vendredi 30 mars 2012

Kemping Dua Hari di Djibouti


Djibouti,

Hari itu hari Senin tanggal 26 Maret. Seperti biasa, setiap pukul 18.30 diadakan briefing harian di ruang konferensi yang salah satunya membahas tentang kondisi cuaca. Di sana disebutkan kalau kemungkinan tanggal 27 pagi kondisi laut tidak memungkinkan untuk dilaksanakan operasi pendaratan. Kepada seluruh siswa yang tadinya direncanakan akan terjun ke darat pada tanggal 27 pagi diharap bersiap untuk diberangkatkan pukul 20.00. Untuk kepastiannya akan diumumkan lebih lanjut.

Sontak berita tersebut membuat saya sedikit panik. Rencana malam itu untuk menikmati dua gelas popmie terancam batal. Untungnya saya sudah menyiapkan barang yang akan saya bawa ke darat pada siang harinya. Satu setel PDL lengkap dengan topi rimbanya, dua pasang kaos kaki, dua buah kaos dalam, dua buah celana dalam, satu set peralatan mandi, empat liter air minum kemasan dan tak lupa dua kotak makanan cepat saji untuk dua hari sudah masuk ke dalam ransel lapangan. Tinggal mengisi velples dengan air minum yang belum saya laksanakan.

Dan apa yang ditakutkan benar adanya. Pada saat makan malam terdengar siaran kalau kami harus berkumpul di radier pada pukul 20.00 untuk melaksanakan pemberangkatan latihan. Segera bergegas saya ke kamar untuk berganti pakaian dan mengambil tas ransel tempur saya. Tak lupa barang-barang yang tidak saya bawa saya tinggal di kamar teman saya yang masih mempunyai ruang kosong di lemarinya. Setiba di radier suasana benar-benar gelap, tidak ada lampu yang menyala, seperti layaknya latihan pendaratan. Setelah melaksanakan apel kilat kami pun langsung menuju ke EDAR setelah sebelumnya membawa berdus-dus air mineral untuk dibawa ke darat. Ah, saya lupa untuk berpamitan ke istri lewat email ternyata karena terburu-burunya.

EDAR adalah kendaraan pendarat termutakhir yang dimiliki oleh Angkatan Laut Perancis. Dia lebih cepat, lebih luas dan lebih lincah bermanuver. Geladak EDAR bisa mengangkut dua truk besar atau dua tank atau empat mobil jeep kecil. Dengan peralatan navigasi yang canggih, lengkap dengan GPS dan peta elektronik membuatnya tak kesulitan untuk menuju ke daerah pendaratan yang telah ditentukan. Untuk menghitung muatan pun telah tersedia software canggih yang dapat memberi solusi terbaik tentang kendaraan apa saja yang sebaiknya dimuat. Geladak radier BPC Dixmude bisa untuk mengangkut dua EDAR. Namun kali ini hanya mengangkut satu EDAR dan dua CTM (Chaland Transport de Matériel), sebuah alat pendarat model lama yang lebih kecil.

Setelah dilaksanakan penggenangan, EDAR yang saya tumpangi pun secara perlahan keluar perlahan dari radier BPC Dixmude. Di luar suasana benar-benar gelap, namun tak terasa di laut karena besarnya EDAR yang saya tumpangi. Bintang-bintang pun tampak dengan jelas sekali. Sungguh, sesuatu yang terlalu indah untuk dilewatkan. Capek yang terasa pada waktu embarkasi ke EDAR langsung hilang begitu merasakan angin laut yang sejuk dan indahnya kemilau bintang-bintang di angkasa. 

Setelah dua puluh menit menyeberang lautan, tibalah kami di daerah pendaratan. Ternyata tempatnya sangat mewah untuk ukuran sebuah daerah latihan. Beberapa bungalow tampak berjejer yang digunakan Staf Latihan untuk mendirikan tenda. Di ujung timur tampak sebuah bangunan yang ternyata adalah deretan kamar mandi dan WC. Hanya sinyal GSM saja yang absen di daerah ini. Malam itu kami tak langsung tidur. Seluruh siswa Perancis melaksanakan pengambilan FAMAS, sebuah senjata laras panjang buatan Perancis yang katanya sangat akurat. Sebelumnya, di kapal, para siswa sudah dibekali amunisi hampa dan granat latihan yang nantinya akan digunakan selama latihan di darat. Untuk siswa asing undangan seperti saya tidak mendapatkan senjata dengan alasan keamanan. Entah keamanan yang mana lagi yang mereka maksud. Namun paling tidak selama latihan saya tidak perlu berat-berat memanggul senjata itu.

Malam itu kami tidur beratapkan langit dengan dekorasi bintang-bintang yang berkilau di angkasa. Untung saja saya dipinjami sleeping bag, yang bisa member sedikit kehangatan kepada saya malam itu. Dan saya pun terlelap di tengah hembusan angin laut.

Selama pelaksanaan EAOM ini kami dilibatkan dalam latihan di darat seperti layaknya seorang prajurit Angkatan Darat. Sebelumnya, satu batalyon Angkatan Darat sudah melaksanakan pendaratan tiga hari sebelum saya mendarat. Di Perancis, operasi pendaratan dilaksanakan oleh Angkatan Darat. Marinir mereka hanya melaksanakan operasi-operasi khusus yang dilaksanakan dengan unit-unit lebih kecil. Dan di AAL Perancis tidak ada yang namanya korps Marinir. Mereka baru dapat masuk korps Marinir setelah bekerja kurang lebih dua tiga tahun di kapal. Hal itulah yang menyebabkan adanya kurikulum latihan di darat seperti yang saya jalani ini.

Djibouti adalah salah satu daerah latihan Perancis di luar negeri. Djibouti dipilih karena memiliki iklim yang menyerupai Afganistan, daerah operasi Negara-negara “polisi dunia”. Amerika pun memiliki daerah latihan di Djibouti. Yang saya lihat selanjutnya adalah kondisi tanah Djibouti yang berpadang pasir, tandus. Seringkali terlihat penggembala kambing dengan kambing-kambingnya, seolah mencerminkan kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat Negara itu. Sehingga wajar saja kalau Djibouti mengorbankan kedaulatannya dengan diijinkannya sebagian wilayahnya digunakan untuk pangkalan ataupun tempat latihan bagi Negara lain. Yang tentunya mengharapkan bantuan-bantuan yang sesungguhnya tidak akan mengangkat Djibouti dari kemiskinan yang mendera.

Pagi pertama saya lewatkan dengan sarapan, sarapan versi Perancis tentunya.  Memasak air dari velples dengan alat pemanas yang berasal dari box makanan survival saya. Segelas susu coklat dengan beberapa potong biskuit sudah cukup mengganjal perut saya hingga siang hari. Boks makanan survival saya cukup lengkap, bahkan bisa dibilang cukup mewah. Salah satu contohnya adalah berisi : 

Mexican salad.
Chicken in “basuaise” sauce.
Chicken liver pate (ini makanan Perancis favorit saya : foie gras).
Instant soup.
Melted cheese.
Salted and sweet biscuits.
Fruit jelly.
Chocolate bar.
Caramels.
Multipurpose paper towels.
Reheating kit.
Water purifying pills sebanyak 6 buah yang digunakan untuk menjernihkan air.

Masing-masing orang dibekali dua kotak yang tentunya dengan menu yang berbeda. Cukup mewah, kan? Di kotaknya tertulis “French Army, NATO Approved”. Jadi teringat slogannya Deplog di kapal : Logistik tidak dapat memenangkan pertempuran, tapi tanpa logistik pertempuran tidak akan dapat dimenangkan.” Secara sederhana, kalau perut kenyang, apa saja dapat dilaksanakan.

Selama dua hari yang saya rasakan adalah antusias. Bagaimana tidak antusias, di hadapan saya terhampar padang pasir dengan bukit-bukit berbatu yang terjal, sungguh sebuah pemandangan yang aneh bagi saya yang hidup di daerah subur. Naik bukit, turun bukit, tiarap, long march kami laksanakan selama dua hari itu. Sedikit melelahkan tentunya jika berjalan dengan memanggul ransel penuh barang. Namun lelah itu cepat hilang kala melihat hal-hal baru di sana. Tak jarang lewat serombongan onta. Kadang ada juga segerombolan keledai, yang kesemuanya bisa jadi obyek foto untuk kenang-kenangan. Latihan dilaksanakan hingga malam hari dengan istirahat pada pukul 13.00 – 14.00 dan 17.00 – 19.00. Waktu istirahat yang ada digunakan untuk makan, tidur, dan tentunya sholat untuk saya. Tak sulit menemukan tempat sholat di daerah latihan. Dengan bertayamum dan bersepatu, sholat jama’ qashar tetap mungkin untuk dilaksanakan. 

Hari kedua latihan hanya berjalan hingga pukul 10 pagi saja. Karena tersiar kabar kalau kondisi laut akan memburuk sehingga para siswa harus segera kembali ke kapal pagi itu juga. Sebuah kondisi yang menggembirakan tentunya. Di sini, ramalan cuaca buruk bisa berarti positif dan negatif ternyata. Pada saat berangkat mengharuskan kami untuk terburu-buru, meninggalkan kenyamanan yang ada di kapal lebih awal. Pada saat kembali untungnya mempersingkat latihan di darat, yang berarti terhubung kembali dengan internet.

Sebuah pengalaman kemping selama dua hari dua malam yang cukup mengesankan bagi saya.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire