM adalah sebuah bagian dalam kalendar pendidikan Ecole Navale (AAL Perancis) untuk para Kadet tingkat akhir, atau istilah simpelnya « magang ». EAOM ini digunakan sebagai bekal penugasan yang mana mereka melaksanakan operasi yang lama dan jauh, yang belum pernah dilaksanakan oleh para Kadet tersebut.

EAOM ini dulunya menggunakan kapal latih Perancis yang terkenal, Jeanne d’Arc, dan sebuah kapal frigate antikapal selam George Leyques. Jeanne d’Arc adalah jenis kapal induk helicopter, yang mana saya pernah beruntung mengunjunginya pada tahun 2005 pada saat saya singgah di Brest dalam KJK Luar Negeri 2005. Namun, pada tahun 2009 Jeanne d’Arc melaksanakan misi EAOM terakhirnya, sebelum akhirnya dipensiunkan. Setelah Jeanne d’Arc tidak aktif, Perancis tidak punya lagi kapal latih sekelas Jeanne d’Arc yang bisa digunakan untuk EAOM, yang mempunyai akomodasi untuk kurang lebih 150 siswa. Salah satu alasannya adalah karena cost yang tinggi untuk membuat kapal baru yang (hanya) digunakan sebagai kapal latih. Namun program EAOM ini tetap harus dilaksanakan setiap tahunnya.

Solusinya adalah menggunakan kapal perang yang operasional, yang mempunyai akomodasi yang cukup untuk mengangkut para Kadet. Dipilihlah kapal jenis BPC sebagai solusi. BPC adalah kependekan dari Batiment de Projection et de Commandement, atau yang dalam bahasa Indonesianya adalah Kapal Proyeksi Kekuatan dan Komando. Ini adalah solusi yang brilian, karena Perancis tidak perlu membangun kapal latih baru, para Kadet tetap bisa melaksanakan EAOM, dan sekaligus mendapat pengalaman yang sebenarnya, karena dengan BPC, mereka diikutkan misi operasional yang sebenarnya. Tidak seperti Jeanne d’Arc yang « hanya » sekedar muhibah. Namun misi EAOM ini selama tiga tahun terakhir (2010-2012) tetap menggunakan nama “Mission Jeanne d’Arc”

Kapal kelas BPC ini ada tiga buah : BPC Mistral L-9013, BPC Tonnerre L-9014 dan BPC Dixmude L-9015. Tahun 2010 EAOM menggunakan Tonnerre, 2011 dengan Mistral, dan sekarang, 2012 berlayar menggunakan Dixmude. Kebetulan Dixmude ini adalah kapal terakhir, yang baru diluncurkan tahun 2011 akhir, dan EAOM ini adalah misi operasionalnya yang pertama kali. Kesimpulannya : saya cukup beruntung dapat merasakan kapal baru, yang mana saya belum pernah merasakannya di kapal perang Indonesia.
Trus, kegiatannya apa saja ? 

Jadi EAOM 2012 ini dibagi dalam tiga fase. Yang pertama adalah pre-mission di Ecole Navale, Lanveoc selama dua minggu. Kedua , pre-mission di Toulon selama dua minggu juga, karena pangkalan BPC Dixmude terletak di Toulon. Yang ketiga adalah fase laut, berlayar selama lima bulan yang akan finish di Brest pada tanggal 25 Juli 2012, insya Allah. Jadi total waktunya adalah enam bulan, belum dipotong libur sabtu-minggu, cuti pra-misi, dsb.

Tahap pertama, yang dilaksanakan adalah belajar di Ecole Navale. Di sana, setiap hari kami belajar, dari jam 8.30 pagi hingga jam 5 sore. Total jam pelajarannya adalah 8 jam pelajaran, dengan break antarjam pelajaran selama 5 hingga 10 menit. Ada juga istirahat makan siang, dari jam 12 hingga jam 1 siang. Seperti layaknya Kadet dan kehidupan militer, kami pun mengenal apel di sini. Apel pagi jam 8 pagi, apel siang jam 1 siang. Tahap ini saya rasakan cukup berat, utamanya masalah bahasa. Benar-benar tidak mengerti apa yang diajarkan, padahal pelajaran-pelajaran yang diberikan sebagian besar saya sudah terima di AAL dulu. Untungnya hari Sabtu-Minggu libur, sehingga bisa melepaskan tekanan sejenak.

Tahap ke-2  berlangsung di Toulon, sebuah kota pesisir di selatan Perancis, berbatasan dengan Laut Mediterania. Di sinilah pangkalan Angkatan Laut Perancis  terbesar berada. Mulai dari kapal induk Charles de Gaulle, BPC, frigat La Fayette, kapal selam nuklir, hingga kapal tunda pun ada di Toulon. Selama tahap ini kami belajar di atas geladak BPC Dixmude. Program yang kami laksanakan adalah orientasi kapal dan pelajaran kelas. Kami dibagi menjadi 4 escouade (regu) yang terdiri dari 30 siswa. Satu escouade dibagi lagi menjadi dua grup berisikan 15 siswa. Saya masuk dalam escouade 4, grup 42. Selama di Dixmude, saya tinggal dalam sebuah kamar berkapasitaskan enam orang. Saya satu-satunya etranger (siswa asing)  di sana. Dari 6 orang tadi, 3 orang korps pelaut, 2 orang korps teknik, dan seorang lagi korps suplai. Satu kamar berarti satu escouade dan satu grup. Dalam tahap ini, praktis kami laksanakan selama delapan hari, sisanya adalah libur sabtu-minggu dan long-weekend, sebagai persiapan penugasan jauh.

Tahap ke-3 adalah tahap inti, yaitu berlayar. Tahun 2012 ini, rute pelayaran EAOM adalah berkeliling negara-negara Afrika, ke selatan hingga Tanjung Harapan, ke barat hingga ke Brasil, kembali ke utara untuk kembali menuju ke Perancis. Rincian kota-kota yang akan kami kunjungi selama tahap laut adalah sebagai berikut : Beirut-Libanon, Jibouti-Jibouti, Mombassa-Kenya, Port Victoria, Le Port, Cape Town, Rio de Janeiro, Abidjan, Dakkar, Lisbon hingga terakhir di Brest. Total waktu berlayar adalah 105 hari dan lama sandar adalah 37 hari.

Selama fase ketiga ini kami akan menggunakan dua kapal untuk berlatih, BPC Dixmude dan FASM (Fregate antikapal selam) George Leyques. Masing-masing escouade akan mencicipi dua kali onboard di George Leyques, yang mana kami akan melaksanakan tugas jaga, baik jaga di anjungan maupun di PIT. Sedangkan selama di BPC Dixmude kami akan melaksanakan pelajaran kelas dan juga melaksanakan pekerjaan harian di Departemen-Departemen di kapal yang akan digilir. Di Dixmude juga kami akan melaksanakan tugas dinas anjungan dan PIT selama dua kali (dua etape), sesuai escouade masing-masing. Untuk escouade saya, saya akan berada di George Leyques pada saat etape Beirut – Djibouti dan Cape Town – Rio de Janeiro. Sedangkan tugas jaga di Dixmude pada saat etape Mombassa – Le Port dan Abidjan – Dakkar. 

Kami juga akan terlibat dalam misi penumpasan perompak di Somalia dan juga misi-misi bilateral Perancis dengan Arab Saudi, Pantai Gading dan Brasil. Selain itu akan diadakan latihan pendaratan di Djibouti, bersama-sama dengan Kadet Angkatan Darat tingkat akhir yang berjumlah 10 orang, yang juga onboard di Dixmude. Belum tahu apakah nantinya kami, siswa asing, akan dilibatkan atau tidak, semoga tidak harap saya. Karena saya tidak membawa peralatan tempur seperti mereka. Karena latihan akan dilaksanakan selama tiga hari, berbivak di tenda seperti layaknya prajurit Angkatan Darat ataupun Marinir berlatih.
Itulah garis besar yang bisa saya tuliskan di sini untuk tahap laut. Belum terlalu detail memang karena belum saya alami. Untuk cerita-cerita di dalamnya akan saya tuliskan nanti seiring dengan berjalannya waktu.


mardi 6 mars 2012

6 Maret, setahun yang lalu

foto keluarga pertama
Hari itu, Jumat 4 Maret 2011, ketika sedang bekerja di geladak KRI Teluk Semangka-512, telepon saya berdering. Ternyata istri saya yang berada di balik sana, hanya satu kata yang dia ucapkan, “Pip, aku udah kerasa.”

Ya, istri saya waktu itu sedang hamil tua, bahkan melebihi dari tanggal perkiraan dokter. Meluncurlah saya ke rumah setelah meminta ijin pada Palaksa. Motor saya pacu melebihi yang biasa saya lakukan, agar sampai lebih cepat ke rumah. Maklum, rasa khawatir menghinggapi pikiran saya waktu itu, jangan-jangan saya terlambat, jangan-jangan mbrojol duluan. Perasaan calon bapak kebanyakan mungkin seperti itu semua.

Tiba di rumah setelah 20 menit, istri saya sudah siap untuk berangkat. Untungnya seluruh perlengkapan untuk ke rumah sakit sudah kami siapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Dua tas penuh perlengkapan melahirkan sudah tertata rapi di bagian belakang mobil, termasuk perlengkapan survival sang calon bapak. Dengan hati-hati istri saya naik mobil, dan berangkatlah kami berdua menuju ke RS Putri setelah berpamitan dengan Sri yang kebagian tugas menjaga rumah.

Waktu itu hari Jumat siang, saat semua sholat Jumat. Mungkin inilah yang membuat jalanan waktu itu agak lengang, tidak seperti biasanya yang macet. Dan waktu itu saya merasa perjalanan kami dimudahkan, dengan banyaknya mobil-mobil yang mengalah, memberi jalan untuk kami mendahului. Untungnya istri saya waktu itu masih jauh dari saat melahirkan, masih tenang-tenang saja. Namun rasa cemas ini masih selalu menghantui.

Tiba di RS Putri, kami langsung melapor dan langsung masuk kamar. Kamarnya cukup nyaman walau kecil, satu tempat tidur pasien dan satu tempat tidur penunggu, lengkap dengan kamar mandi dalam. Cukup layak untuk kami berdua, karena hanya kami berdua di dalam sana, dan bisa digunakan untuk menyusui bayi.
Malam harinya masih belum ada tanda-tanda lagi dari istri saya. Sudah berulang kali perawat-perawat memeriksa istri saya, hasilnya masih pembukaan dua dan belum lagi bertambah sejak masuk RS tadi siang. Istri masih kelihatan tenang-tenang saja. Esok harinya kami berjalan-jalan di perkiran RS, untuk merangsang pembukaan. Dengan keadaan perut yang sudah sangat besar, saya dampingi istri saya untuk berjalan. Setelah itu kami masuk ke kamar dan kembali diperiksa dengan hasil yang belum ada peningkatan. Sang dokter pun datang memeriksa, kami pun disuruh menunggu.

saat-saat penantian

Malam harinya istri minta didrip, dirangsang agar sang jabang bayi mau keluar. Di sini saya salut dengan istri saya, demi melahirkan normal, dia rela untuk merasakan sakit. Benar-benar wanita yang hebat. Dengan setia saya menunggunya bersama ibu mertua di tempat melahirkan. Detik berganti detik, jam berganti jam, mulailah ada kemajuan, sudah pembukaan lima. Istri saya masih semangat untuk melahirkan normal walaupun ada alternatif untuk melahirkan secara operasi sesar. Malam itu tidak dapat diceritakan dengan kata-kata, berulang kali saya menitikkan air mata melihat istri saya. Seorang wanita hebat yang sedang berjuang untuk melahirkan buah cinta kami, menahan rasa sakit demi sang bayi. Dokter hanya berkata, jika sampai besok paginya belum ada perkembangan yang signifikan, maka akan dilaksanakan operasi. Dan, itulah yang terjadi.

Hari Minggunya akhirnya jadi dilaksanakan operasi karena hasil belum sesuai harapan. Segera saya mengirim pesan ke seluruh keluarga, mengabarkan kalau istri akan operasi, minta doa restu. Tak lama para keluarga datang ke RS, baik orang tua saya maupun orang tua istri datang untuk memberikan doa dan dukungan. Istri saya masuk kamar operasi, saya menunggu dokter di pintu lift untuk meminta ijin bisa ikut mendampingi istri. Tak lupa sebelumnya saya sholat dhuhur untuk memohon pertolongan kepada Allah SWT. Mungkin itu adalah sholat dhuhur terkhusyuk saya.

Tepat tengah hari sang dokter muncul dari lift, saya pun meminta ijin ikut masuk ke kamar operasi. Alhamdulillah dia mengijinkan setelah sebelumnya bertanya apakah saya takut darah atau tidak. Saya jawab tidak, walaupun sebenarnya saya ngeri juga menyaksikan operasi untuk pertama kalinya. Di dalam saya diberi pakaian operasi hijau-hijau yang segera saya mengenakannya. Tak lupa saya bawa blackberry saya untuk merekam momen bersejarah itu.

Masuk ke dalam, terlihat istri saya terbaring di meja operasi. Senyum tersungging di bibirnya melihat saya masuk ke dalam. Saya mengambil posisi di samping kepala istri saya, sebuah posisi yang strategis menurut saya. Karena dari sana saya bisa mendampingi istri saya, bisa mengambil video dan yang paling penting, tidak terlihat darah.

Operasi pun dilaksanaka. Suasana di kamar operasi tidak sengeri yang saya bayangkan. Tampak dr. Poedjo di sisi kiri istri saya, di hadapannya ada dokter anestesi. Selain mereka ada kurang lebih empat atau lima orang lainnya dengan tugas masing-masing. Selama jalannya operasi terdengar mereka asyik bercakap-cakap, seakan ini bukanlah sebuah operasi. Tangan kiri saya memegang handphone, tangan kanan memegang tangan istri, mencoba menenangkan sekaligus merekam adegan demi adegan yang berlangsung di hadapan saya.

Jarum jam menunjukkan pukul 12.34 WIB, anak saya pun lahir ke dunia. Sebelum itu terlihat sang dokter menyingkirkan tali pusat yang berkalung di lehernya. Ternyata selama ini hal itulah yang menghambat anak saya turun ke bawah. Dokter pun bilang kalau jenis kelaminnya cewek. Alhamdulillah anak saya lahir dengan selamat. Dengan tangis yang keras anak saya dibawa ke ruang pembersihan. Saya mengikutinya setelah memastikan istri saya baik-baik saja. Para dokter pun melanjutkan tugasnya yang belum selesai.

Di ruangan yang lain saya mendekati anak saya berada. Di sana dilaksanakan tindakan-tindakan pertama yang saya tidak paham namanya. Ada seperti dimasukkan selang, entah untuk apa, dan diberi bedak. Setelah anak saya bersih saya pun dipersilakan untuk mengadzaninya, sebagaimana syariat dalam agama Islam. Di telinga kanan saya lantunkan adzan, di kiri saya bisikkan iqamat. Kata-kata ilahi yang didengarnya pertama kali itu seketika membuka matanya sesaat, seakan dia mengerti apa yang saya ucapkan.

Alhamdulillah anak saya lahir selamat walaupun saya lupa untuk menghitung jari-jemarinya seperti yang disarankan oleh banyak orang. Alhamdulillah istri saya juga diberi keselamatan setelah dua hari dua malam berjuang untuk menahan rasa sakit demi melahirkan normal. Yah, Axelluna Andromeda Jr. telah lahir ke dunia. Seorang bayi perempuan mungil dengan berat 3,7 kg, yang kami dambakan sejak kami menikah, sekarang telah mengisi hari-hari kami dengan canda tawanya.

Hari ini, di ulang tahunnya yang pertama, sang bapak tidak bisa berada di sampingya karena sebuah tugas yang harus dilaksanakan. Sang bapak hanya bisa berdoa, semoga ulang tahun pertama ini menjadi awal  yang bagus bagi kehidupannya kelak.

Nikmatilah masa kecilmu, nak. Berlarilah sepuas hatimu.

Peluk cium Pipop dari jauh.

Selamat ulang tahun yang pertama.

lundi 5 mars 2012

Selamat ulang tahun, Papa

Semoga artikel ini dibaca Papa.

Selamat ulang tahun buat Papa yang ke-59. Semoga di hari yang berbahagia ini Papa selalu diberi kesehatan oleh Allah SWT, diberi umur panjang, dan diberi rejeki yang melimpah. Semoga Papa diberi segala kemudahan, diberi anak-anak yang sholeh dan berbakti, diberi cucu-cucu yang lucu.

Maaf kalau anakmu ini selalu pergi jauh di saat-saat penting seperti sekarang ini. Namun doa anakmu ini selalu terpanjatkan setiap hari, memohon keselamatan untuk Papa Mama selalu.

Amin.

vendredi 2 mars 2012

Sholat Jumat pertama

Toulon

Dari kantor pos saya harus tergopoh-gopoh untuk menuju masjid satu-satunya di daerah sini. Sebenarnya letaknya tidak jauh, namun karena saya sedikit lupa jalan ke sana menjadikan perjalanan saya agak lama. Bersama teman Malaysia saya berputar-putar hingga akhirnya menyerah dan bertanya kepada perempuan berjilbab yang sedang mengemasi barang dagangan. Setelah ber-merci dan ber-au revoir kepadanya, meluncurlah kami berdua ke masjid.

Benar, suasana di dalam sudah penuh sesak, sangat beda dengan waktu saya sholat dhuhur di sana yang hanya segelintir orang saya. Ruang sholat utama yang terletak di lantai dua sudah penuh hingga terpaksa saya duduk di lantai satu bersama jamaah lainnya. Sebelumnya kami mengambil wudhu di tempat yang bisa terlihat dari tempat saya duduk.

Banyak juga umat muslim di Toulon ini. Ruangan tempat saya duduk sudah dipenuhi oleh kira-kira 50 orang, begitu juga di lantai atas yang kira-kira bisa menampung 100 orang. Belum lagi yang nantinya sholat di koridor maupun di depan ruang wudhu. Tentunya tempat yang suci karena tidak ada tempat buang air kecil di masjid ini. Terlihat beberapa jamaah berwajah bule Perancis, walaupun wajah-wajah lainnya didominasi oleh wajah arab.

Khutbah hari itu dalam dua bahasa. Yang pertama dalam bahasa Arab sedangkan khutbah yang kedua dalam bahasa Perancis. Unik juga ya. Yang jelas saya tidak paham dua-duanya, saya hanya bisa menangkap sedikit-sedikit khutbah dalam bahasa Perancis, yang juga sempat saya rekam.


Alhamdulillah hari itu saya bisa menunaikan sholat Jumat, yang terakhir kalinya saya laksanakan di Jakarta sebelum keberangkatan saya ke Perancis. Tenang rasanya berada di rumah Allah, berkumpul bersama saudara seiman lainnya. Semoga ke depan saya bisa menemukan masjid di setiap pelabuhan tempat saya sandar.

Amin.

Kartu pos dan kantor pos

Toulon

Kartu pos adalah benda yang tak lazim buat saya. Belum pernah seumur hidup saya mengirim atau menerima kartu pos. Apalagi di jaman sekarang, di mana arus komunikasi menjadi sangat-sangat mudah. Tinggal ceklik saja, apa-apa yang mau kita kirim bisa sampai dalam sekejap dengan internet. Sudah cepat, murah lagi.

Kenapa tiba-tiba saya berminat mengirim kartu pos ? Ini semua gara-gara Pascale. Dia berpesan kepada saya agar mengiriminya kartu pos di setiap negara yang saya singgahi. Karena dia mengoleksi kartu pos dari bermacam-macam daerah dan negara katanya. Teranglah saya sanggupi permintaannya, karena mengirim kartu pos bukanlah hal yang memberatkan.

Ketika jalan-jalan di le Port, Toulon, sampailah saya di kios yang menjual kartu pos. Belilah saya dua buah kartu pos yang akan saya kirim ke istri tercinta dan Pascale. Sepertinya asyik juga kalau saya memulai hobi baru ini, berkirim kartu pos. Terkadang cara-cara lama asyik dilakukan di masa sekarang, termasuk berkirim kartu pos seperti yang saya lakukan ini. Ditambah lagi, kartu pos yang terkirim bisa untuk tambahan koleksi. Apalagi nantinya saya akan berkeliling ke sembilan (atau sepuluh) Negara.

La Poste, Toulon
Setelah membeli, pergilah saya ke kantor pos terdekat yang terletak tak jauh dari l’Arsenal, tempat di mana saya tinggal. Sebenarnya ini kedua kalinya saya ke kantor pos ini setelah sebelumnya mengirim kado untuk teman baik saya di Brest. Masih ingat saya ketika pertama kali masuk ke dalam kantor pos ini. Bingung, tolah-toleh, walaupun akhirnya berhasil juga mengirim paket ke Brest. Yang kedua ini ternyata saya masih tolah-toleh juga, karena caranya tidak sama dengan mengirim paket.

Yang pertama saya bingung adalah perangko, ya.. perangko ! Menjadi masalah besar karena di sana tidak ada yang bisa ditanya. Tidak ada yang namanya informasi atau resepsionis. Kalau mau menemui dan bertanya ke petugas ya harus mengantri. Beginilah di Perancis, sedikit sekali karyawan yang mengurusi pekerjaan tidak penting, salah satunya adalah masalah gaji tenaga kerja yang mahal. Mengantrilah saya di antrian yang sama ketika saya mengirim paket dulu.

“Bukan begini caranya, harus membeli perangko,” bisik hati saya. Saya pun keluar antrian dan menuju ke tempat penjualan perangko yang ternyata adalah perangko untuk koleksi. Di sana saya bertemu dengan seorang bapak yang ternyata adalah penghobi filateli. Disarankanlah saya untuk membeli perangko koleksi seharga 7.20 euro. Saya ambil perangko itu, dan kembali masuk antrian, mulai lagi dari belakang tentunya. Ketika itu saya melihat seorang ibu menggunakan sebuah mesin berwarna kuning untuk membeli amplop yang sudah siap kirim.

Keluarlah saya sekali lagi dari antrian untuk menuju ke ibu tadi. Bertanya saya padanya bagaimana cara mengirim kartu pos ke luar negeri. Ibu itu dengan ramah mengajari saya menggunakan mesin itu. Kartu pos saya ditaruh di atas mesin yang ternyata timbangan, setelah itu memilih Negara tujuan dan keluarlah tarif kirimnya. Tampak di layar 0.89 euro. Begitu akan mengklik pilihan confirmer, saya kembali ragu. Karena nantinya yang keluar adalah amplop dan bukan perangko ! Bukan kartu pos namanya kalau dibungkus dalam amplop.

Mesin perangko
Kembalilah saya masuk ke antrian untuk ketiga kalinya. Kali ini saya bulatkan tekad saya untuk bertemu dengan petugas, bertanya kepadanya bagaimana cara mengirim kartu pos ke Indonesia. Satu, dua, tiga orang di depan saya telah selesai hingga tiba giliran saya berada paling depan. Bertanyalah saya padanya, dia pun membuka katalog dan mencari biaya kirim surat ke Indonesia. Untuk surat dengan berat kurang dari 20 gram ongkos kirimnya adalah 0.89 euro, sama persis dengan di mesin tadi. Itu artinya saya harus membeli perangko dan menempelkan dua buah perangko di kartu pos saya. Dan, perangko itu bisa perangko koleksi ataupun perangko biasa yang bisa dibeli di mesin kuning tadi.

Mesin penukar uang logam

Keluarlah saya dari antrian untuk kesekian kalinya dan yang terakhir kalinya untuk menuju ke mesin kuning. Ada pilihan membeli perangko hijau (le timbre vert), sepuluh perangko seharga 5.20 euro. Lebih murah tentunya dari perangko koleksi yang seharga 7.20 euro. Masalah baru timbul karena untuk menebus perangko saya harus menggunakan uang logam yang dimasukkan ke dalam mesin tadi. Sedangkan saya tidak mempunyai uang logam sebanyak itu. Beruntung saya bertemu pria kolektor perangko tadi. Dengan diantar olehnya, saya pergi ke sebuah mesin lain di ruangan lain yang ternyata adalah mesin penukar uang kertas ke uang logam. Voilà, begini toh caranya…. Sebagai rasa terima kasih, saya janji kepada bapak tadi untuk mengirimi perangko Indonesia sepulang saya ke Indonesia bulan Juli nanti.

Saya masukkan logam demi logam ke dalam mesin pembeli perangko tadi dan menerima perangko hijau lengkap dengan kembalian saya. Saya tempel dua perangko untuk kartu pos istri saya dan satu perangko untuk kartu pos Pascale. Segera saya benamkan dua kartu pos perdana saya tadi ke kotak pos kuning yang berada tepat di luar kartu pos.

Selesai urusan, menuju ke urusan selanjutnya, Sholat Jumat !

NB :
Kalau ada yang mau berkirim kartu pos ke saya, alamat saya sampai tanggal 25 Juli 2012 ada di :
EV1 Androméda CIPTADI
Groupement École EAOM
BPC Dixmude 00 380 ARMÉES
France

Ditunggu.